Pages

Friday, November 4, 2016

CERPEN : TARIAN RINDU - PART 1

            BY: khody_Didi
“Dia tidak mengenalku?” Berkali-kali Emi atau wanita bernama lengkap Emily Sheradona itu menggumam tak percaya. Hari ini untuk pertama kalinya dia menyapa seorang pria yang selama beberapa tahun belakangan ini hinggap di pikirannya. Tapi pria itu bahkan tak mengenal Emi mungkin malah tak pernah menganggap Emi ada.
Gedung tempat mereka bekerja sangat protect, hanya karyawan yang mempunyai kartu akses yang bisa masuk ke dalam gedung tersebut. Sialnya atau mungkin beruntungnya Emi tidak membawa akses card. Sehingga dia meminta tolong kepada seorang yang sedang duduk menghisap rokok di depan gedung.
“Maaf, Mas boleh minta tolong bukain gak?” Pria itu berjalan ke pintu akses, dia tampak cuek.
“Dari mana mba?” Pertanyaannya seakan menyelidik ada keperluan apa Emi ke kantor itu. Karena memang tidak sembarang orang yang bisa masuk ke gedung, sementara security yang biasa jaga depan pintu entah pergi kemana?
“Akses saya ketinggalan Mas,” Emi memamerkan senyumnya yang paling manis, meski hatinya sedikit sakit, karena pria itu tak mengenalnya. Jika dia tahu Emi karyawan di sana, tentu tak mungkin dia menanyakan hal itu.
“Owh, ketinggalan.” Setelah mengucapkan terimakasih, Emi masuk ke dalam dengan perasaan yang menggalau, seharusnya dia senang karena sudah bisa bertegur sapa dengan pria itu. Tapi kenyataan bahwa lelaki itu tak mengenalnya sama sekali membuatnya sakit.
Yah tak bisa dipungkiri, bahwa karyawan di sana berjumlah ribuan orang. Tapi Emi berhak berkilah, pasalnya mereka seringkali berpapasan. Dan terkadang makan di meja kantin yang sama.
Ah mungkin memang benar dugaan Emi. Dia sangat mencintai istrinya yang telah bersamanya dalam pernikahan dua tahun belakangan ini.
Pria itu bernama Valen, tahun ini genap berusia tiga puluh tahun. Menjabat sebagai head section bagian finance. Tubuhnya tinggi atletis, dengan wajah yang bisa dibilang tampan seperti pangeran dongeng. Sebelum menikah dia merupakan idola para gadis, bahkan hingga kini setelah menikah pun masih banyak wanita yang tertarik padanya. Seperti Emi contohnya.
Hanya saja Emi terlalu diam akan perasaannya, dia hanya mengganggap dirinya itu remahan rempeyek dalam kaleng lebaran lima tahun lalu, kebayang kan sudah bulukan :D . sementara wanita yang menikahi Valen mempunyai wajah yang cantik karena blasteran dari ayahnya yang orang barat. Hal itu diketahui Emi dari akun instagram Valen yang pernah upload foto istri dan anak perempuannya.
Seharusnya Emi bisa melupakan Valen, toh dia sudah berkeluarga dan tidak selayaknya seorang gadis mencintai pria beristri. Tapi hal itu sangat mustahil bagi Emi, menurutnya selama dia tidak mengganggu kehidupan Valen, dia merasa tidak apa-apa.
***
“Mi, sini nak mamah mau ngomong,” Baru saja Emi melangkahkan kaki ke ruang tamu, hari ini waktu berjalan lambat sekali rasanya. Mungkin karena kenyataan pahit yang diterimanya pagi tadi.
“Ada apa mah?” Emi duduk di Sova samping adik perempuannya yang masih kuliah.
“Kalian tahu kan, mamah udah ambil pensiun dini? Rumah ini rencananya mau mamah kontrakin aja mumpung lokasinya strategis di pinggir jalan. Trus mamah beli rumah yang lebih kecil untuk kita bertiga. Bagaimana menurut kalian?” Emi menarik nafas panjang. Ibunya yang seorang single parent pasti sudah mengalami hal-hal berat selama sepuluh tahun belakangan ini semenjak ayah meninggal. Keputusan pensiun dini rasanya sudah sangat tepat.
