Pages

Wednesday, November 16, 2016

CERPEN : MEMORY

Setiap manusia punya cara tersendiri untuk membentengi diri dari kenangan yang menyakitkan. Ada yang memilih untuk menutup rapat peristiwa itu dan tak pernah membukanya kembali, sehingga kenangan tersebut hilang dimakan waktu.
Ada pula yang justru selalu mengingat setiap detailnya agar tak mengulang kesalahan yang sama.
Dua manusia dengan satu peristiwa dan dua cara pertahanan diri dari ingatan. Mereka bertemu kembali setelah hampir 20 tahun berpisah semenjak kejadian itu.
Kejadian yang membuat semua orang yang mendengarnya menjadi bergidik ngeri. Seolah mimpi buruk itu terputar ulang.
Maira sudah resmi bercerai dari suaminya tiga bulan lalu, dia lebih memilih bercerai dibandingkan dimadu. Yap lelaki yang selama hampir sepuluh tahun ini menemaninya, jatuh cinta dengan wanita lain.
Mereka saling memadu kasih, meski tahu itu cinta terlarang. Hingga kuatnya godaan membuat mereka tak bisa menghindari perasaan berbalut cinta semu. Dan memutuskan untuk menikah. Maira sendiri bukan anti poligami, hanya saja baginya sekali penghianatan tetap penghianat. Tak ada yang perlu dimaafkan!
Putra berusia 6 tahun itu resmi diasuh Maira setelah ketuk palu tiga kali di pengadilan agama. Maira kembali tinggal dengan orangtuanya. Di rumah sederhana namun penuh kehangatan.
Baginya rumah adalah orangtua dan orangtua adalah rumah. Tempat kembali dari lelah, tempat berlindung dan berkeluh kesah. Bagi Maira Analogi rumah, tak sesederhana yang dipikirkan oleh orang biasa.
“Ra, besok malem kita ada acara keluarga. Kamu pulang cepat ya.” Ucap bapak ketika Maira mengenakan sepatu sebelum berangkat kerja.
“Acara apaan Pa?”
“makan-makan aja sama kenalan bapa.”
“owh oke,” setelah menyalami tangan Bapak, Maira segera menuntun putranya yang kini sudah sekolah dasar untuk berangkat bersama.
Sudah beberapa tahun belakangan bapak tidak kerja, badannya sudah ringkih dan sakit-sakitan. Sementara ibu hanya menjalani usaha katering yang tidak tentu pendapatannya.
Secara tak langsung Maira menjadi tulang punggung keluarga. Adik perempuannya yang beda 5 tahun dibawahnya sudah menikah dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga sehingga dia pun terkadang jika ada rezeki lebih ya memberi ke orangtua. Tapi sebagai orangtua yang bijak, mereka tak pernah menengadahkan tangan ke anak-anaknya.
~~~
Sebuah mobil avanza hitam terparkir di depan rumah, ketika Maira pulang kerja. Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Seorang pria asing terlihat duduk berbincang dengan bapak di teras. Mungkin usianya hanya terpaut beberapa tahun dibawah bapak.
Maira segera masuk kedalam untuk berganti pakaian, karena bapak bilang tamu itu yang akan mengantar mereka ke pertemuan keluarga nanti.
Meski penuh pertanyaan di benak Maira namun dia mampu menahannya. Elisa, adik Maira pun sudah sampai dengan suaminya. Perutnya sudah membuncit, usia kandungannya sudah memasuki bulan ke delapan.
Velo, anak Maira sibuk mengoceh pertanyaan ke tantenya mengenai bayi yang dikandungnya. Terlihat sekali betapa Velo sangat Excited menanti kelahiran sepupunya itu.
Dengan riasan seadanya Maira keluar kamar, dia mengenakan longdress putih dengan heels berwarna senada. Ibu bilang mereka akan makan di restaurant, setidaknya mereka harus mengenakan pakaian formal. Meskipun Maira tahu ini pertama kalinya kedua orangtuanya makan di restaurant.
