Pages

Saturday, November 26, 2016

CERPEN : WALK ALONE AND FOUND LOVE

Menjadi seorang ibu rumah tangga, memang sudah menjadi pilihan tersendiri bagi Ersa. Ijasah S1 nya dibiarkan menumpuk di lemari. Dia tak menyesali itu. Toh dia sudah menikah dengan kekasihnya yang merupakan anak orang kaya. Anak dari seorang yang sangat disegani dan di hormati.
Keputusan awalnya sempat di tentang orangtua dari suaminya, Tio. Orangtua Tio menginginkan jodoh yang seimbang bagi anaknya, setidaknya dari golongan terpandang. Bukan dari anak kampung yang orangtuanya hanya kuli tani di pelosok daerah.
Namun Tio berjanji untuk tak meninggalkan rumah, membuat kedua orangtuanya luluh dan menerima Ersa sebagai menantu terakhirnya.
Tio adalah anak ketiga, kedua kakaknya semua berjenis kelamin laki-laki dan sudah menikah. Kakak pertamanya menikah dengan golongan bawah juga. Hanya 3 tahun bertahan dirumah ibunya dan memutuskan pergi ke luar kota bersama istri dan anaknya.
Kakak keduanya menikah dengan wanita yang di jodohi orangtuanya, dari kalangan konglomerat. Sehingga ketika menikah mereka langsung menempati rumah pemberian papanya.
Ersa tak akan se-frustasi ini andai saja kedua mertuanya itu sangat akur, tapi yang terjadi tidak demikian. Hampir setiap hari mereka bertengkar ada saja hal kecil yang mereka ributkan. Mama yang mengurus bisnisnya, dan Papa yang juga sibuk di kantor pribadinya.
Semenjak Ersa tinggal di situ Papa lebih sering menghabiskan waktu dirumah. Tak tahu apa penyebabnya. Seringkali Ersa risih dengan Papa mertuanya itu. Tatapan darinya yang menuju ke hal-hal yang tak di perbolehkan dipandang.
Terlebih setelah Ersa melahirkan anak pertamanya. Sering Ersa lihat Papanya berlama-lama memandangi putranya yang sedang disusui Ersa. Membuat Ersa bergidik ngeri. Bahkan dia melarang Ersa mengunci pintu kamar, dengan alasan agar dia bisa leluasa melihat cucunya kapanpun. Alasan!
Kenapa harus tengah malam Papa masuk kamar dan berlama-lama memandang tempat tidur itu. Tak jengahkah dia melihat anak dan menantunya?
Ersa pun memutuskan untuk memakai pakaian yang jauh lebih tertutup. Celana panjang dan kaos tangan panjang. Meskipun itu dirumah.
Kaka Ipar yang pertama yang menyuruhnya, entah apa yang disembunyikan. Yang jelas kakak ipar itu tak terlihat ramah, matanya menatap tajam dan penuh curiga. Dia pernah berkata “Kunci pintu aja, apapun yang terjadi!” Ersa menggeleng, dia sudah cukup pusing dengan urusan suaminya yang selalu menomorsatukan keinginan orangtuanya.
“kalau gitu, gunakan pakaian tertutup, terutama kalau Tio sedang keluar kota, jaga diri ingat. Kita bukan dari kalangan mereka, tapi kita juga tak bisa di injak-injak seperti ini.”
“Sebenarnya ada apa sih ka?” kakak ipar yang terpaut 10 tahun itu hanya menggeleng dan pergi. Dia menginap satu hari setelah kelahiran keponakannya. Lalu pergi lagi keluar kota. Ersa sungguh berfikir sombong sekali kakak ipar yang ini.
Tapi tak lebih sombong dari kakak ipar yang kedua. Jika datang kerumah selalu saja memamerkan baju barunya, tas mahalnya atau celana dalam yang dia beli di luar negri. Dan herannya mama mendukungnya. Ah sudahlah toh Ersa tak pernah tertarik akan hal itu.
Cukup jaminan dari Tio untuk menyekolahkan adik-adiknya yang masih kecil di kampung, dan memperbolehkan Ersa mengirim uang ke orang tuanya, sudah membuatnya senang. Selebihnya dia tak perduli. Setidaknya sebelum kejadian itu menimpa dirinya.