“Aku setuju mah,” Ucap Emi mantap. Via, Adiknya pun mengangguk. Meskipun dia masih kuliah tapi dia tak pernah membebani mamah dengan biaya kuliahnya. Semua dia yang menanggung dari kerja. Makanya Via memilih kuliah kelas karyawan yang diikuti hanya hari sabtu saja.
“Mamah udah pilih lokasi, kebetulan di sebuah perumahan ada orang jual murah karena mau pindah keluar negri, tadi mamah sudah survey lingkungannya bagus. Tetangganya juga sepertinya baik-baik, tadi mamah ketemu ibu muda dengan anak perempuannya yang masih bayi, lucu deh. Mamah sih cocok disana, tapi kalau kalian punya recomendasi lain ya engga apa-apa,”
“Tuh Ka, mamah udah pengen momong cucu, kakak nikah gih,” Ledek Via sembari menjulurkan lidahnya
“Dih, pacar aja gak punya mau nikah sama siapa? Sama sapi?” Emi menoyor kepala adiknya dengan gemas.
“Udah, udah kalian kapan sih berhenti bertengkar? Pusing mamah udah segede gini masih aja suka ribut, Emi usia kamu udah dua puluh enam, sudah saatnya mencari pendamping hidup. Via kamu juga sudah mau lulus kuliah kan? dewasa sedikit dong!” Via dan Emi hanya bisa menunduk sambil mengadu kaki mereka berdua dengan pelan. Kalau mamah sudah marah itu artinya ‘no diskusi lagi’.
Merekapun harus sepakat dengan keputusan mamah untuk pindah ke sebuah perumahan sederhana pilihannya. Berat memang meninggalkan rumah yang sudah ditempati sedari kecil ini, tapi untuk rumah tinggal, ukuran rumah Emi sangat besar dan sayang banyak kamar yang kosong.
***
Pilihan Emi jatuh kepada soto betawi untuk menu makan siangnya di kantin, perutnya sudah meronta minta diisi, sementara Thena, temannya masih sibuk memilih makan. Akhirnya Emi yang kedapatan mencari kursi kosong di kantin.
Mata menyapu seluruh penjuru kantin, ada dua kursi kosong di pojokan, dengan bergegas Emi duduk di kursi itu. Dia segera menyantap sotonya tak perduli bahwa di sampingnya ada Valen. Baru kemudian ketika Thena duduk di hadapannya dia menyadari bahwa ada Valen di situ.
Thena memberi kode ke Emi agar menegor pria itu, tapi Emi menggeleng, duduk disampingnya saja sudah membuat panas dingin, apalagi kalau harus ngobrol. Ditambah Valen tak mengenalnya ah lengkap sudah derita Emi.
“Hai Mas Valen, lagi makan siang juga?” Valen mendongakkan wajahnya, menatap Thena dan tersenyum.
“Iya,” Emi memperhatikan Thena, wajar dia mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Wajahnya cantik oriental, keturunan chinese, kulitnya sudah pasti putih, make up selalu menempel di muka. Pasti Valen mengenalnya, apalagi dia cukup terkenal di kalangan cowok-cowok kantor.
“Oiya mas, anggaran gathering yang aku kasih ke finance udah sampai ke mas belum yah?” tampak sekali kalau Thena sedang SKSD dengan Valen. Karena yang mengerjakan anggaran itu kan Emi. Dan dia pula yang memberikan ke bagian finance.
“Dari tim mana yah?” Emi tersenyum puas, agak sedikit meledek Thena karena ternyata Valen juga tak mengenal Thena, pasti dia sedang sangat malu sekarang.
“Tim advertising mas, oiya nama saya Thena,” Thena mengulurkan tangannya yang disambut oleh Valen dengan tersenyum.
“Ini Emi, dari advertising juga,” Kali ini Thena mengenalkan Emi ke Valen, dengan agak gemetar Emi menyalami Valen. Tangan pria itu lembut dan sedikit berkeringat. Wajar sih siang ini cuaca cukup panas.
“Oh, Advertising, sepertinya sudah, tapi ada beberapa yang harus dirombak budjetnya terlalu besar, nanti kordinasi sama sekretaris saya saja ya,”
“Oke mas, Terimakasih. By the way klo mas mau ikut gathering tim kita enggak apa-apa lho mas, masih ada bangku kosong, sekalian silaturahmi.” Emi mengakui Thena memang pandai berkata-kata dan menarik pembicaraan lawan, tak seperti dirinya yang cenderung pendiam.