Bapak saja sampai mengenakan baju batik. Terkadang Maira terkekeh sendiri melihat orangtuanya yang gugup, mereka bilang takut salah pegang sendok lah, takut daging yang dipotong terpental lah. Mungkin mereka terlalu sering nonton film warkop DKI jadi fikirannya sudah melayang kemana-mana.
Maira baru bisa menghentikan senyumnya ketika melihat restaurant yang dituju. Sebuah restoran yang memang sangat mewah, bahkan memimpikan untuk bisa makan di situ saja tidak pernah terlintas di benaknya.
Seorang waitress membawa mereka ke sebuah meja cukup besar yang sudah dipesan. Ada sepasang orangtua yang Maira tak kenal. Dari wajahnya terlihat sekali mereka adalah orang kaya dan berpendidikan tinggi. Lagi-lagi Maira bertanya dari mana bapaknya bisa punya kenalan orang ‘berada’?
“Ini Maira,” ucap bapak memperkenalkan Maira, Maira menyalami mereka berdua. Yang biasa dipanggil Om Tanu dan Tante Lila. Terkadang mereka berdua saling bertatapan penuh rasa bersalah ke Maira. Atau tatapan yang Maira sendiripun tak mengerti artinya.
“Sudah dua puluh tahun ya kita tak bertemu?” ucap om Tanu. Maira hanya tersenyum, dia bahkan tak pernah mengingat kedua orang itu. Dua puluh tahun? Itu berarti ketika usia Maira 9 tahun. Apa yang terjadi saat itu? Mengapa Maira sama sekali tak ingat dengan mereka berdua?
“Oiya dimana Reno?” Bapak mengajukan pertanyaan. Dibarengi dengan datangnya berbagai menu yang telah dipesan sebelumnya.
“Dia masih ada rapat, mungkin butuh waktu untuk mempersiapkan diri menghadiri pertemuan ini.” Jawab Om Tanu sembari terkekeh, meskipun wajahnya sedikit menegang. Entah apa yang menjadi fikirannya.
Di sebelah kanan Maira kursi kosong, sementara Velo ada di sebelah kirinya. Meja itu berbentuk lingkaran sehingga satu sama lain bisa saling bertatap muka ketika berbincang.
“Reno siapa?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Maira. Om dan Tante hanya saling tatap.
“Anak kami,” ucap Tante. Dan mereka semua hanyut dalam pembicaraan non formal mengenai kesibukan Ibu dan Bapak, juga aktifitas Om dan tante sembari menyantap makan malam.
Selang beberapa menit seorang pria dengan kemeja fit body menghampiri meja Maira, tubuhnya tinggi berkulit putih. Rambutnya rapih terlihat sekali bahwa dia merupakan seseorang yang memperhatikan penampilan. Pria itu mengambil tempat duduk disamping Maira.
“Nah Maira, ini Reno, anak tante.” Ucap tante Lila memperkenalkan anaknya. Reno mengulurkan tangan ke Maira yang langsung dibalas oleh Maira. Tangannya dingin sekali entah karena dia habis dari tempat dingin atau apa? Diapun menyalami seluruh anggota keluarga Maira.
Sekilas Maira melihat tangan kanan Reno bergetar, yang langsung ditutupi dengan tangan sebelahnya. Dia hanya meminum jus mangga. Keringat sebesar biji jagung muncul dari pelipisnya. Membuat Maira semakin heran, kenapa orang bersuhu tubuh dingin justru keluar keringat di tempat sesejuk ini?
Bahkan pria itu terlihat gugup dan terbata-bata menjawab beberapa pertanyaan ringan dari Bapak, sehingga suasana menjadi canggung sekali.
“Kamu apa kabar?”Tanya Reno ke Maira, Maira menatapnya lekat tapi laki-laki itu buru-buru mengalihkan pandangan dan meminum jus Mangga nya yang sudah hampir habis.
“Baik, kamu sakit ya? Wajah kamu pucat?” Maira menyebut ‘kamu’ karena mengikuti Reno yang memulai menggunakan kata ‘kamu’.
“Ah enggak koq, bi..biasa aja.”
“Owh, apa kita pernah kenal sebelumnya ya?” wajah Reno semakin pucat dia menarik bibirnya berusaha tersenyum, dan menatap kedua orangtuanya penuh tanya. Sementara kedua orangtuanya hanya menggeleng lemah.
