Pages

Sunday, November 6, 2016

CERPEN : TARIAN RINDU - PART 4 (END)

Acara lamaran sederhana itu berlangsung secara khidmat, keluarga Seto datang dengan membawa berbagai parsel. Sementara keluarga Emi menerima dengan tangan terbuka. Sepanjang acara Emi hanya menunduk, memikirkan apakah ini semua sudah berjalan seperti seharusnya?
Waktu selalu berjalan maju, tak mungkin dia menunda lagi. Cinta mungkin bisa hadir belakangan. Banyak pasangan yang awalnya saling mencintai justru setelah menikah rasa cinta itu hilang. Namun sebaliknya ada yang tak mencintai pasangannya namun setelah menikah cinta itu hadir begitu membahagiakan.
Tuhan sudah mengatur segalanya, sebagai manusia kita hanya mampu menjalani yang kita jalani. Melawan takdir juga tak boleh dilakukan. Karena melawan takdir sama saja tidak percaya dengan kebaikan Tuhan, jalan dari-Nya.
Tak seperti biasanya hari ini Thena murung. Matanya sembab, mungkinkah dia putus dari Valen?
Tetapi Emi tak ingin bertanya, menurutnya saat ini Valen adalah masa lalu dan Seto adalah masa depan baginya.
“Selamat ya atas pertunangan kalian,” Suara Thena parau. Emi hanya mengangguk. Dia sedang tak ingin merasakan sakit dihati.
“Lo, sejak kapan, hmm sama pa Seto?”
“Kenapa?”
“Enggak kenapa-kenapa sih, gw fikir lo masih suka sama Valen.”
“Suka bukan berarti gw harus milikin dia kan, toh nyatanya gw emang ga bisa milikin dia,” Emi menshut down komputernya. Bergegas pulang. Dia tak ingin berlama-lama membahas Valen, luka di hatinya harus sembuh. Sakit sekali bukan ditusuk dari belakang?
“Mi, Lo marah sama gw?” Thena berdiri, menarik tangan Emi. Emi menghempaskan tangan temannya ke udara. Matanya hampir menitikkan air yang sedari tadi ditahan.
“Mau lo apa sih Then? Udah lo sama Valen aja biar gw yang ngalah!”
“Tapi Mi!!” Emi berjalan cepat dia segera menaiki lift dan menekan tombol tutup, tak ingin Thena mengejarnya.
Mau apa lagi Thena? Tidakkah dia cukup menyakiti hati Emi? Seharusnya dia senang bahwa temannya itu sudah menemukan pendamping hidup, tapi kenapa dia malah terlihat marah.
Emi yang berhak marah atas segalanya. Atas perbuatan Thena yang seenaknya merebut Valen. Bukankah mereka akan menikah?
Malam ini Emi tak bisa tidur, berlembar-lembar Tissu dia habiskan karena menangis dan merasakan sesak yang menderanya. Bagaimana dia bisa mencintai Seto, jika sampai saat ini saja hatinya masih dipenuhi Valen.
Emi mendengar suara Valen diluar, tapi dia mengacuhkannya. Valen memang setiap hari kerumahnya untuk menjemput Tasya. Sudah sewajarnya dia berada disitu. Dikencangkan suara handphone yang memutar lagu-lagu galau. Menambah pilu hatinya.
***
Hari ini Thena tidak kerja, rekan yang lain bilang Thena mengambil cuti dadakan. Emi tak tahu dan tak mau tahu. Persahabatannya sudah hilang dari hati Emi.
Mengingat Thena dan perbuatannya sama saja menggores luka di tempat yang sama bagi Emi.
Sepanjang hari Emi tak bisa fokus. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang cepat. Di loby dia bertemu Valen. Dan Emi langsung membuang muka. Raut wajah Valen mendadak sedih melihat Emi.
Valen teringat pertemuan dengan Thena semalam, betapa wanita itu menangisi nasibnya. Dia tak tahu kalau Seto menyukai Emi. Ya! Dia mendekati Valen karena Seto.
Thena tahu Valen dan Seto bersahabat, sembari menjodohkan Valen dia juga ingin mengenal Seto lebih jauh. Seto ternyata orang yang tertutup dalam hal cinta, dia memang pernah bilang menyukai anak buahnya. Valen pun sempat berfikir bahwa Thena yang disukai. Dia tak menyangka bahwa Emi lah yang ada di hatinya.
