Pages

Tuesday, December 27, 2016

CERPEN : HADIAH TERINDAH

Mengapa mereka harus sejahat ini ke aku? Apa salahku, terlalu malukah mereka mempunyai menantu dari keluarga tak berada sepertiku? Namaku Melati, Sejak kecil aku hanya hidup berdua dengan ayah yang seorang tukang kuli pacul serabutan.
Hari ini pesta pernikahan adik sepupu suamiku, mereka semua memakai pakaian indah. Seragam yang sama berwarna keemasan. Sementara aku dan putraku yang berusia tiga tahun tahun hanya bisa gigit jari melihat pemandangan itu.
Kami berada di gedung mewah, makanan ada di sepanjang sudut ruangan. Makanan yang tak pernah kucicipi sebelumnya.
Selama menikah dengan dia, Aryo, tak pernah sekalipun pria yang menjadi suamiku itu membawa kami ke pesta pernikahan. Dia putra konglomerat, para model yang merupakan mantan-mantan pacarnya, yang terkadang sering diajak ke pesta semacam itu.
Hari ini pun dia tak berniat mengajakku, hanya saja anak kami Rey merengek meminta ikut karena semua keluarga hadir.
“Heh koq malah bengong, jagain tuh anak kamu jangan bikin malu!” sebuah suara memecah lamunanku, dari ibu mertua yang selama ini rumahnya aku tinggali. Aryo tak pernah ingin berpisah dari ibu dan ayahnya. Dirumah itu aku tak ubah seorang budak. Disuruh ini dan itu, tak pernah diberi uang. Ingin ku pulang ke rumah orangtuaku, ah andai saja ayah masih ada. Ayah meninggal tepat seminggu setelah operasi tumor di tubuhnya. Sementara ibu sudah jauh lebih dahulu meninggal semenjak aku kecil.
Sanggul tinggi bumer mencuat dengan sombongnya. Kuperhatikan Aryo berbincang dengan kerabat yang lain, sementara aku harus memegangi tangan Rey yang ingin berlarian kesana-kemari. Beberapa pasang mata menatap aku dengan tatapan aneh. Wajar kurasa.
Aku seorang wanita berusia 25 tahun, memakai kebaya jadul berwarna ungu, itupun punya ibu mertua yang mungkin sudah puluhan tahun tak dipakainya, sandal yang ku kenakan pun agak kebesaran, sama punya bumer juga, karena aku memang tak mempunyai busana untuk ke pesta seperti ini. Meskipun punya suami orang kaya, tapi tak pernah sekalipun membelikan aku baju atau alat make up.
Pergaulanku hanya dengan bibik, pembantu dirumah mewah milik bumer. Semenjak masuk gedung mereka sudah meninggalkanku dengan kata-kata yang cukup kasar, aku tak boleh menghampiri mereka apapun alasannya, seolah pura-pura tak kenal!
Aku hanya tersenyum, sudah biasa diperlakukan seperti ini.
***
Hari demi hari kulalui layaknya dalam sangkar, ini salah itupun salah. Aku selalu jadi sasaran emosi suami yang suka mabuk-mabukan, atau bumer yang kalah dalam pengocokan arisan. Terkadang bapak mertuaku yang sibuk itupun suka melemparkan cacian dan hinaan jika kopi yang kusediakan tak sesuai dengan keinginannya.
“Harusnya kamu gak nikahin dia Yo?” suatu hari kudengar mereka bertiga bercakap-cakap di meja makan, aku yang ada di dapur menyantap makanan langsung menghentikan pekerjaanku dan ikut menguping.
“Kalau Aryo gak nikah dengan dia, siapa yang bisa transplantasi hati untuk mamah pah, kan hanya anggota keluarga yang boleh melakukan transplantasi, masih mending kita Cuma bayar rumah sakit bapaknya aja 15 juta, dan untungnya dia bodoh gak pernah nuntut apa-apa sama Aryo,” suamiku terkekeh, wajahnya memang tampan tapi tak pernah sekalipun dia memperlakukanku sebagai seorang wanita, untuk melayani nafsunya saja dia sudah seperti binatang buas.
“Kasian anak mamah, menderita begini, maafin mamah ya nak.” Bumer mengusap kepala Aryo dengan lembut. Tak kusadari air mata menetes dari kedua pelupuk mataku.