***
Ersa sedang menyusui bayi laki-lakinya di kamar, ketika Papa tiba-tiba masuk di siang hari dan langsung duduk menatap bayi itu, atau menatap yang dihisap sang bayi.
“Koq udah pulang Pa?”
“Iya...” Ersa sungguh risih. Bayi mungil itu sudah tertidur sehingga Ersa langsung menarik bajunya dan menutupinya. Dia bergegas keluar meninggalkan Papa mertuanya dengan bayi mungil itu.
Tak berapa lama Papa mengikuti Ersa, berdalih ingin meletakkan tas di kamarnya. Kenapa dia tak melakukan itu tadi? Bukankah yang dia ingin lihat cucu mungilnya itu?
“Tio keluar kota? Sampai kapan?”
“Lusa sudah pulang Pa,”
“Kamu suka martabak Sa? Temen papa ada yang usaha martabak klo mau nanti papa belikan,” Ersa mengangguk, dia senang jika memang mertuanya itu sangat perhatian kepadanya seperti itu.
“Mama juga sedang keluar kota, besok baru pulang..” Ucapan Papa terputus, dia mengurungkan niat untuk berucap kata yang lainnya. Papa segera pergi ke kamar. Meninggalkan Ersa dengan tanda tanya besar di hatinya.
Usia Papa sudah 60 tahun, tapi tubuhnya tak terlihat ringkih. Sebagai borjuis tentu dia menghabiskan waktu dan uang untuk fitnes. Yang selalu jadi perdebatan antara papa dan mama pasti tentang PIL atau WIL atau apalah itu. Ersa tak pernah ingin tahu masalah mertuanya yang sepertinya memang sudah mengakar.
Bukan tak mungkin sih Papa menyimpan WIL diluar, secara uangnya banyak, pasti banyak cewek yang tergila-gila dengan hartanya.
***
“Martabak dari mana non?” tanya Bibik yang sudah lama sekali tinggal disitu, membantu keluarga Tio. Ersa sudah menganggap Bibik seperti saudaranya sendiri.
“Dari Papa Bi, mau?” Ersa menyerahkan martabak itu, tapi Bibi menggeleng dan memperhatikan sekitar. Dia mengambil sepiring martabak itu dan meletakannya di kulkas.
“Lho koq ditaro Bi?”
“Gak baik makan martabak banyak-banyak, udah malam tidur sana non, kunci pintu ya..” Ersa mengangguk, malam ini dia sangat mengantuk. Mungkin coklat dari martabak itu yang membuatnya mengantuk.
Agak sempoyongan Ersa berjalan ke kamar. Dia mengunci pintu seperti yang disuruh bibik dan meletakkan kuncinya di atas TV.
Seperti menggunakan mantra, Ersa langsung tertidur. Sayup-sayup terdengar desahan suara laki-laki. Nafas berat meniup perutnya. “Mas Tio, kapan pulang?” desah Ersa, di fikir itu suaminya yang sudah pulang. Ersa menikmati sentuhan itu, hingga dia tersadar bahwa Tio sedang diluar kota, jadi siapa yang menindih tubuhnya. Tangan kekar yang mencoba membuka celananya hingga hampir separo. Ersa mengerjapkan mata. Lelaki itu! “Astaga Papa!” Ersa setengah menjerit, dilihat bayi mungil yang baru berusia 6 bulan itu sudah pindah tidur ke Sofa kamar.
Papa membekap mulut Ersa dengan tangan besarnya dan menamparnya. Ersa menangis.
“Jangan banyak tingkah kamu, wanita miskin! Sudah dibiayai segalanya!! Kamu ga mau kan orangtua kamu harus menggembel lagi seperti dulu!! Lakuin aja yang harus kamu lakuin!” Ersa menggeleng berusaha melepaskan pegangan tangan Papa ke mulutnya. Tapi tak berhasil lelaki itu sangat kuat sekali.