Maira menjadi tak sabar ingin pulang dan bertanya dengan orangtuanya, ada hubungan apa dia dengan keluarga mereka? Mengapa Maira merasa sangat asing berada diantara mereka. Tapi mereka justru terlihat sangat mengenal Maira.
~~~
Pak supir yang tadi menjemput keluarga Maira, kembali untuk mengantarkan keluarga Maira pulang. Ternyata dia sudah lama menjadi supir pribadi keluarga Reno.
Rasa kantuk menggelayuti Velo, sehingga dia tertidur di pangkuan Maira. Sesampainya dirumah Maira segera menidurkan Velo di kamar. Sementara Elisa dan suaminya langsung pulang ke rumah mereka.
Ibu dan Bapak duduk di ruang TV setelah berganti baju. Maira ikut duduk diantara mereka. Ratusan pertanyaan sudah berputar di kepalanya.
“Ada yang mau jelasin sesuatu?”
“Yakin kamu siap dengar cerita kita?” tanya Ibu, dia mengambil teh manis dan cemilan untuk teman ngobrol. Sementara bapak lebih memilih kopi. Maira mengangguk. Dia siap lahir batin mendengar cerita itu.
“Waktu itu usia kamu 9 tahun, kamu pulang kerumah dalam keadaan menangis. Rok sekolah kamu ada noda darah.” Bapak memandang ibu untuk meminta persetujuan, ibu mengangguk.
“Hari itu kamu diperkosa oleh seorang pria SMA,” Maira masih mendengarkan dengan seksama berusaha mengingat tapi dia tak ingat apa-apa. Seharusnya kejadian seperti itu tak bisa terlupakan, tapi mengapa Maira bisa melupakannya?
“ketika kamu sampai rumah dan menceritakan semuanya, bapak marah dan mencari orang yang melakukan hal bejat itu. Tapi nihil. Tak ada siapa-siapa. Kami menyembunyikan kamu dan berita ini, tak ingin menjadi aib.” Mata bapak terlihat terluka menceritakan pengalaman pahit itu. Dia bilang kalau keesokan harinya ada dua orang pria dengan pakaian rapi, berjas datang kerumah mereka. Itu adalah Om Tanu dan pengacaranya.
Mereka datang untuk meminta maaf atas kelakuan putra mereka. Saat itu Reno habis dicekoki narkoba oleh teman-temannya sehingga dia setengah sadar melampiaskan nafsu bejatnya.
Pengacara menawarkan uang yang sangat besar sebagai uang tutup mulut, tapi bapak marah. Baginya keperawanan putrinya yang nomor satu, bagaimana nanti dia bisa menikah karena telah ternoda.
Akhirnya mereka sepakat membawa Maira ke psikolog untuk menghilangkan trauma, karena Maira sakit dan terus menangis kesakitan. Di sana Maira di Hypnotheraphy untuk sedikit melupakan masalah itu. Meskipun terkadang Maira mengingatnya. Namun luka difikirannya membuat pertahanan sendiri, hingga akhirnya Maira benar-benar tak mengingatnya.
Bahkan dia menciptakan memori sendiri mengenai peristiwa itu. Dia bilang kalau dia jatuh dari sepeda sehingga mengakibatkan keperawanannya pecah dan berdarah.
Dengan lantang Maira bercerita hal itu kepada sanak keluarga yang menjenguk. Sekilas Maira ingat saat-saat dia bercerita karena dia memang merasa bahwa dia jatuh dari sepeda kala itu.
Dia ingat om dan tante maupun nenek kakek yang menjenguk menitikkan air mata setiap Maira cerita. Dua puluh tahun lalu, keperawanan merupakan hal yang tabu dan dijaga ketat. Hal yang seharusnya dijaga dengan amat sangat baik bagi perempuan. Entah mengapa sekarang nilai itu seolah bergeser, sehingga tak bisa terkendali lagi.
“Reno juga menderita.” Bapak meneguk kopi hitam buatan ibu. Reno benar-benar menerima akibatnya. Dia tak mendapatkan terapi apapun. Orangtuanya sangat marah karena dia telah menghancurkan masa depan seorang gadis.