Terbayang kejadian 4 tahun silam, dimana Ayah harus menjalani operasi karena tumor yang sudah ganas, kami tak punya uang saat itu. Dan tak sengaja bertemu Aryo di rumah sakit yang sama. Yang kulihat dia adalah pria yang baik. Dia sangat perhatian kepadaku hingga akhirnya dia menawarkan membiaya operasi ayah, asalkan aku mau melakukan pencangkokan hati.
Akupun melakukan serangkaian tes, ternyata hasilnya cocok. Hari itu juga Ayah dioperasi keesokan harinya aku dan Aryo menikah di RS. Dan tak lama kulakukan pencangkokan hati itu. Hingga kemudian kudengar kabar kalau Ayah sudah menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit yang sama. Sehari setelah operasi aku sudah bisa berlarian, mencari jenazah Ayah. Aryo membantu mengurus semuanya hingga pemakaman selesai.
Derita dimulai seminggu setelahnya, pihak rumah sakit melakukan survey apakah benar kami menikah tanpa paksaan dan tanpa suap? Sehingga Aryo membawaku ke rumahnya, meninggalkan rumah gubuk yang hampir roboh peninggalan dari ayah.
“Neng, gak baik nangis di depan nasi atuh,” kurasakan Bibi mengusap air mataku, kupeluk erat tubuh yang sudah setengah renta itu.
“Kenapa neng? Cerita sama bibi.” Aku hanya menggeleng, bibi memegang tanganku erat.
“Neng sebenernya cantik, hanya aja neng gak pernah kenal alat make up, gak pake baju bagus. Kalau neng pakai itu semua, bibi yakin neng pasti bisa ngalahin kecantikan temen-temennya aden.” Aku tersenyum, bibi memang paling bisa menghibur dengan caranya.
“Serius bi?” si bibi hanya mengangguk. Kuusap air mata yang mengalir di sela pipi.
“Malam ini tidur dikamar!” sebuah suara berat mengagetkanku dan bibi yang sedang duduk di lantai. Ucapan itu keluar dari mulut Aryo, biasanya kalau dia bilang seperti itu, artinya dia mau melampiaskan nafsu bejatnya. Karena hampir setiap malam aku tidur di kamar Rey anakku. Kutarik nafas panjang. Bibi mengangguk, segera kurapihkan piring kotor, mencucinya dan melakukan tugasku sebagai istri.
***
Hari ini tak seperti biasanya, pukul 6 pagi kegaduhan sudah mengusik kediaman mertuaku.
Banyak sekali aparat kepolisian dan orang-orang berdasi. Yang aku tahu mereka dari KPK, polisi menyita seluruh harta benda yang ada dirumah, kami hanya boleh pergi membawa 1 koper pakaian dari masing-masing anggota keluarga.
Sementara ayah mertuaku dibawa ke sel tahanan. Ibu mertua terlihat panik, dia menelepon seluruh anggota keluarga tapi tak ada yang bersedia menampungnya. Ya sudah biasa kan jikalau susah, orang yang biasanya dekat pun seolah pura-pura tak kenal.
Tak hanya itu, suamiku ditelepon dari kantor tempatnya bekerja yang memecatnya secara sepihak karena ada indikasi korupsi juga, Aryo disuruh memilih berhenti tanpa pesangon atau mau dilaporkan ke kepolisian. Baru pertama kali kulihat Aryo pucat, dia memilih berhenti kerja.
Gerbang sudah disegel, bibi dipaksa pulang ke rumah anaknya oleh ibu mertuaku karena tak akan mampu menggajinya lagi. Kini kami hanya berempat di depan gerbang rumah yang bertuliskan “DISITA”
“Kalau mau, ibu dan mas Aryo bisa tinggal dirumah aku, ya rumahnya memang seperti gubuk tapi lumayan daripada dijalanan.” Ucapku menawarkan bantuan. Bumer dan Aryo berpandangan sejenak dan setuju dengan usulanku. Kami pun pergi kerumah ayah dengan mengenakan bajay karena tak ada uang lagi.
Mereka mungkin tak tahu bahwa aku telah menyelipkan celengan Rey di dalam koper. Sengaja tak kuberi tahu, kuyakin isinya lumayan karena setiap hari sisa uang jajan rey dan sisa belanja sayuran selalu aku sisihkan di celengan itu, dan sudah selama tiga tahun aku melakukan itu.
