Pages

Thursday, November 10, 2016

CERPEN : SATU PERMINTAAN BUNDA

Pertengkaran dalam rumah tangga seringkali menghiasi hari-hari bagi pasangan yang sudah menikah. Terkadang setelah pertengkaran hubungan menjadi lebih harmonis. Namun ada pula yang justru membuat hubungan semakin memanas hingga hancur di tengah jalan.
Faya dan Gio sudah menikah hampir delapan tahun, selama itu pula mereka sering menghabiskan waktu untuk ribut antara satu dengan yang lainnya.
Sikap Gio yang tempramental dan sering berkata kasar, membuat Faya menjadi muak menjalani perannya sebagai seorang istri.
Tak hanya itu, keluarga Gio pun seolah-olah sering menyudutkan Faya yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tidak seperti anggota keluarga lain yang rata-rata PNS atau pekerja kantoran.
Faya merasa tertekan dan ketika anaknya Feby berusia dua tahun, dia memutuskan untuk kerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta.
Setelah Faya bekerja, penampilanya sedikit berubah, dia yang dahulu sehari-hari mengenakan daster dan beraroma kecut, kini menjadi Faya yang modis dan wangi. Make up harga ratusan ribu selalu menempel di wajahnya.
Tubuhnya terawat karena senam dan seringnya nyalon. Namun apakah hal itu membuat hubungannya menjadi harmonis?
Tidak! Gio masih saja terus merong-rongnya ditambah Faya yang punya penghasilan sendiri membuatnya menjadi lebih berani. Setiap bertengkar Gio selalu meributkan perubahan Faya setelah bekerja. Namun Faya selalu menepisnya, toh mereka sudah sering bertengkar bahkan sejak satu bulan setelah pernikahannya.
Malang memang, padahal dulu ketika pacaran mereka berdua sangat romantis dan saling mencintai. Tetapi ketika hubungannya sudah halal, mereka berdua malah tak menemukan kecocokan sedikitpun, entah ini ujian atau hukuman dari Tuhan, yang jelas Faya sudah lelah!
“Bunda, besok yang ngambil raport aku siapa?” tanya Feby, putri kecil mereka yang kini genap berusia 7 tahun. Gio mengunyah makanannya, matanya terus menatap gadget.
“Sama Ayah saja ya, bunda ada meeting besok.”
“Lho, semester kemarin sama ayah masa sekarang sama ayah lagi!” Gio mulai meninggikan suaranya. Febby cemberut dia meletakkan sendok di piring dan menutup telinganya. Sudah sehari-hari melihat orangtuanya bertengkar.
Meskipun pemandangan itu terasa tak asing, namun tetap saja tak ada anak yang menginginkan melihat pertengkaran orangtuanya. Mba Tina, yang biasa mengasuh Faya sedari kecil segera menuntun Faya masuk kamar. Hatinya teriris melihat keluarga ini.
Tak jarang Tina, wanita berusia dua puluh tahunan itu menghibur Feby. Di sekolah Feby menjadi pribadi yang pendiam, tak banyak teman. Keseringan menyendiri! Pernah guru BK memanggil orangtuanya, tapi tak satupun dari mereka hadir.
Sehingga mau tak mau Tina yang menghadap guru pembimbing itu. Memberikan terapi ringan untuk Febby agar tak terlalu sedih dan bisa melupakan pertengkaran orangtuanya, meskipun sulit.
Berkali-kali Faya meminta cerai namun selalu saja “Anak” yang menjadi alasan Gio tak mau menceraikannya, dia selalu bilang bahwa jika mereka harus berpisah, Febby akan tinggal bersamanya, kalau Faya tak mau menyanggupi. Maka sampai kapanpun Gio tak akan menceraikannya.
Egois! Ya mereka cerminan orangtua yang Egois, berdalih Anak, padahal yang mereka berdua lakukan justru hanya melukai sang anak! Tak sadarkah mereka?
0-0-0
“Aku udah capek mas hidup sama kamu!” sayup-sayup Feby mendengar pertengkaran mereka meskipun pintu kamar sudah tertutup rapat. Mba Tina sudah meninggalkannya ke dapur untuk menyiapkan masakan esok hari.
“Kalau capek tinggal pergi dari sini! Gampang kan! Tinggalin juga Feby!!”
“Oke! Aku pergi. Urus Feby sendiri aja sana! Nanti biar pengadilan yang memutuskan dia ikut siapa!” Faya berjalan ke kamar dan membanting pintu. Tak sampai sepuluh menit dia keluar menyeret sebuah koper besar berisi pakaiannya.