Dengan sekuat tenaga Ersa menendang perut Papa yang menindihnya. Papa terseungkur. Ersa teriak minta tolong, tapi sepertinya tak ada yang mendengar. Dia berlari ke pintu tapi tangan papa menghalaunya. Papa bahkan mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Ersa menjangkau Vas bunga dekat TV dan “Pranggggg!!!” kepala papa berdarah, Ersa berhasil membuka pintu itu. Bibik berlari menghampiri kegaduhan. Dilihatnya papa sudah tergeletak, tak bernyawa.
“Aku udah bunuh papa bi, aku pembunuh bi, pembunuh.” Bibik memeluknya, Ersa yang malang kejadian itu langsung terdengar oleh petugas security di bawah dan menelepon polisi untuk mengamankan Ersa.
Ersa diseret, polisi. Kakak kedua dan istrinya datang, menangis, memaki Ersa. Bibik memeluk bayi mungilnya. Ersa masih menangis.
“Tolong aku gak salah, aku hanya membela diri, tolong pak tolong!!”
“Plakkk” tamparan keras mendarat di pipi Ersa, kakak kedua Tio menamparnya hingga bibir Ersa berdarah. Bibik tak kuasa melihat itu, dia memeluk erat si bayi. Ersa berteriak bajunya masih dipenuhi darah papa, ketika polisi dengan paksa membawanya ke sel.
***
Sudah dua kali Ersa menjalani persidangan, namun hasilnya nihil. Semua seakan menyudutkannya dengan dalil bahwa dia memang berniat membunuh Papa mertuanya demi mendapatkan warisan.
Mama mertua, Kakak kedua dan istrinya, juga Tio menjadi saksi untuk Papa. Tio, Pria itu sepertinya memang tak benar-benar mencintai Ersa. Dia hanya menginginkan Ersa menjadi pelengkap saja. Toh dia sama sekali tak membela Ersa. Bahkan dia memaki-maki Ersa di setiap kesempatan.
Kakak pertama Tio datang tapi tak dengan istrinya. Mengapa tak ada saksi yang ingin meringankan bebannya?
Sidang kedua pun tidak menghasilkan apa-apa, Ersa dituntut hukuman mati. Ya hukum sering berpihak pada yang ber-uang.
Tentu keluarga Tio akan melakukan apapun asalkan nama Papa tak tercemar. Hanya satu orang yang membela Ersa. Dia Reza, pengacara yang mengaku bahwa ditunjuk dari menteri kehakiman. Pengacara yang memang membantu bagi tersangka yang tidak mempunyai kuasa hukum.
Reza pria yang baik, usianya masih muda, mungkin hanya berjeda 5 tahun lebih tua dari Ersa. Reza datang sehari setelah Ersa ditangkap polisi. Dia yang paling sering mengunjungi Ersa di sel. Dia yang menghubungi Ersa dengan keluarga yang menguatkannya.
Keluarga Ersa sudah kembali seperti dulu lagi. Ayah yang terpaksa bertani, ibu yang terpaksa berjual hasil tanian kepada tengkulak dengan harga yang sangat miris. Adik-adik Ersa yang masih sekolah dan terpaksa berjualan sepulang sekolah demi membayar biaya sekolahnya.
Tapi mereka tetap tegar, mereka yakin Ersa tak melakukan kesalahan, mereka percaya bahwa Ersa adalah anak yang baik.
Persidangan ketiga di gelar, kali ini Tio bersaksi.
“Dia memang istri saya, tapi dia tak lebih dari pelacur, saya yakin dia yang menggoda papa untuk melakukan hal kotor itu dan mencari cara untuk membunuh papa,” Tio berdiri di sebrang Ersa. Ersa menangis.
“Tidak pak Hakim, saya pertama kali menyerahkan keperawananpun dengan suami saya, saya belum pernah melakukan hal itu pak, percaya sama saya, saya hanya membela diri.” Suasana menjadi riuh. Hingga pak Hakim mengetuk palu persidangan meminta semua hadirin tenang.
Pak Hakim mempersilahkan seorang saksi lagi dari keluarga Papa, dan ternyata itu adalah kakak ipar pertama Ersa. Seorang wanita yang bertampang sangat jutek. Dia masuk dengan mengenakan kaca mata hitam, sesaat pandangannya melihat Ersa. Tapi dia langsung membuang muka dan membuka kacamata itu.