“Hmm, boleh nanti dilihat jadwalnya dulu.” Tak lama Valen yang memang sudah menyelesaikan makan siangnya pamit undur diri. Menyisakan Thena dan rasa deg-degan di dada Emi.
Hanya Thena yang tahu perasaan Emi terhadap lelaki mapan itu. Selebihnya Emi tak pernah menceritakan ke siapapun. Thena berkali-kali meledek Emi, membuatnya salah tingkah. Dia memang melakukan itu untuk Emi. Dan mungkin juga untuknya, entahlah.
Persahabatan mereka belum terjalin terlalu lama, karena mereka memang hanya berhubungan di kantor saja. Selebihnya Emi dengan kehidupan nya yang biasa-biasa saja dan Thena dengan kehidupannya yang luar biasa.
Banyak perbedaan antara mereka, selain fisik yang memang cukup jauh berbeda. Bukan berarti Emi tak cantik. Sebagai seorang wanita dia juga termasuk cantik hanya saja dia tak pernah mengeksplorasi kecantikan wajahnya dengan make up. Baginya cukup bedak tabur bayi dan lip gloss yang menemani kesehariannya.
Sedangkan Thena, tanpa Eyeliner, mascara, Blush on, tak akan mau pergi kemana-mana. Thena yang sering menghabiskan malam dugem di club, sementara Emi yang lebih suka berdiam diri membawa buku sambil mendengarkan lagu-lagu pop yang mendayu-dayu.
Terlihat jelas kan mereka tak sama? Dari banyak segi.
***
Semua barang sudah beres tertata di rumah baru Emi, di sebuah perumahan sederhana bergaya minimalis. ‘Kasihan mas Valen,’ Emi menggumam lagi, seminggu lalu Valen harus menerima kenyataan bahwa istri yang dikasihinya meninggal dunia karena penyakit langka yang dideritanya.
Emi dan sebagian karyawan kantor datang ke rumah duka milik mertua Valen. Suasana sedih terlihat sangat kental, apalagi melihat bayi Valen yang baru berusia delapan bulan itu menangisi ibunya ketika jenazah akan dikafani.
Satu hal yang Emi tak mengerti, mengapa Thena terlihat sibuk sekali disana, menyambut tamu, bahkan dia tak ikut pulang dengan karyawan lainnya dan Emi. Mungkin Thena memang sudah dekat dengan keluarga istri Valen? Entahlah Emi tak mau membebani perasaan curiganya ke Thena.
Emi menggeleng, mengingat Valen meneteskan air mata saja sudah membuat dadanya bergemuruh sesak. Betapa tatapan Valen terlihat kosong tak bercahaya.
“Mi, bawain ini ke rumah samping ya, mungkin mereka belum makan, kasihan habis dapat musibah. Sekalian kamu kenalan sama tetangga kita itu,” Dengan malas Emi mengambil mangkuk sup buatan mamah, dan berjalan keluar.
Baru hari ini Emi ke rumah itu, tiga hari kemarin karena sibuk kerja, Emi tak bisa membantu mamah dan Via pindahan. Dia juga belum kenal dengan seluruh penghuni perumahan ini. Bahkan tetangga yang rumahnya menempel saja Emi tak tahu.
Diketuknya pintu hingga tiga kali namun tak terdengar suara yang membukakan pintu. Emi membalikkan badan, samar-samar terdengar suara bayi menangis dari dalam rumah itu, diapun mengetuk pintu lagi.
Masih tak ada yang membuka pintu, tercium bau hangus dari dalam rumah. Merasa ada yang tidak beres, Emi segera mendorong pintu yang ternyata tak terkunci dan berjalan ke sumber bau. Dilihat kompor menyala besar membakar gagang panci yang terbuat dari kayu, asap sudah mulai mengepul.
Emi berlari mematikan kompor itu, nafasnya sesak karena asap. Diraihnya sebuah lap dan langsung dibasahi, dia pun menutup api dari panci kecil itu dengan lap basah. Apipun mati. Tubuh Emi lemas karena panik. Kakinya menyenggol sesuatu, dia pun menunduk. Ada seorang yang duduk di dapur itu. Pandangan matanya kosong seakan tak bernyawa.
“Mas Valen!!” Pekik Emi.
***
(bersambung)

No comments:

Post a Comment