Pages

Monday, December 5, 2016

CERPEN : TETES EMBUN - PART 1

Kehamilan kedua merupakan anugerah tersendiri bagi Mili dan suaminya Ervan. Setelah anak pertamanya berusia 4 tahun dan mereka memang merencanakan kehamilan selanjutnya, ternyata Tuhan langsung memberinya setelah 3 bulan Mili lepas KB IUD.

Trisemester pertama dan kedua berlalu dengan indah, meskipun Mili mengalami morning sickness yang cukup parah, tapi kesigapan dan perhatian Ervan membuatnya kuat menghadapi ini. Ditambah Olive putri pertamanya yang terlihat dewasa sekali meski baru berusia 4 tahun membuatnya semakin semangat menjalani hari-hari berat kehamilan.

Tak terasa 3 bulan lagi Mili melahirkan, sudah dipastikan bahwa bayi dalam kandungannya berjenis kelamin laki-laki, lengkap sudah sepasang anak mereka.

“Minggu besok aku ditugasin ke Pekanbaru Mil,” ucap Ervan sesampainya dia dirumah. Sementara Mili yang baru pulang kerja pun sedang berganti pakaian.
“Owh, berapa lama Mas?”
“Cuma 3 hari koq, nanti kamu nginep dirumah Ibu saja ya, riskan hamil tinggal sendirian biar gak capek juga bolak balik antar jemput Olive.” Mili mengangguk depan cermin, dia tak sadar kalau mungkin saja Ervan suami yang usianya terpaut 5 tahun diatasnya itu tak bisa melihatnya.
***
Mili sedang menyiapkan ruang rapat karena sebagai sekretaris memang itulah salah satu tugasnya, ketika seorang pria menepuk bahunya, membuat dia terkejut. Mili melihat penampilan pria itu dari atas kebawah. Dia mengenalnya, sangat.

Pria dengan tubuh yang tinggi dan terlihat Macho, pakaiannya sangat rapi dengan kemeja biru dan dasi berwarna hitam motif garis-garis. Dialah Zian, mantan kekasih Mili di SMA, baru 3 tahun lalu dia menikah dan kabarnya hingga kini belum dikaruniai anak.

Mereka mungkin tak putus jika saja Zian tak memilih kuliah ke luar negri, dan Mili yang memang tak mau LDR terpaksa memutuskan hubungannya, terkadang Mili menyesal tapi tidak setelah bertemu Ervan suaminya. Dia sangat mencintai lelaki yang selama 6 tahun ini mendampingi hidupnya baik susah maupun senang.

“Koq bengong!” Zian terkekeh
“Ngapain kamu dikantor aku?” Mili memajukan bibirnya, ngambek.
“Mau meeting sama bos kamu, wah lagi hamil lagi, berapa bulan?” Zian mengusap perut Mili, yang membuat Mili langsung menepisnya.
“Gak boleh pegang-pegang tau! Udah 6 bulan nih.”
“Yaudah gak usah jutek kali biasa aja haha.” Mili pun membereskan Proyektor untuk meeting nanti, karena sudah terdengar langkah-langkah kaki memasuki ruangan rapat.

Sepanjang rapat, Zian terus memperhatikan Mili, membuat Mili salah tingkah. Ingin rasanya Mili pergi dari situ jika saja Bos tak menyuruhnya untuk mencatat notulen rapat. Dua jam rasanya lama sekali bagi Mili.

Dia baru bisa bernafas lega ketika moderator mengakhiri rapat, yang membahas tentang kerjasama antara perusahaan Mili dan perusahaan tempat Zian bekerja. Saat itu Zian dan beberapa orang rekannya langsung meninggalkan perusahaan Mili, dia hanya mengangguk ketika melewati Mili.