Feby mengintip dari balik pintu, melihat punggung bundanya yang bergerak menjauh diapun segera berlari menyusul bundanya. Sementara Gio sudah pergi lebih dahulu dengan sepeda motornya entah kemana?
“Bunda.. Bunda tunggu!” Faya memasukan koper ke mobil pribadinya yang didapat dari jerih payah bekerja selama lima tahun belakangan ini.
“Feby,” Faya berlutut mengecup kening putrinya.
“Bunda tolong jangan pergi, bunda disini aja.” Feby terisak, airmata mengalir turun dengan derasnya.
“Feby, kamu boleh minta apa aja nak sama bunda, tapi please jangan minta permintaan itu, bunda sudah lelah menjalani hidup dengan Ayah. Feby ngerti yah, kan Feby sudah besar.”
“Bunda, satu aja permintaan Feby, Feby mau bunda tetap disini sama ayah. Ku mohon bunda...” Faya mengusap kening Feby dan masuk ke mobilnya sambil menggeleng. Kali ini dia tidak bisa menuruti keinginan putri semata wayangnya itu.
Mobil melaju dengan kencang, Feby berlarian mengejar dan tak dihiraukan Faya. Dia terus saja berlari meneriakan kata ‘Bunda...Bunda’ tapi Faya seolah tak mendengarnya dan memacu gas lebih dalam.
Feby tak memperdulikan kerikil kecil menancap kaki mungilnya yang tak memakai alas apapun, yang dia ingin Bundanya kembali.
Peluh membasahi kening Feby, tapi dia terus berlari. Dari kejauhan Tina meneriakan namanya. Feby hanya menoleh sesaat, selama mobil bundanya masih terlihat dia terus saja berlari mengejarnya. Hingga ke jalan besar, dan sebuah mobil sedan melaju dengan kecepatan tinggi, menabrak Feby.
Tubuh Feby terpental beberapa meter, darah muncrat dari mulut dan kakinya, kening Feby terluka.
“Febyyyy!!!!!!!” teriak Tina, beberapa orang di sekitar segera mengerubungi Feby, sementara pengemudi Sedan itu kabur tak mau bertanggung jawab.
0-0-0
Suara handphone terus berdering, Tina memanggil Faya. Namun tak diangkatnya. Dia berfikir, pasti Feby yang meminta Tina menelepon. Biarlah kali ini dia harus tega. Feby terlalu sering dimanja.
Sementara di rumah sakit, Tina terlihat gusar. Baik Faya maupun Gio tak ada yang bisa dihubungi padahal Feby harus segera masuk ruang operasi.
Karena didasari rasa sayangnya ke Feby, Tina pun bersedia menandatangani persetujuan tindakan. Dia tidak ingin anak kecil itu kenapa-kenapa?
Baru satu jam kemudian Faya mengangkat telepon dari Tina, karena merasa terganggu dengan panggilan itu.
“Bu, Feby kecelakaan sekarang sedang di ruang operasi!”
“Ya ampun Tina!” Tina terisak, tak apa jika harus dimarahi majikannya, yang jelas dia sudah melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan.
Faya segera berangkat ke rumah sakit. Tak lama Gio pun sampai di sana.
Lampu ruang operasi masih menyala. Mereka bertiga terdiam. Hanya isak tangis Tina dan Faya bergantian yang mengisi suara di ruang hampa itu.
Faya berterimakasih ke Tina yang sudah menemani anaknya, tak ada kemarahan sama sekali, dia berteriak karena marah pada dirinya yang sudah mengacuhkan Feby. Terlebih Tina bercerita kalau Feby kecelakaan ketika mengejar mobilnya.
Kini hanya penyesalan yang tersisa di relung hati Faya dan Gio, mereka berdua merasa tidak becus menjadi orangtua.
Matinya lampu merah itu menandakan operasi telah selesai. Seorang dokter Kepala keluar dari ruangan dengan peluh dan beberapa percikan darah di jasnya.
“Bagaimana anak saya dok?” tanya Gio.
“Dia mengalami cedera serius, kedua kakinya patah, tapi beruntung kami tak perlu mengamputasinya. Hanya saja untuk sementara dia harus menggunakan kursi roda, jika sambungannya sudah menyatu, bisa memakai kruk dan terapi jalan. Tapi kita tunggu perkembangannya dahulu, karena dia belum melewati masa kritisnya.”
Penjelasan dokter cukup membuat sesak mereka berdua. Tak lama Feby didorong keluar dengan brangkarnya. Beberapa dokter mengerubunginya ada yang memompa alat pernafasan dan selebihnya terus memperhatikan jam. Faya dan Gio ikut berlari bersama mereka. Kening Feby berbalut perban. Dan dia dipindahkan ke ruang ICU.

