Pages

Saturday, November 5, 2016

CERPEN : TARIAN RINDU - PART 2

Bayi perempuan mungil bernama Tasya itu terus menangis, entah kehausan atau kelaparan? Ibunya sudah meninggal tak mungkin bisa memberikan ASI lagi. Terpaksa malam ini dia harus minum susu formula.
Valen mempelajari langkah demi langkah membuat susu formula, tapi ketika api dinyalakan yang terbayang adalah sosok istrinya.
Mereka pernah bermesraan di dapur ini. Setiap hari sang Istri selalu membuat masakan yang enak kesukaannya. Valen mengusap kompor gas, berarap menemukan jejak jejak tangan istri yang sangat dicintainya itu.
Tak sadar air mata menetes, membayangkan pertahma kali mereka menata dapur mungil itu, berkali-kali istrinya memeluk dari belakang dan berdecak kagum.
Valen pun begitu, sering saat istrinya masak dia akan memeluk dari belakang, mengecup pucuk kepalanya. Mengucapkan kata cinta atau hanya sekadar menggodanya.
Sepuluh tahun mereka berpacaran akhirnya tiga tahun lalu mereka menikah. Keyakinan mampu mereka robohkan, Lena menjadi mualaf. Benteng kokoh yang menghalangi cinta mereka telah mereka tembus.
Pernikahan terasa sangat membahagiakan bagi mereka berdua. Bukan tak perduli? Valen tahu penyakit langka yang diderita Lena sejak mereka pacaran. Tapi cintanya yang kuat mampu mengalahkan segalanya.
Kelahiran Tasya menghadirkan semangat yang tak pernah padam, berbagai pengobatan dijalani Lena, tapi Tuhan berkehendak lain. Dia harus menghembuskan nafas terakhir. Melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya sedikit demi sedikit.
Valen terkulai lemas, hatinya menjerit tak kuat ditinggalkan Lena, dia sangat mencintai istrinya itu. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Tak ada cinta lain yang mampu menandingi cintanya ke sang istri.
“Mas Valen!!!” Pekik Emi, Valen seakan sadar dari lamunannya dilihat dapur telah berasap. Dia mengusap butiran yang masih menggenang di mata. Emi berjongkok di hadapan. Lama mereka bertatapan. Dan Valen seolah melihat Lena di mata Emi. Dia memeluknya erat. Menangis dengan keras. Seolah dunia sudah tak bisa lagi ditempati, seolah hidup ini tak akan bisa berjalan lagi.
Di tengah keputus-asaannya Emi yang seorang wanita biasa hadir, dia tak bisa berkata apa-apa hanya mengusap punggung Valen dengan pelan. Emi tahu sangat tahu perasaan Valen. Dia pernah merasakannya ketika kehilangan Ayah. Dia pernah menyaksikan ketika setiap malam mamah menghabiskan waktu dengan menangis dan terus menangis.
“Tas,, Tasya...” Valen seakan menyadari sesuatu, dia lepas pelukan Emi dan berjalan ke kamar. Emi mengikutinya. Terlihat bayi mungil itu tertidur. Sepertinya kecapekan karena menangis tadi. Valen mengusap kepala bayi itu dengan lembut, lagi-lagi air mata jatuh ke pipinya.
“Aku ganti diapers Tasya boleh?” Emi meminta izin, karena terlihat diapers Tasya yang sudah penuh, dia tak akan bisa tidur tenang jika diapersnya penuh. Valen mengangguk dan memberikan diapers baru ke Emi, lengkap dengan celananya.
Dengan cekatan Emi mengganti diapers itu. Tasya menggeliat, tidurnya tak tenang, dia merintih seperti kelaparan. Emi pun mengambil inisiatif ke dapur untuk membuat susu.
Tak lama Emi membawa botol susu di tangan kanan, dan tangan kirinya secangkir kopi. Diletakkan kopi itu di meja rias, dia segera memberikan susu ke Tasya. Dengan lahap Tasya meminum susu di botolnya meski dengan mata yang terpejam. Sementara Valen menghirup kopi itu.