Seharusnya Thena menceritakan perihal perasaannya ke Seto kepada Emi dahulu, sehingga Emi tak salah paham seperti ini. Valen terbayang kata-kata Thena ‘Apa kamu gak bisa mutusin hubungan mereka berdua, yang Emi sukain itu kamu, bukan Seto, dia pasti salah paham.’ Kata-kata Thena tersirat makna frustasi yang mendalam.
“Len, gw mau bicara sama lo,” Valen terkesiap didapatinya Seto sudah berdiri di samping. Mereka berdua berjalan ke kantin kantor, memesan dua gelas kopi hangat.
Aroma kopi memenuhi rongga hidung, memberikan rasa menenangkan.
Valen menyundut ujung rokoknya dan menghirup dengan perlahan. Sementara Seto yang tak merokok hanya bisa terdiam menikmati aroma kopi.
“Ada apa?”
“Gw ragu sama Emi, entah kenapa gw ngerasa dia nerima lamaran gw karena terpaksa.” Valen menunduk dihisapnya dalam-dalam rokok beraroma menthol itu.
“Apa yang bikin lo berfikiran kayak gitu?”
“Gw gak liat cinta dimata dia untuk gw, seringkali gw mendapati dia lagi bengong, bahkan saat lamaran terlihat dia seperti ingin menangis, gw sayang sama dia. Dan gw ga mau nyakitin dia dengan pernikahan ini.”
“Ada cowok yang dia suka, To.”
“Oiya siapa?” Seto terkesiap, Valen memandang kosong ke depan. Menimang haruskah dia menceritakan perasaan Emi yang lama ditutupinya.
Valen tentu tahu Emi menyukainya. Dia tahu sejak Emi tinggal di dekat rumahnya. Emi suka ke-gap sedang memandanginya sambil tersenyum.
Dia selalu bersemangat ketika bertemu Valen. Tapi Valen masih mencintai istrinya, dia sadar Tasya masih butuh sosok Ibu bukan sosok Nenek yang didapat dari mamahnya Emi. Dan Valen juga tahu mungkin di hatinya sudah ada Emi. Hanya saja porsi Emi masih jauh lebih sedikit dibanding porsi istrinya.
“Len.” Seto menyenggol bahu Valen. Pria itu mengerjapkan mata dan menarik nafas sangat panjang, seolah mengenyahkan beribu tanya di otaknya.
“Gw,” Ucapan Valen bagai petir yang menyambar Seto. Dia sungguh tak menyangka Emi menyukai sahabatnya. Bahkan Seto juga sempat berfikir Thena yang menyukai Valen.
“Bukannya Thena yang suka sama lo? Pas Gathering keliatan banget dia ngedeketin elo kan?”
“Itu karena lo! Yang dia sukai elo To, dia deketin gw karena mau cari informasi tentang elo, bukan tentang gw, karena dia tahu Emi, sahabatnya suka sama gw, ga mungkin dia makan teman sendiri.” Seto terkekeh. Bibirnya tersenyum miring “Cinta segiempat.” Gumamnya datar.
***
Malam ini, Seto mendatangi rumah Emi dan meminta maaf ke mamah Emi. Dia tak bisa melanjutkan pertunangannya dengan alasan yang dibuat-buat tentunya. Tak mungkin dia jujur kalau Emi mencintai lelaki lain.
Seto bisa saja memaksakan Emi untuk menikah dengannya, Toh Emi sudah setuju. Tapi itu tidak fair bagi Emi dan bagi dirinya. Dia tak mau sesuatu yang hadir secara terpaksa.
Emi mengantar Seto hingga depan gerbang. Dia menunduk tak tahu apa alasan Seto memutuskan pertunangannya sepihak.
“Saya minta maaf pa, jika ada sikap saya yang membuat bapak kurang berkenan hingga memutuskan pertunangan kita.” Seto mengusap kepala Emi lembut membuat Emi mendongak.
“Kamu gak salah, mungkin memang kita gak ditakdirin bersama. Oiya bagaimana kabar Thena?”
“Saya tidak berhubungan lagi sama dia pa,” pertanyaan Seto membuat Emi menjadi sakit lagi. Seto mengernyitkan kening.