Reno dikirim ke Australia, tinggal bersama budehnya disana. Tapi tetap dia menerima hukuman dari Tuhan. Setiap malam dia menangis menyesali nasibnya. Reno bahkan tak bisa menjalin hubungan dengan wanita manapun.
Dia selalu takut melihat perempuan, terbayang betapa dia tak bisa mengendalikan tubuhnya untuk menyakiti Maira. Dia terbayang air mata Maira yang memohon ampun.
Bahkan diusia dua puluh tahun, setelah lima tahun kejadian. Reno pernah menelan pil untuk bunuh diri. Tapi sebelum nyawanya terenggut, budeh menemukannya dan membawa ke rumah sakit.
Orangtuanya semakin sedih melihat kelakuan anaknya yang depresi. Reno tak mau dibawa ke psikiater. Dia bilang dia berhak menerima hukuman menyakitkan ini, bahkan jika ditusuk oleh seribu orangpun dia rela asal bisa menggantikan luka Maira. Gadis kecil yang disakitinya.
Sepuluh tahun lalu Reno kembali ke Indonesia, tapi dia harus menerima kenyataan bahwa Maira akan menikah dengan pria lain.
“Kenapa bapak gak larang Maira nikah saat itu?” Maira mendengarkan dengan seksama penjelasan bapak.
“Saat itu bapak fikir kamu berhak bahagia dengan orang pilihan kamu, bapak gak mau kebersamaan kamu dengan Reno justru akan mengingatkan kamu kembali.”
“Apa sampai saat ini Reno masih seperti itu, menangis dan menyesali perbuatannya.”
“Iya, sebelum pertemuan tadi Papanya Reno cerita ke bapak, bahkan setelah dia tahu kamu menikahpun dia tetap menangis setiap malam, hanya siang saja dia bisa sedikit melupakan kenangan itu, tapi jika malam tiba. Semua seakan menjadi mimpi buruk baginya.”
“Kasian Reno,” Maira menunduk. Ibu mengusap rambutnya.
“Yang jadi korban itu kamu, koq malah kasian ke orang?” Ibu menghentikan gerakan tangannya.
“Aku gak inget apa-apa bu, aku bisa jalanin kehidupan normal, mau dicoba ingat seperti apapun ya aku gak inget, yang aku inget ya aku jatuh dari sepeda di tempat itu. Dan aku mempercayai hal itu. Tadinya aku fikir ibu sama bapak mau bilang kalau aku anak mereka yang tertukar haha.” Ibu menjentikan jari ke kening putri tersayangnya. Sementara bapak terkekeh, dia tak menyangka putrinya memang benar-benar sudah dewasa menyikapi permasalahan ini.
Bapak Maira tidak melaporkan Reno ke polisi, karena dia tahu disini hukum bisa dibeli, biar saja Reno menangggung apa yang sudah dilakukannya. Biar saja Tuhan yang telah membalasnya, selama dua puluh tahun Reno hidup dalam penderitaan yang berkepanjangan. Dihantui rasa bersalah terus menerus.
Dahulu mereka sepakat untuk menikahi Reno dan Maira guna menebus dosa yang telah dia lakukan, perbuatan bejat yang tak seharusnya. Perlakuan yang sepatutnya hanya dilakukan jika sudah menikah dan hanya kepada pasangan suami atau istri saja.
~~~
Hari ini Reno mengajak Maira jalan, mereka nonton bioskop dan makan. Tak banyak percakapan yang dilakukan hanya sesekali berbasa-basi. Reno sepertinya masih trauma melihat wajah Maira.
Pakaian Reno lebih sporty hari ini. Sementara Maira hanya mengenakan jeans belel dengan kaus polos berwarna putih.
Hari sudah beranjak malam, Reno mengajak Maira ke pinggir kota menikmati pemandangan dari dalam mobil. tiba-tiba Reno mengeluarkan pisau lipat dan menyerahkan ke Maira.
“Kalau kamu mau bunuh aku silahkan Ra, aku sudah melakukan berbagai cara untuk bunuh diri tapi enggak bisa, mungkin jika kamu yang bunuh aku, aku akan tenang.”