“Seharusnya saya berdiri disini untuk Papa, tapi tidak! Saya akan bersaksi untuk Ersa.” Suasana mendadak hening, apa yang akan dilakukan kakak iparnya itu? Tak tahukah dia semua keluarga ada disini dan bukan tidak mungkin kalau dia bisa terkena imbasnya.
“Saya pernah bekerja di sebuah kantor pengacara, dahulu sebelum menikah, sedikit banyak saya tahu mengenai hukum. Seseorang tak bisa di sebut bersalah jika ingin melindungi dirinya kan pak Hakim. Saya percaya Ersa tak berniat melakukan itu, hanya saja hal itu yang bisa dia lakukan untuk melindungi kesuciannya.” Suasana kembali hingar bingar, samar-samar terdengar suaminya berteriak menyuruh nya pergi dari tempat itu dan menyudahi kesaksian.
“Lanjutkan! Mengapa kamu berani bersaksi seperti itu?” ucap hakim itu tegas.
“Karena saya pernah mengalaminya.” Kakak menghela nafas panjang, “sepuluh tahun lalu, sebelum kami memutuskan pergi dari rumah terkutuk itu, bahkan dua kali Papa mertua melecehkan saya! Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa saya terlalu takut untuk bercerita ke suami saya, karena dia pasti tak percaya, ayah yang sangat di hormatinya melakukan hal itu, hingga akhirnya saya memutuskan pergi membawa kedua anak saya, dan suami saya menyusul saya sambil berjanji akan pergi dari rumah itu. Saya tetap tak menceritakan aib yang menimpa saya, saya pendam dalam hati, saya fikir dia tak akan melakukan hal itu lagi, tapi ternyata dia masih melakukannya.”
Kakak memendarkan pandangan ke penjuru. Terlihat muka-muka shock mendengar penuturannya. Ersa menutup wajahnya, dia terus saja menangis, tak menyangka ada yang membelanya. Ketika membuka tangannya dilihat kakak sedang tersenyum menatapnya. Diapun melanjutkan ucapannya.
“Banyak yang ingin bersaksi untuk Ersa, tapi tak di perbolehkan keluarga itu!” Tunjuk Kakak ke kumpulan keluarga Tio. “Ada bibik dan pa Supir juga, jika Pak hakim berkenan, persilahkan mereka untuk maju ke dalam memberi kesaksian juga,” hakim mempersilahkan saksi selanjutnya yaitu Bibik dan Pa Supir, setelah melakukan sumpah dibawah Al Qur’an. Kedua orang yang dikenal baik oleh Ersa itu bersaksi.
Bibik bilang dia melihat Papa meletakkan serbuk di martabak untuk Ersa, dia bahkan menyingkirkan martabak itu dari Ersa dan memberikannya ke kucing. Ternyata kucing itu langsung tertidur. Bibik yakin bahwa ada obat tidur di martabak itu yang sudah dimakan Ersa. Dia juga bilang hampir tiap malam papa mengintip kamar Ersa. Entah apa yang di fikirkannya.
Pa Supir menambahkan bahwa dia mengantarkan papa ke apotik, disana dia bahkan mendengar nama obat yang dibeli papa. Ya papa memang membeli obat tidur dengan dosis tinggi yang cukup mahal agar tidak terlalu terasa di lidah. Mereka berdua ingin bersaksi tapi keluarga Tio mengancam akan memecat mereka dan menghentikan seluruh santunan untuk keluarganya.
Hakim dan jaksa beserta jajaran stafnya ingin merembukkan hal tersebut. Ersa, kakak Ipar dan Bibik beserta pak supir dibawa keruangan terpisah, menghindari amukan dari keluarga Tio.
Ersa memeluk Bibi dan kakak Ipar. Dia menangis tersedu-sedu mengucapkan terimakasih atas kebaikan mereka semua.
“Ka, kalau suami kakak marah sama kakak bagaimana?”