“Apa kamu masih mengira dia menyukai Valen?” Emi mendongak bagaimana dia tahu?
“Yang dia sukai itu aku, bukan Valen. Sebaiknya kalian berbaikan dan meluruskan kesalahpahaman ini.” Emi masih tak percaya dengan apa yang dia dengar. Mungkinkah Thena tak menyukai Valen? Lalu mengapa dia tak menceritakan itu semua?
Maka yang pertama Emi lakukan adalah berlari ke kamar dan menelepon Thena. Suara Thena terdengar depresi dari sebrang sana.
Emi merasa bersalah atas tuduhan yang benar-benar tak berdasar ke Thena. Dia memang pendiam tapi tak seharusnya tak mencari tahu apa yang dilakukan sahabatnya? Apa yang dia rasakan?
Thena mengerti apa yang Emi rasakan, maka dia memutuskan untuk kembali kerja. Sejujurnya saat ini Thena memang sedang menyendiri karena tak kuat jika harus melihat orang yang dicintainya bersanding dengan sahabatnya sendiri.
Begitupula yang terjadi dengan Emi beberapa saat lalu, tentang kedekatan Thena dan Valen.
Di kantor Emi dan Thena berpelukan seakan tak bertemu dalam waktu yang lama, Thena sampai menitikkan air mata. Hingga sebuah dering telepon di ponsel Emi berbunyi. Panggilan dari mamah.
Mendadak wajah Emi pias pucat, Tasya mengalami diare akut, sedangkan nenek Emi, ibu dari mamahnya juga masuk rumah sakit dan dalam keadaan kritis. Mau tak mau Emi harus pulang. Diapun meminta izin ke Seto untuk kembali ke rumah.
Wajah imut Tasya pucat, Valen sedang meeting dengan klien sehingga tak bisa langsung pulang, sementara mamah baru saja pergi ke rumah sakit di luar kota, tempat nenek dirawat.
Akhirnya Emi mengajak Via untuk membawa Tasya ke rumah sakit.
Kondisi Tasya cukup memprihatinkan, tak ada minuman dan makanan yang bisa masuk ke tubuhnya, karena selalu dimuntahkan. Dia pun mengalami dehidrasi. Hingga cairan infus terpaksa dialirkan melalui tangannya.
Valen baru datang satu jam kemudian, terisak menyaksikan anaknya yang lemah. Via dipaksa pulang oleh Emi karena besok harus sidang skripsi. Tak mungkin jika dia tak melakukan persiapan, meskipun Via menolak tapi omongan Emi ada benarnya juga, selama 4 tahun perjuangan kuliah besok adalah pertarungan terakhir untuk menentukan apakah dirinya layak dinyatakan sebagai seorang sarjana.
Setelah mengangkat telepon, Valen bersungut. Ekpresinya mencerminkan kemarahan yang luar biasa. Tak bisakah pekerjaannya ditunda sebentar saja, anaknya tengah terbaring di rumah sakit saat ini.
“Ada apa mas?”
“Orang audit datang ke kantor, semua bagian sedang di audit saat ini. Dan aku harus hadir disana, gila!” Valen mengusap wajahnya dengan kasar, kesal.
“Yaudah mas kan head, mas ke kantor aja, biar Tasya sama aku.”
“Tapi tim kamu juga sedang diaudit saat ini, kamu juga harus ke kantor kan?” Emi mengingat sesuatu, ya jika memang audit dilakukan ke seluruh bagian, tentunya tim dia juga akan mengalami audit. Akhirnya dia memutuskan menelepon Seto untuk menanyakan hal itu.
Disaat seperti ini Valen sangat membutuhkan Lena, rindunya ke istrinya itu begitu mendalam, hingga menusuk-nusuk rongga hatinya. Valen sesak akan perasaannya. Mengapa Lena tega meninggalkannya seorang diri.
Valen memukul kepalanya dengan tangan, dia sungguh frustasi dan ingin mati saja. Dia merasa tak mampu merawat anak itu seorang diri. Tasya butuh ibu. Tentu bayi sekecil ini butuh pelukan hangat setiap hari dari orang yang menyayanginya. Tak hanya dari ayah.