***
“Gimana kabar Olive dan Dede?” tanya Ervan dari seberang telpon, sudah dua hari dia di pekan baru. Ervan bekerja di perusahaan kertas yang mengharuskannya menjalin kerjasama dengan pabrik-pabrik kayu untuk membuat kertas, mencari kayu unggulan agar kualitas kertas terjamin. Tak hanya itu dia juga harus memastikan bahwa pabrik yang bekerjasama dengan perusahannya melakukan reboisasi sesuai dengan SOP perusahaan.
“Olive baik, udah tidur dari tadi, klo Dedenya belum nih lagi nendang-nendang terus.” Mili mengusap perut buncitnya yang dari tadi tak berhenti berkedut.
“Ya bagus dong dia aktif hehe, aku kangen banget sama kamu Mil.”
“Ya ampun mas baru dua hari juga,” Mili tertawa selama mereka menikah memang rasa cinta itu tak pernah padam diantara mereka berdua.
“Jangankan dua hari, satu jam aja kita pisah aku udah kangen tau!” Ervan merajuk membuat tawa Mili semakin keras.
“Aku juga kangen sama kamu Mas,”
“Nah gitu dong, Besok aku pulang. Titip anak-anak yaa jagain mereka bilang aku sayang sama mereka berdua, titip cium untuk Olive dan dede I Love U,”
“Iya, Love You Too.” Mili menutup telponnya, tak berapa lama Telpon itu berdering kembali
“Ada apa mas?”
“Gak ada apa-apa pengen denger suara kamu aja lagi.”
“Ih aneh deh,”
“yee siapa tau aku gak bisa denger suara kamu lagi, gimana hayo...”
“Jangan ngaco ah, besok juga kita ketemu hehe, udah malam tidur yuk besok kan aku kerja.”
“Kamu gak usah kerja, izin aja. Jemput aku dibandara.”
“Lagi kumat nih manjanya ya? hehe ntar aku izin deh sama pak bos.” Setelah bercakap-cakap merekapun menutup telponnya.
Tak terasa airmata Mili menetes, dia sangat merindukan Ervan entah mengapa?
Dipeluknya bingkai foto pernikahan mereka berdua, dan Mili terlelap dengan air mata yang masih menetes. Entah kenapa dia merasa sangat takut kehilangan. Kehilangan suami yang sangat dicintainya.

***
Dering telepon membangunkan Mili, dilihatnya masih pukul lima pagi, siapa yang menelepon sepagi ini? Dengan enggan Mili melihat kontak handpnonenya tertulis “Hardjo” ya Mili kenal, dia adalah teman kerja Ervan yang bertugas bersamanya di Pekanbaru.
“Halo, kenapa Mas Hardjo pagi-pagi udah nelpon?” Mili mengucek matanya dengan agak susah dia duduk.
“Mba Mili, maaf saya ganggu, tapi mba saya mau memberitahu berita buruk,” Mili terkesiap, kantuknya hilang begitu saja.
“Iya, ada apa Mas?”
“Mas Ervan, mba.. Mas Ervan meninggal!”
“Jangan bercanda kamu mas, gak lucu!!” Mili agak kesal, tak mungkin suaminya meninggal baru 5 jam lalu mereka berbincang di telepon.
“Saya sumpah mba, saya enggak bohong. Semalam ketika mas Ervan telpon Mba Mili, kami sedang ada di pabrik kayu, satu jam kemudian kami kembali ke hotel, tapi dalam perjalanan mobil yang kami tumpangi bannya meletus mba, mobil terguling. Mas Ervan dan supir kami meninggal, saya sendiri luka berat mba, kaki saya patah. Dan saya baru sadarkan diri beberapa menit lalu, langsung saya telpon mba.”
“Mba...” Suara Hardjo semakin kecil Mili menjatuhkan handphonenya ke kasur, dia terus menggumam ‘gak mungkin gak mungkin’ hingga suaranya berubah menjadi pekikan, membuat Ayah dan Ibu yang ada di kamar sebelah bergegas menghampirinya.
Ibu langsung memeluk Mili yang terlihat ketakutan dan menangis. Sementara Ayah melihat handphonenya yang masih terdengar suara. Setelah berbicara dengan seorang dari sebrang sana, ayah mengusap air mata yang membasahi pelupuk matanya, dan mengangguk seolah mengerti. Mili masih tergugu tak percaya.
“Ada apa Yah?” Tanya ibu yang penasaran
“Menantu kita bu, Ervan meninggal kecelakaan.” Dan saat itu pula Mili pingsan.
***

No comments:

Post a Comment