“Enggak ah, aku gak mau masuk penjara.” Maira menatap wajah Reno, yang ditatap justru menunduk memegangi jari-jarinya yang bergetar hebat.
“Nanti aku bikin wasiat untuk gak penjarain kamu,”
“Ngaco kamu ah.” Maira menyalakan radio di mobil Reno. Lagu-lagu mellow diputar di statiun radio itu. Maira menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan mata.
Tangannya bergerak mengamit jemari Reno. Reno bingung dan menatap wanita di sampingnya. Maira membuka mata, lama mereka bertatapan.
“Aku gak inget apapun yang terjadi diantara kita dua puluh tahun yang lalu, aku harap kamu juga bisa lupain itu.”
“Enggak bisa, aku udah ngancurin hidup kamu!” Reno menarik tangannya kembali namun Maira menahannya.
“Apa kamu lihat hidup aku hancur, enggak kan! Aku baik-baik aja.” Air mata mengalir dari mata Reno tanpa bisa di bendungnya. Dengan tangan kanan Maira menghapus air bening itu dan tersenyum. Dia memeluk Reno. Ini pertama kalinya Maira melihat pria menangis.
“Aku selalu takut Ra, kamu harus percaya kalau aku lakuin itu diluar kesadaran aku.” Maira mengangguk. Reno pun membalas pelukan itu. Suara Mariah Carey terdengar, menambah syahdu suasana malam itu.
Semenjak hari itu hubungan Maira dan Reno semakin dekat. Reno pun terlihat menyayangi Velo, putra dari Maira.
Tapi selama kedekatan mereka, hampir tak pernah Reno menyentuh Maira terlebih dahulu. Selalu saja Maira yang memegang tangannya atau bersandar di bahunya.
Maira mulai jatuh cinta ke Reno, sementara Reno sudah jauh lebih dulu mencintai wanita itu. Rasa penyesalannya menimbulkan perasaan lain di hatinya. Dia justru takut kehilangan Maira, takut menyakitinya lagi.
~~~
Bulan demi bulan berlalu, sudah setahun semenjak pertemuan mereka. Maira dan Reno sudah memutuskan untuk menikah.
Maka niat baik ini segera dilaksanakan. Tak ada halangan berarti selama resepsi pernikahan mereka. Acara di gelar di sebuah gedung mewah, tamu undangan membanjiri lokasi. Seluruh keluarga terlihat bahagia, wajah Maira berseri-seri dia tampak jauh lebih cantik mengenakan kebaya buatan desainer terkenal.
Wajahnya pun berbalut make up mahal riasan dari penata rias nomor satu di Indonesia. Kini mereka berdua tampak serasi.
Selesai resepsi, Reno mengajak Maira ke sebuah hotel megah dan arsitektur yang sangat mewah. Bahkan satu kamar hotel saja luasnya bisa serumah Maira.
Tak henti Maira mengagumi hotel tersebut. Maira mengenakan baju super tipis. Malam ini dia sudah resmi menjadi istri Reno, apa yang akan mereka lakukan tentu menjadi halal.
Reno menatap pemandangan dari jendela, tampak hamparan lampu berjajar di kejauhan. Maira memeluk Reno dari belakang. Dengan berjingkat dia mengecup tengkuk suaminya. Reno terdiam.
Maira mengerutkan keningnya, dia membalikkan tubuh Reno menghadapnya. Lagi-lagi Maira berjingkat untuk mensejajari tinggi Reno, dia melingkarkan tangannya di leher Reno berniat menciumnya, namun Reno melepaskan pegangan tangan Maira dan tersenyum.
“Aku belum siap Ra, tolong ngerti ya.” Reno berjalan keluar kamar, entah kemana? Meninggalkan Maira dengan sejuta pertanyaan.
Malam ini Maira justru tidur sendiri, karena pukul enam pagi Reno baru kembali. Dia berusaha mengerti perasaan trauma suaminya. Tak mudah menghilangkan memori yang pernah terjadi.