“Engga apa-apa, kaka sudah mempersiapkan semuanya. Setelah meninggalkan rumah itu, kakak membuka usaha atas nama kakak sendiri. Kaka punya banyak kenalan pengacara, dan kakak memang mau berpisah dengannya Sa, hmm Reza sebenarnya bukan ditunjuk dari pemerintah. Tapi kakak yang minta dia, kakak kenal Papahnya yang pemilik perusahaan pengacara tempat kakak dulu bekerja, kamu percaya sama dia, dia pasti melakukan yang terbaik untuk kita.”
Ersa mengangguk dia menatap bibik. “Bagaimana dengan bibik, kalau di pecat bagaimana?”
“Bibi udah ngundurin diri Sa, dan udah pindah kerja ke tempat lain, pa Dalu juga,” bibik menatap pa supir yang memang suaminya itu. Ersa tersenyum, untuk pertama kalinya dia bisa tersenyum setelah sebulan di penjara.
Anaknya diasuh oleh baby sitter yang baik, Tio tak mungkin mengacuhkan anaknya itu. Ersa berjanji jika dia bebas nanti dia akan memperjuangkan hak asuh anaknya itu. Toh Reza juga akan membantunya.
Reza dengan jas berwarna hitamnya masih mematung memandangi pemandangan di hadapannya. Betapa persaudaraan terlihat begitu indah. Dia tak mengerti rasanya punya kakak, karena dia anak tunggal. Dia tak dekat dengan pembantu atau supir pribadinya karena terlalu fokus pada masalah yang dihadapi kliennya.
***
Hakim telah memutuskan berdasarkan sebuah pasal yang mengatur mengenai perbuatan “pembelaan darurat” (Noodweer) untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat. Menurut pasal ini orang yang melakukan pembelaan darurat tidak dapat dihukum. Pasal ini mengatur alasan pembenar karena perbuatan pembelaan darurat bukan perbuatan melawan hukum.
Ersa pun resmi dinyatakan tak bersalah. Dia bebas! Dengan syarat Ersa harus melapor selama setahun penuh. Ersa sujud syukur di hadapan hakim, keluarga Tio sangat kesal sekali pengacaranya kalah dalam hal ini.
Polisi sudah menunjukan pisau lipat yang di temukan dekat Papa. Dan dia pun mengumpulkan saksi dari Bibik, Pa Supir, serta Security yang serempak mendengar ucapan minta tolong, sebelum kejadian itu.
***
Setahun menata hidup dari nol, Ersa bersama buah hatinya. Kakak Iparnya, ups maksudnya kakak yang bernama Elita itu yang menyokongnya, membantunya berdiri di kakinya sendiri.
Elita juga sudah berpisah dengan suaminya dan memutuskan pergi bersama kedua anaknya ke tempat lain. Dia bersama Ersa mengelola sebuah Toko kue yang semakin lama semakin besar dan berkembang ke daerah-daerah luar kota.
Ersa sangat senang ilmu manajemen pemasaran yang di dapatnya sangat berguna disini. Elita memang pandai membuat dan menghias kue. Ketika tinggal bersama suaminya dulu dia sudah membuka toko kecil tanpa sepengetahuan suaminya. Dan toko itu lah kini yang di miliki sekarang. Yang sudah pindah pusatnya ke tengah kota.
Kedua anak Elita sangat akur dengan anak Ersa, sebagai sepupu mereka tumbuh menjadi keluarga yang saling menyayangi.
Semenjak keluar dari tahanan, Ersa dekat dengan Reza. Lelaki berwibawa itu sangat memperhatikan Ersa dan anaknya, dia pula yang menjadi pengacara untuk mengambil hak asuh anaknya.
Dan kini dia sedang memandangi kue yang dibuat Ersa untuk calon istrinya. Kue berbentuk hati berwarna pink dan dihias dengan bunga-bungan cantik bertuliskan ‘Happy B’day Would you marry me,’
“Kapan kamu mau kasih kue ini, aku ga nyangka kamu romantis juga,” Reza terkekeh dia masih memandangi kue itu.
“Hmm malam ini, tepat ulang tahun dia,” Ersa mengernyitkan keningnya, dan mengangkat kedua bahunya.
“Pasti beruntung banget wanita yang jadi istri kamu,”
“Yah aku belum tahu, kan dia belum nerima lamaran aku,” Reza membawa kue itu ke mobilnya, diapun berpamitan dengan Ersa untuk menyiapkan segalanya.