“Mas, stop!” Emi menggenggam tangan Valen erat.
“Aku udah bilang pa Seto, dia bilang Thena yang akan handle kerjaan aku. Tapi tugas mas ga bisa di handle, jadi sebaiknya mas ke kantor sekarang.”
“Kamu... serius?” Emi mengangguk, Valen pun berdiri, mengecup kepala Tasya yang sedang tertidur pulas. Dan menepuk bahu Emi. Dia pun berlari menuju kantornya. Pekerjaannya juga sangat penting saat ini. Dan dia harus mempercayakan Tasya ke Emi.
***
Tengah malam, Valen datang kerumah sakit. Meski lelah karena seharian audit keuangan, namun sebagai seorang ayah dia mempunyai kewajiban untuk melihat buah hatinya, menemaninya di saat seperti ini.
Dengan pelan dibuka pintu kamar VIP tersebut, terlihat Emi sedang tidur di kursi dengan kepala menyandar di ranjang Tasya. Tangannya menggenggam tangan mungil Tasya. Emi terlihat kecapekan. Tidur seperti ini tak baik untuk punggungnya tentunya.
Valen, menggendong Emi dengan perlahan takut dia terbangun, tapi ketika tubuhnya diangkat, Emi malah membuka matanya. Diapun terbangun dengan kaget.
“Mas,,”
“Sssst... ga baik tidur kayak gitu, biar Tasya aku yang jagain, kamu tidur di Sova ya,” Valen tak melepaskan gendongan Emi, dia meletakkan wanita itu di sova, menyangga kepalanya dengan bantal, bahkan menyelimuti Emi. Samar-samar Emi mengucapkan kata terimakasih dan diapun terlelap kembali dengan senyum tipis di wajahnya.
Lama Valen memperhatikan wajah Tasya, hidungnya mirip sekali dengan hidung Lena. Tasya adalah satu-satunya penyemangat hidup. Kepergian Lena beberapa bulan lalu sungguh membuatnya terpukul. Hingga tak ingin membuka hatinya untuk siapapun. Padahal Tasya butuh ibu baru, bukan pengganti Lena, karena tak ada ibu yang bisa digantikan selamanya.
Dilepasnya cincin kawin yang melekat di jari kanan Valen. Diletakkan di saku. Berfikir bahwa sudah saatnya dia menikah lagi. Demi Tasya. Dan juga mungkin demi dirinya.
Pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke kantor, Valen mengunjungi makam Lena. Diletakkannya cincin kawin miliknya dan milik Lena. Dikubur bersama Lena. Dan bersama kenangan-kenangan indah mereka. Valen memanjatkan doa untuk Lena dan kembali ke kantor, karena audit masih berlangsung.
Via datang kerumah sakit sebelum ke kampus, dia membawakan sarapan untuk Emi dan juga baju ganti. Baru kemudian dia pergi.
Tasya sudah lebih baik, sudah ada makanan yang bisa masuk ke tubuhnya meskipun masih sedikit. Emi sungguh merawatnya dengan telaten, dia memang belum pernah merasakan punya anak, tapi dia sangat menyayangi Tasya layaknya anak sendiri.
Tak ada risih atau apapun, apalagi Tasya juga terlihat menyayangi Emi, dia sudah bisa memanggil Emi dengan panggilan mama, Emi tak pernah keberatan. Valen juga membiarkan Emi dipanggil mama oleh Tasya.
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit Tasya sudah boleh pulang kerumah dan selama itu Emi yang menjaganya di rumah sakit, jika malam Valen akan datang menemani. Tugas audit pun telah selesai.
Di mobil dalam perjalanan pulang, Valen memberikan Emi sebuah kotak perhiasan. Dia pun membukanya.
“Cincin?”
“Would you marry me Emi, be my wife and mother for Tasya of course?” Emi tak menyangka akan mendapatkan lamaran di mobil ini, dengan orang yang sangat dicintainya. Dia sampai menitikkan air mata haru.
“Boleh aku bertanya satu hal?” Valen pun mengangguk, “Aku gak mau menerima pernikahan jika memang kamu gak punya perasaan apa-apa sama aku mas, maaf.” Valen menghentikan mobilnya. Dia menggenggam tangan Emi. Dan menatap wajahnya dari dekat, tangan sebelah Emi mengetatkan pelukan ke Tasya.