Rasanya rindu dengan rumah ini, empat tahun tak pulang kesini, masih rumah yang sama, hanya saja lebih banyak debunya, atap masih menggunakan asbes tak apa asal tidak bocor. Pintu sudah mulai lapuk dan tembok yang berlumut. Di rumah ini hanya ada 2 kamar, ibu kutempatkan di kamar bekas ayah, sementara Aryo mau tak mau sekamar dengan aku dan Rey di kamarku, tempat aku sedari kecil menumpahkan keluh kesah dan kebahagiaan.
Mereka tak membantu sama sekali membereskan rumah, tapi tak apa, aku ikhlas.
Hari kedua berlalu dengan menghabiskan sisa pulsa, bumer terus menghubungi keluarganya, tapi hasilnya nihil, seluruh keluarganya malah mereject telepon itu.
Aryo menelepon teman-temannya, yang hampir tak ada yang mengangkat ataupun beralasan ini itu. Aku hanya mampu menyiapkan telor ceplok dan nasi. Yang sukses membuat bumer hampir muntah, namun karena didorong rasa lapar yang teramat sangat, diapun menyuap nasi itu sampai tandas.
Hari ketiga, semua pulsa sudah habis, kartu kredit dan atm suami diblokir begitupun ibu mertua, tak ada uang tersisa. Aryo mencoba melamar pekerjaan seharian ini, tapi tak ada yang menerimanya, karena dia tak punya skill, ya aku tahu dia bekerja kemarin karena ayahnya, kini ayahnya mendekam di penjara hilanglah sudah kepercayaan dari orang-orang sekitarnya.
Hari keempat badan Aryo panas sekali, kubawa dia ke puskesmas terdekat menaiki becak. Sebelumnya dia sangat anti naik becak apalagi berobat di tempat gratis seperti itu, tapi karena sudah tak kuat dengan sakit kepalanya diapun menuruti permohonanku.
Hari kelima, Bumer pun melemah, sudah jarang kudengar dia teriak-teriak seperti sebelumnya. Lebih sering kudengar dia menangis di sepertiga malam, memohon ampunan akan dosa-dosanya. Syukurlah hidayah telah datang kepadanya. Bahkan bumer ikut membantuku memasak nasi di dapur.
Hari keenam Aryo sudah mulai sembuh, tadinya dia ingin mencari pekerjaan lagi, tapi kularang karena tubuhnya yang masih lemah. Stres membuatnya sakit. Sementara Rey malah bisa menikmati tinggal di perkampungan seperti ini, dia senang bermain dengan teman-teman sebayanya.
Keesokan harinya kulihat Aryo mulai berbaur dengan para pemuda daerahku menanyakan kira-kira ada pekerjaan kah untuknya demi menghasilkan uang. Beberapa pemuda menyarankan Aryo untuk menjadi kuli panggul saja dipasar untuk sementara. Kulihat Aryo menyetujuinya.
Hari demi hari dia lalui menjadi kuli pasar, tubuhnya mulai terlihat hitam legam, kadang ada memar di punggungnya, karena tak hanya mengangkut beras, seringpula dia mengangkut peti-peti dan sebagainya.
Entah kenapa malam ini hatiku hangat sekali, kulihat Aryo tertidur pulas memeluk Rey, hal yang tak pernah kulihat ketika kami tinggal dirumah mewah itu. Tak terasa air mataku menetes sedih. Rey mendapatkan kasih sayang justru setelah kami jatuh miskin. Disana semua kebutuhannya terpenuhi namun tak pernah sekalipun digendong atau disayang oleh ayahnya atau neneknya. Tapi disini semua berbeda, sering kulihat bumer menuntun Rey untuk sekedar jalan sore, bahkan dia mau dengan senang hati menyuapi Rey.
“Kamu nangis kenapa?” tiba-tiba Aryo memegang jemari tanganku, kaget kurasa. Karena dia tak pernah melakukan ini sebelumnya.
“Maaf ya selama ini aku udah nyia-nyiain kamu, padahal kamu orang yang paling setia sama aku dan keluargaku,” aku hanya mengangguk, air mata justru jatuh lebih deras, Aryo pun duduk di sampingku dan memelukku. Pelukannya lembut sekali, tak pernah kurasakan sentuhan selembut ini darinya.