“Aku terpaksa bawa Tasya pulang, kalau tidak? Mertuaku akan bawa dia ke Australia, tempat mereka tinggal.”
“Lho bukannya mereka tinggal di Jakarta?” Emi ingat betul rumah duka yang disambanginya itu berada di Jakarta.
“Itu rumah keluarganya, rumah asli mereka ada di Australia, mereka memutuskan mengajak Tasya tinggal disana, aku tentu gak mau, sudah kehilangan istri, harus kehilangan anak juga.” Mata Valen menatap kosong. Dia tak ingin kehilangan kedua orang yang dia cintai sekaligus.
“Aku ngerti mas, tapi bagaimana dengan Tasya? Kalau mas kerja?” Emi memberanikan diri bertanya, daripada didera rasa penasaran.
“Entahlah, aku mau cari baby sitter yang bisa dipercaya.”
“Mamah mau jaga Tasya, lagian mamah juga gak punya kesibukan koq,” Ucap mamah secara tiba-tiba yang muncul di pintu kamar.
“Lho mamah kapan sampai?” Emi bengong melihat mamahnya seperti penampakan tiba-tiba saja ada disitu.
“Mamah khawatir kamu koq ga pulang-pulang Cuma disuruh bawain sup aja, ternyata lagi ngobrol.” Emi terkekeh, wajar mamahnya khawatir apalagi Emi masih gadis tak baik pula berlama-lama dirumah seorang pria.
Valen merenungkan perkataan mamah Emi, diapun setuju Tasya diasuh wanita itu. Apalagi rumahnya sampingan, jadi Valen bisa mempercayai sepenuh hati.
Yang paling senang adalah Emi, ya tentu dia masih menyimpan perasaan yang mendalam terhadap Valen, cukup berada di dekatnya saja sudah membuat dia senang. Tak bisa berharap lebih dari hubungannya.
Dia tahu Valen sangat mencintai mendiang istrinya.
***
“Jadi rumah baru lo deket sama rumah Valen?” Thena hampir saja menyemburkan makanan di mulutnya karena kaget.
“Iya, gw juga gak tahu ternyata kita tetanggaan,”
“Boleh dong kapan-kapan gw main ke sana?” Thena tersenyum senang, matanya berbinar. Oke fix ada yang tidak beres dengan Thena, mungkinkah dia juga mencintai Valen sama seperti dirinya?
Pikiran itu selalu menghantui Emi, bagaimana bisa Thena juga menyukai Valen? Bukankah dia tahu bahwa dirinya menyukai pria itu, amat sangat suka.
Memikirkan hal itu membuat Emi sedikit murung, dia minder dengan penampilannya. Menurutnya Thena bukan saingannya, dia tentu tersisih jika harus bersaing dengan wanita itu.
Apalagi Valen benar-benar cuek sekali, dia seolah benar-benar tak menganggap Emi sebagai wanita. Berbicara hanya seperlunya saja. Malah Valen jauh lebih dekat dengan mamah, setiap hari menelepon menanyakan keadaan Tasya.
Lama kelamaan Tasya pun dekat dengan mamah, Via serta Emi. Seperti hari ini, Valen sedang tugas keluar kota, otomatis Tasya menginap di rumah Emi. Dan Emi yang meminta Tasya tidur di kamarnya.
Bayi mungil itu sudah bisa berceloteh menucap ma..ma..pa..daa.. siapa saja dia panggil ma.. ma termasuk Emi, membuat wanita itu tersipu, andai saja dia benar-benar menjadi mama bagi Tasya.
***
Gatheting Tim Advertising.
Acara yang sudah dua bulan ini disusun kini tengah direalisasikan. Semua tim advertising yang berjumlah lima puluh orang hadir dalam kegiatan yang akan dilaksanakan dua hari satu malam di hotel anyer.
Valen ikut acara itu karena head advertising juga merupakan salah satu sahabat dekatnya.