“Mungkin saat ini, perasaan cintaku masih terlalu besar ke ibunya Tasya. Tapi kamu, sudah masuk ke bagian hati aku yang lain Mi, aku yakin dengan berjalannya waktu aku akan mencintai kamu bahkan mungkin melebihi dia.” Emi tersenyum dan melepaskan pegangan tangan Valen. Dia menutup kembali kotak itu dan meletakannya di tangan Valen.
“Sampai saat itu tiba, aku baru akan menerima kamu mas,” Valen tersenyum getir, “Aku paham,” diapun melanjutkan kembali perjalanannya dengan perasaan yang gundah. Emi memang mencintai Valen, tapi dia tak ingin jika Valen tak sepenuh hati. Dia mengerti rasanya bersama dengan seseorang yang di hatinya tak ada dirinya. Dan rasa itu hampa.
***
Hari demi hari dilalui Emi dan Valen seperti biasa. Valen mulai menata kembali hatinya yang hancur berantakan karena ditinggal Lena. Barang-barang Lena mulai dimasukan ke kotak satu persatu dan dipindahkan ke gudang. Tak mungkin dia bisa mencintai Emi sepenuh hati jika dengan melihat peninggalan Lena saja dia masih menitikkan air mata dan merindukannya.
Pernikahan adalah hal yang sakral bukan main-main lagi. Valen pun terlihat lebih ceria tak murung seperti sebelum-sebelumnya. Sepertinya perasaannya untuk Lena sudah terpendam dalam hati yang dalam.
Dua tahun lamanya dia berusaha melupakan Lena. Tasya sudah berusia tiga tahun sekarang. Dia masih memanggil Emi dengan panggilan mamah. Emi tak pernah keberatan.
Selama dua tahun ini pula dia tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Hubungannya dengan Valen sangat baik, layaknya sepasang kekasih.
Emi sudah pandai berdandan, atas ajaran Thena. Dia mulai terbiasa mengenakan riasan tambahan, dan hasilnya memang Emi jadi tambah cantik. Kulitnya terawat. Pakaiannya pun lebih modis.
Sementara Seto sudah menikah dengan Thena tahun lalu. Seto yang tahu perasaan Thena tentu tak bisa mengacuhkan begitu saja. Dan cinta datang tiba-tiba dihatinya. Dia jatuh cinta dengan wanita cantik itu. Bahkan mungkin melebihi cintanya ke Emi dahulu. Thena saat ini tengah mengandung buah cintanya dengan Seto. Mereka telah bahagia, lalu bagaimana dengan Emi?
Valen mengajak Emi ke sebuah taman, tempat itu gelap dan sepi. Hampir tak ada penerangan sama sekali. Hingga ketika Valen mengangkat tangan ke atas, semua lampu menyala indah sekali. Banyak balon-balon hias. Dan ada tulisan “Emily, maukah kau menikah denganku, I Love U.” Emi menutup mulutnya tak percaya Valen bisa seromantis itu. Valenpun berjongkok sembari membuka kotak cincin, cincin yang lebih indah dibanding dua tahun lalu.
“Please Mi, jangan tolak aku lagi.”
“Kamu yakin, bagian dalam hati kamu untuk aku sudah jauh lebih besar?”
“Bahkan hampir seluruh hati aku berisi kamu,”
“Gombal.” Emi terkekeh dia memberikan jarinya untuk disematkan cincin oleh Valen. Valen pun memakaikan cincin itu dan berdiri. Tak lama muncul riuh tepuk tangan dari balik pepohonan, ternyata Valen tak menyiapkan ini sendirian. Ada Thena dan Seto yang membantu juga Via dengan kekasihnya.
Pernikahan sederhana dilangsungkan dirumah Emi. Hanya mengundang beberapa kerabat dekat saja. Meski begitu acara berlangsung khidmat.
Tiga bulan kemudian, Emi memutuskan untuk resign dari kantor dan fokus mengurus Tasya juga calon anaknya bersama Valen kelak. Usia kandungannya sudah masuk lima minggu. Mereka telah dianugerahi kebahagiaan yang luar biasa. Atas kesabaran dan ketulusan yang mereka lakukan.
***
(Tamat)

No comments:

Post a Comment