Ersa tersenyum meski hatinya sakit, setahun dekat dengannya, Ersa sempat berfikir kalau Reza menyukainya, tapi ternyata tidak. Reza sudah mempunyai calon pendamping sendiri. Yah siapalah dirinya yang hanya mantan narapidana dan pernah membunuh orang.
Ditambah keluarga Reza juga keluarga yang terpandang, Ersa tak mau mendapat perlakuan yang sama seperti yang pernah dia dapatkan dulu. Kenangan hitam itu harus segera pergi dari hidupnya.
“Hei koq bengong!” Elita menepuk pundak Ersa, Ersa hanya tersenyum.
“Temenin beli baju yuk, ntar malam acara lamaran Reza, kamu diundang kan?” Ersa menggeleng, tapi Elita terus menggiringnya ke mobil dia menyetir mobil ke pusat perbelanjaan.
Dan disinilah mereka berdua shopping, melupakan segala permasalahan yang ada. Bahkan mereka sudah sibuk merawat tubunya di salon & spa.  Meskipun tak diundang tapi tak sepatutnya Ersa tak datang ke acara lamaran nanti malam. Hatinya memang teriris, karena Ersa mulai menyukai Reza. Tapi Elita pun terus mendesak untuk menemaninya.
***
Ersa memandangi sebuah restoran yang sudah disulap menjadi tempat yang sangat indah, banyak balon berwarna pink dan berbentuk hati. Kursi-kursi disusun rapi lengkap dengan pita berwarna putih, senada dengan taplak mejanya. Juga bunga-bunga berwarna pink dan putih menghiasi meja-meja. Sebagian tamu sudah datang. Kebanyakan saudara Reza dan teman dekatnya. Ersa duduk dengan Elita di bangku depan.
Kasus Ersa menarik minat orangtua Reza yang keduanya memang seorang pengacara. Dari situ mereka cukup dekat dan sering berbincang-bincang sehingga Ersa tak segan lagi berhadapan dengan mereka.
Ibunya Reza, berwajah sangat lembut meskipun tatapannya tegas. Dia menyanggul tinggi rambutnya dan mengenakan kebaya berwarna cokelat tua. Menyalami Ersa dan Elita.
“Calon istri Reza yang mana tante?” Ersa mengalihkan pandangannya ke wanita-wanita muda di sekitar situ. Mereka tampak cantik-cantik sekali.
“Nanti juga kamu tahu,” Ersa tersenyum meski tak dapat menutupi rona sedih dari matanya. Ah dia memang terlalu ge-er, hingga akhirnya hatinya harus menanggung sakit sebanyak ini.
Berkali-kali Ersa mengerjapkan matanya, berharap butiran halus itu tak mendadak turun ketika nanti Reza melamar wanita pujaan hatinya di depannya.
“Ka, aku mau pulang aja ya,” Ersa berdiri ketika acara mau dimulai. Tapi Elita menarik tangan Ersa.
“Jangan bikin malu deh, udah duduk aja situ!” nah kan Ersa tak bisa berkutik jika Elita sudah bertampang jutek seperti itu. Elita sebenarnya tahu kalau Ersa sedang sakit hati. Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah direncanakan.
Reza mengenakan jas silver lengkap dengan bunga kecil yang menyembul dibalik sakunya. Ersa menyesal kenapa dia tadi memilih gaun berwarna silver di toko. Jika saja dia memilih warna hitam atau merah. mungkin hatinya tak akan se-nelangsa ini. Dia akan terlihat seperti orang bodoh, mengenakan warna yang senada dengan baju Reza.
Di pendarkan pandangan ke sekitar, terlihat ada wanita anggun yang memakai baju berwarna silver juga, ah itu pasti calon istri Reza. Dan naas, wanita itu juga memperhatikan Ersa. Ohh Ersa malu sekali ketahuan menatap orang lain dengan tatapan melas seperti itu. Ersa buru-buru menenggak air putih di hadapannya hingga habis tak tersisa.
“Malam ini, saya akan menyampaikan perasaan saya yang terdalam kepada wanita, calon istri saya. Mudah-mudahan sih diterima,” sontak semua hadirin tertawa, Reza memang tak pandai berbasa-basi dia selalu mengatakan hal ke intinya.