Tapi Maira sudah kehabisan akal ketika sudah tiga bulan menikah, namun Reno tak pernah menyentuhnya sekalipun. Akhirnya dengan sedih dia menceritakan ke mertuanya perihal kelakuan Reno yang selalu saja bilang tak siap.
Bahkan Reno tak pernah tidur seranjang dengannya. Dia lebih memilih tidur di kamar tamu, atau di Sova kamar.
Dia selalu membuang wajah melihat tubuh Maira, padahal sudah berbagai usaha dilakukannya untuk menarik hasrat suaminya itu.
~~~
Ini adalah cara terakhir yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan rumah tangganya. Jika tak berhasil juga mungkin Maira akan menyerah terhadap Reno. Bahkan ajakannya untuk ke psikiater pun selalu ditolak olehnya.
Siang hari, tepat pukul satu. Maira membawa Reno ke lokasi traumatis itu. Ke sebuah lapangan tak jauh dari rumah Maira.
“Ra, kamu mau ngapain ngajak aku kesini.” Maira terus berjalan menggenggam tangan Reno.
“Ini cara terakhir untuk menyelamatkan rumah tangga kita Ren, kamu harus lawan. Apapun ingatan kamu mengenai tempat ini, jangan dilupakan, biarkan mengalir. Bahkan kamu harus mempertegas setiap detailnya.” Reno mengangguk melihat kesungguhan di mata Maira.
Pikirannya menerawang ke duapuluh tahun lalu. Dia bersama tiga temannya sedang duduk-duduk di lapangan, ketika tiba-tiba tiga temannya meminum sebuah minuman keras dari botol. Dan salah seorang memaksa Reno melakukan hal yang sama. Tapi Reno menolak.
Mereka bertiga tertawa sembari memegangi tangan Reno, entah berapa banyak minuman itu masuk ke tubuh Reno, yang dia tahu dia sangat pusing. Bahkan salah seorang temannya menyundut lintingan rokok yang sangat asing baginya dan sengaja meniupkan asap rokok itu ke wajah Reno.
Lama-kelamaan Reno menikmati aroma itu dan ikut merokok, padahal dia sebelumnya tak pernah merokok atau minum minuman keras. Seorang teman memberinya permen karet yang Renopun asing melihat permen itu. Tapi karena mulutnya seperti hampir mati rasa dia memutuskan mengunyah permen itu. Dan belakangan Reno baru tahu bahwa permen itu mengandung obat perangsang.
Lalu datang seorang lagi menyuntikan sesuatu di tangan Reno, sehingga Reno merasa terbang mengawang-awang. Dan tiduran di rumput itu. Ketika kesadarannya hampir hilang, ke-empat temannya pergi meninggalkan dia sendiri. Reno berusaha memanggil tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Hingga beberapa menit berlalu, Reno merasa sangat ingin buang air kecil tapi rasanya beda dari biasanya. Dan dari kejauhan dia melihat perempuan berseragam SD berjalan ke arahnya.
“Aarggghhttt.” Reno menekan kepalanya dan menggeleng.
“Ren, lawan please, jangan coba lupain ingatan itu.” Maira kembali menggenggam tangan Reno, keringat mulai membasahi tubuhnya. Reno mengangguk dan kembali berjalan. Dia pun flashback ke masa lalu.
Anak SD itu mengenakan kemeja dan rok putih, dengan topi dan dasi merah. berjalan dengan riang dibawah terik matahari. Reno masih berdiri mematung di tengah jalan. Ketika anak SD itu lewat di depannya, Reno langsung menariknya ke semak-semak. Dan terjadilah hal itu.
Suasana sangat sepi dan Reno yang sudah berusia 17 tahun jauh lebih kuat dibanding anak SD yang tak lain adalah Maira itu.
Maira meronta namun Reno membekap mulutnya. Reno melepaskan hasrat bejatnya ke gadis kecil itu. Gadis kecil itu menahan sakit dan terisak. Reno pun mulai kembali merenggut kesadarannya dan berlari ketakutan. Tak percaya dengan apa yang telah dia lakukan.
Reno masuk ke kamar mandi dan mengunci diri seharian dibawah guyuran air Shower. Hingga dia pingsan karena kedinginan. Dan orangtuanya membuka paksa pintu kamar mandi. Reno segera dilarikan ke UGD dia juga mengalami traumatis yang hebat.