Hari pertama diisi dengan kegiatan outbond, setiap kelompok terdiri dari 5 orang dan mengikuti berbagai perlombaan. Emi sendiri sebagai panitia sehingga dia tak mengikuti keseruan acara itu.
Beberapa kali Valen membantunya, mempersiapkan peralatan. Emi bukanlah Emi jika banyak bicara, sudah seringkali ada kesempatan berduaan dengan Valen, tapi mulutnya seolah tetap rapat. Bukan salah Valen jika tak menganggapnya. Toh Emi yang tak pernah berusaha masuk dalam kehidupan Valen.
Malah Thena yang justru terlihat antusias mendekati Valen, dia sering bersenda gurau di tiap kesempatan.
“Capek ya hari ini?” tanya Seto, Head advertising ke Emi yang sedang menyandarkan diri di kursi yang menghadap ke pantai. Cuaca malam ini sangat cerah, bintang bertaburan bak berlian di langit.
“Hmm lumayan pa,” Emi menunduk, sementara pria bertubuh agak gemuk itu menatap Emi tak berkedip. Sudah lama dia menyimpan perasaan terhadap anak buahnya. Seto termasuk seorang yang pintar, usianya baru menginjak 32 tahun namun sudah mampu menjadi pimpinan. Meski gemuk namun  postur tubuhnya yang tinggi, justru membuatnya terlihat berisi dan kekar.
“Kamu kapan rencana nikah Mi?”
“Ah, enggak tahu pa, calonnya aja belum ada hehe,” Emi berusaha mencairkan suasana, pertanyaan tentang menikah selalu membuatnya panas dingin. Dilihatnya di kejauhan Thena sedang memanggang ayam dengan Valen mereka terlihat akrab, pandangan mata Emi dan Valen bertemu, buru-buru Emi mengalihkan wajahnya.
“Kalau saya yang jadi calonnya bagaimana?” Mata Emi melotot, hampir keluar dari tempatnya dia tak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Di kantor, Seto tak pernah menunjukkan bahwa dia mempunyai ketertarikan ke Emi.
Seto sangat profesional. Jika bekerja ya hanya urusan kerja saja yang mereka bahas. Tak ada perlakuan spesial terhadap anak buahnya.
“Sa.. Saya..”
“Gak usah kamu jawab sekarang gak apa-apa Mi, hanya yang perlu kamu tahu. Sudah setahun ini saya memperhatikan kamu, saya tertarik sama kamu dan  ingin menikahi kamu,”
Lama mereka terdiam, hingga suara deburan ombak terdengar keras sekali.
“Saya fikirkan dulu ya pa,”
“Iya santai saja ya,” Seto menghampiri anak buahnya yang lain, sebelumnya dia sempat menepuk bahu Emi pelan. Berusaha menjalari perasaannya yang terdalam untuk wanita sederhana itu.
Ketika Seto sudah agak jauh, Emi baru bisa bernafas lega, tadi dia sangat tegang sekali. Entah apa jawabannya? Perasaannya masih terlalu dalam ke Valen. Tapi Valennya acuh. Sementara jika dia menolak Seto bagaimana dengan kerjaannya nanti, meskipun Seto orang yang profesional tapi tetap saja bukan hal mudah bisa bekerja sama dengan orang yang telah menolak lamarannya.
Emi mengusap wajahnya frustasi, mungkin jika Seto bukan bosnya dia tak akan segalau ini, Emi masih sangat mencintai pekerjaannya, disitu dia menemukan passion. Meskipun Emi sering berfikir untuk resign jika menikah nanti. Tapi ... tidak dengan Seto, Bukan Seto yang ada di fikirannya.
Kini Seto dan Valen berdiri berjajar di depan pemanggang daging. Emi melihat jelas, mereka kadang berangkulan akrab, ya mereka berdua memang bersahabat semenjak kerja di perusahaan ini. Setelah di perhatikan lagi, Seto juga lumayan keren. Emi menggeleng keras berusaha menepikan bayangan Seto dan Valen yang seolah – olah menari di dalam fikirannya.
***
(bersambung)

No comments:

Post a Comment