“Hari ini ulang tahun dia, dan sudah lama saya jatuh cinta dengan dia. Dia wanita pertama yang mengajarkan saya arti keluarga. Arti pengorbanan dan arti dari perjuangan. Dia yang mengajarkan saya keberanian dan kemandirian. Dia mungkin tak menyadari bahwa kehadirannya sudah membuat hidup saya sempurna.” Ersa menelan ludah yang terasa tercekat. Dia mengalihkan pandangan lagi ke perempuan itu. Jelas sekali wajah perempuan itu merona. Dia pasti bahagia sekarang.
Ersa menggigit Tissue, sambil memandang wanita itu yang masih tersipu malu. Elita menarik tissu dari mulutnya, tapi Ersa tak mau melepasnya. Dia membiarkan orang yang sudah dianggap kakaknya itu menarik-narik tissu dari mulutya yang tetap tak mau dilepaskan. Ersa menggeleng meskipun mendapat tatapan sinis dari Elita yang sudah komat-kamit memintanya melepaskan tissu itu. Duh dia layaknya seorang anak kecil yang tak dibelikan balon. Elita menyerah, dia mendekap tangannya. Karena Ersa sudah mengeluarkan air mata. Dia tak mampu menahan lebih lama.
“ERSA...” Suara Reza menggema dari depan, Ersa mengalihkan pandangan ke Reza, masih dengan mulut yang ada tissunya.
Akhirnya Elita berhasil menarik tissu itu. Dia melemparkan ke meja dengan nafas lega.
“Would you marry me?” Reza mendatanginya sambil membawa kue ultah ke meja Ersa. Ersa tak menyangka wanita yang dimaksud adalah dirinya, dia kembali melihat wanita bergaun silver tadi. Wanita itu hanya tersenyum geli dan bertepuk tangan. Diikuti dengan tepuk tangan yang lain. Ersa memandang Elita, yang dipandang hanya menggeleng pura-pura tak tahu. Dia melihat ke dua orangtua Reza. Mereka hanya tersenyum dan mengangguk. Senyum tulus yang Ersa tahu, yang tak pernah diberikan mantan mertuanya dahulu.
“Aku ga tau klo hari ini ulang tahunku?” Ersa menatap kue ulang tahun buatannya sendiri. Beruntung tadi dia tak meletakan racun di kue itu karena saking kesalnya.
“KTP kamu ga palsu kan?” Ersa mencubit pipi Reza dengan gemas. Dia pun meniup kue ulang tahunnya. Dan mengangguk. Menyatakan bahwa dia ingin menikah dengan Reza.
Reza membawanya ke depan. Dan menyematkan cincin di jari manisnya. Ersa senang sekali. Malam ini adalah malam yang paling membahagiakan dalam hidupnya.
Dia sudah menemukan hidup yang baru, bersama Reza orang yang dicintainya, yang kelak menjadi suaminya, Imam dalam rumah tangganya. Ayah dari anak-anaknya.
Tak ada lagi yang Ersa dambakan melainkan kebahagiaan, yang telah lama ditunggunya.
Tak menunggu waktu lama, Reza segera menikahi Ersa. Acara pernikahan yang berlangsung cukup meriah. Meskipun dengan konsep yang sederhana.
Sementara keluarga Tio sudah menerima kehancurannya. Ternyata Papanya terlibat kasus korupsi yang melibatkan salah satu pejabat daerah. Keluarganya harus menanggung malu dua kali. Tio menjadi pribadi yang suka marah dan mabuk-mabukan. Sementara Mama sudah sakit-sakitan. Kantor yang diurus anak pertamanya lama kelamaan pailit. Itulah yang harus diterima keluarga yang sudah menzholimi orang lain.
Bibik dan suaminya sudah lama bekerja dirumah Reza, kelak menjadi rumah Ersa. Karena Reza sudah tinggal terpisah dengan orangtuanya sejak berusia 25 tahun.
Dan kini Ersa, anaknya serta Reza merenda kasih di rumah itu. Menjadi keluarga yang bahagia.

---Tamat----

No comments:

Post a Comment