Selama seminggu Reno seperti orang gila. Dokter bahkan sampai mengikat tangannya di ranjang karena Reno selalu berusaha menyakiti dirinya sendiri. Tubuhnya lebam karena dihantam oleh benda-benda keras.
Tapi rasa sakitnya tak seberapa dibanding rasa sakit Maira.
Mereka berhenti tepat di dekat semak tempat Reno menyakiti Maira. Mereka bertatapan. Kenangan itu seakan baru terjadi, Reno selalu mengingat dengan detail setiap kenangan itu.
Maira melingkarkan tangannya di leher Reno.
“Ini aku Maira, wanita yang kamu perkosa dua puluh tahun lalu. Aku sudah melupakan itu semua. Aku bahagia saat ini dan aku juga ingin kamu bahagia, aku ingin kita bahagia bersama. Gantikan kenangan lama itu dengan yang baru, Tuhan mungkin sudah menghukum kamu, tapi kamu tak berhak menghukum diri kamu lebih lama lagi. Aku yang sekarang butuh kamu, aku yang sekarang mencintai kamu, aku siap apapun yang akan kamu lakukan karena aku sayang sama kamu.”
“Maafin aku Maira,”
“Aku sudah memaafkan kamu, jauh sebelum kamu meminta maaf.” Reno membalas pelukan Maira, pelukan yang berbeda yang hanya bisa dirasakan oleh sepasang suami istri.
Bibir mereka bersatu, meluapkan segala rasa. Tempat ini menjadi saksi bisu apa yang telah mereka berdua alami. Bagaimana memori tersebut mempunyai cara tersendiri untuk merasuk dalam setiap otak manusia.
Reno berjalan pulang dengan rasa yang berbeda, rasa plong di dadanya. Shock terapi dari Maira istrinya sungguh sangat berhasil. Dia mampu melewatinya. Melewati pengalaman pahit yang selama duapuluh tahun ini menyiksanya.
Reno menjadi pribadi yang hangat, dia selalu melimpahkan kasih sayang ke Maira istrinya dan Velo, anaknya.
Dia tak pernah takut lagi akan malam hari, justru sekarang dia sering menantikan malam . Karena di malam hari dia bisa bersama istrinya. Tidur sembari berpelukan dengan orang yang dicintainya.
Dan kelak akan lahir anak mereka berdua, adik dari Vello.
Perlakuan Reno dimasa lalu memang tidak bisa ditolerir. Hukum dunia tak bisa menjeratnya namun masih ada hukum dari Tuhan dan dia sudah melaluinya. Dia sudah benar-benar bertaubat dan menyesali segala perbuatannya.
Reno selalu berharap tak akan ada lagi Reno-Reno yang lainnya, Reno yang bejat dan keji. Reno yang tega menyakiti orang lain. Reno yang tercela dan terhina.
Dan dia selalu berdoa agar tak ada Maira yang lain. Yang menjadi korban nafsu duniawi.
Dia selalu meminta kepada Tuhan untuk tak menghadirkan orang-orang sejahat teman-temannya yang bukan membawa pada kebaikan justru menjerumuskan kepada keburukan. Dia selalu memohon agar para remaja atau semua orang untuk lebih matang dalam bertindak, untuk memusatkan diri pada kebaikan.
Untuk menjaga diri dari perbuatan tercela dan keji. Terutama perbuatan yang bisa menghancurkan hidup orang lain.
Tak hanya itu yang Reno lakukan, dia aktif mendanai penyuluhan-penyuluhan mengenai narkoba dan kejahatan seksualitas.
Reno mendonasikan uangnya, untuk panti-panti rehabilitasi. Bahkan dia aktif di dalamnya. Mengurangi beban yang dirasakan korban.
Terkadang Reno masih suka menangis tiap malam, ketika berdoa agar keluarganya dan seluruh manusia terhindar dari apa yang dia dan Maira alami berpuluh-puluh tahun silam.
*Tamat*

Note : Ditulis oleh seseorang yang pernah jatuh dari sepeda :D :P

No comments:

Post a Comment