0-0-0
Selang makan, selang pernafasan menempel di wajahnya. Sementara kabel-kabel pembantunya menghubungkan ke sebuah monitor di layar. Suara denging mesin terdengar seolah menusuk-nusuk hati. Tina memutuskan untuk istirahat sambil berdoa untuk Feby. Sementara Faya masuk ke dalam ruang ICU.
Berkali-kali dia meminta maaf ke Feby karena telah mengacuhkan permintaannya. Rasa sesal pun percuma, karena sampai kini Feby masih memejamkan mata.
Setelah meminta izin, Gio pun boleh masuk ke dalam ruang ICU, mereka berdua terdiam dan bertatapan, tiba-tiba butiran air mengalir dari pelupuk mata Gio.
“Maafin aku Fay, aku sadar selama ini aku udah salah sama kamu dan Feby, maafin aku ...” tangan Gio bergetar hebat, Faya menggenggamnya erat. Rasa simpati mencuat dari hatinya.
“Aku juga minta maaf, aku udah egois. Yang lebih parah. Aku gak pantes jadi seorang ibu... ibu mana yang mengabaikan permintaan anaknya seperti itu, ibu mana yang tega meninggalkan anaknya, meminta pengertian anak tapi tak menggubris permohonannya... aku nyesel, Feby maafin bunda sayang..” Gio memeluk tubuh Faya, mendekapnya erat.
Mereka berdua berjanji untuk tak mengulangi hal yang sama, demi anak mereka Feby. Jika Feby bisa sadar dan sembuh mereka akan berubah.
Feby membuka matanya, melihat kedua orangtuanya sedang berpelukan, dia tersenyum. “Bunda sama ayah sudah baikan yah?” Faya dan Gio terbelalak, Gio segera memanggil dokter dan Faya tak hentinya menciumi Feby.
Dokter menyatakan Feby sudah bisa dirawat di ruang rawat inap biasa. Tapi dokter yang ternyata pernah mengemban jurusan psikologi itu meminta Faya dan Gio keruangannya segera.
“Tadi saya sudah ngobrol dengan baby sitter kalian,” Faya dan Gio saling bertatapan.
“Jika kalian memang menyayangi anak itu, berubahlah! Buang sifat egois kalian berdua. Kalian tahu yang menjadi korban disini bukan kalian tapi dia. Anak sekecil itu sudah mengalami tekanan yang berat.”
“Tadi kami juga sudah melakukan CT Scan, ada beberapa syaraf anak kalian yang tertekan karena apa yang telah kalian perbuat. Mungkin anda berdua tak menyadarinya, tapi dia menanggung ini sendirian, memenjarakan diri dalam dunianya. Melakukan pengasingan dan akhirnya dia sudah masuk tahap depresi”.
“Saya harap kalian lebih bijaksana menyikapi hal ini.” Faya menangis lagi, kini Gio merangkul bahunya dan mengangguk. Setelah mendengar arahan dari dokter senior itu, mereka berdua berjalan ke kamar rawat Feby. Sambil bergandengan tangan.
Cinta yang telah hilang, perlahan mulai tumbuh kembali seiring langkah kaki yang dijejakan ke bumi.
Faya berjanji untuk segera resign dari pekerjaannya, dan Gio pun berjanji tak akan melihat Faya dengan sebelah mata lagi, dia akan membela Faya dihadapan siapapun.
*Tamat*

No comments:

Post a Comment