“Setelah sebulan hidup seperti ini, aku jsutru baru menyadari kalau aku sudah jatuh cinta sama kamu Mel,” Aryo melepaskan pelukannya dan mengecup keningku dengan lembut yang kemudian turun ke pipi dan bibirku. Kami menangis berdua, tak ada kata-kata keluar dari mulutku. Tapi hatiku mengucapkan syukur yang teramat sangat.
***
Dulu sebelum menikah dengan Aryo, aku pernah bekerja di restoran yang menyajikan mie ayam. Aku tahu cara pembuatannya. Kuambil sedikit uang dari Aryo yang diberikan ke aku untuk belanja, kucoba membuat mie ayam sederhana dengan bahan seadanya.
Malam itu aku mendapat pujian dari aryo dan bumer, rasanya pas sekali. Dan munculah ide di otakku untuk berjualan mie ayam itu. Hanya saja kami terbentrok modal. Aku masih menyembunyikan celengan rahasiaku.
“Sabar sebulan lagi ya Mel, aku akan lebih giat cari uang, nanti uangnya kita untuk modal, beli gerobak dan perlengkapan lainnya, nanti aku bantuin kamu jualan yah,” Aryo mengusap kepalaku
“Iya Mel, Rey nanti biar ibu yang  jagain.” Bumer pun ikut mendukung. Untuk pertama kalinya aku merasa makan malam begitu syahdu seperti ini.
Ketika Aryo berangkat kuli kepasar, dan Ibu pergi dengan Rey kubuka celengan itu dan menghitungnya, akupun terkejut dengan jumlahnya yang mencapai 5 juta lebih. Tak sabar ingin kukatakan ke Aryo. Tapi entah kenapa nurani menolak, teringat perlakuan kasar mereka, bagaimana jika mereka tahu aku punya uang dan mengambilnya untuk bersenang-senang?
Bagaimana jika nanti setelah kita punya uang banyak mereka akan memperlakukan aku dengan semena-mena kembali? Uang bisa merubah manusia kan?
Meskipun bumer sudah minta maaf atas perlakuan kasarnya, tapi tetap saja terkadang hati ini masih sakit mengingatnya. Kuselipkan uang itu di lemari baju yang paling dalam. Kuhitung uang hasil kerja keras Aryo yang kuselipkan sedikit demi sedikit, jumlahnya lumayan ada beberapa ratus ribu.
Aryo pulang dengan lemah, kulihat tangannya memar, kubasuh dengan air hangat.
“Besok gak usah kerja dulu mas, istirahat dulu, lihat badan kamu memar semua,” Aryo hanya tersenyum memandang wajahku yang serius membersihkan luka ditubuhnya.
“Terus kita makan apa nanti? Aku gak mau keluarga aku kelaparan.”
“Yo, mamah ada tawaran kerja di laundri depan gang, mulai besok mama kerja disitu, ya itung-itung belajar juga, jadi kamu gak usah khawatir lagi yo, kamu istirahat aja ya, tadi juga mama udah coba bantu-bantu nyetrika, nih mama udah dapat uang.” Kulihat bumer merogoh kantungnya dan mengeluarkan uang dua ribuan yang ditotal ada duapuluh ribu rupiah, lembaran yang lecek sekali, yang kuyakin kalau dia dihadapkan pada uang itu dahulu, dia akan langsung melemparnya karena jijik.
“Mah, mamah gak perlu lakuin itu, ini kewajiban Aryo mah sebagai anak laki-laki.”
“Mamah Cuma mau ringanin beban kamu dan melati aja koq Yo, mama gak mau nambah beban kalian berdua,”
“Bu,” ucapku parau
“Jangan panggil ibu terus mel, panggil mamah sekali-sekali.” Potong bumerku, air mataku menetes lagi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku lebih cengeng dari biasanya.
“Mamah gak pernah jadi beban untuk kami mah,” bumer hanya tersenyum, dulu aku tak pernah menyangka dia punya senyum selembut ini. Karena wajah yang ditunjukkan ke aku selalu wajah penuh amarah.
Kuambil uang yang kuselipkan tadi, ku serahkan ke Aryo. Dia terkejut. Setelah kujelaskan baru dia memahaminya. Tak ada ekpresi marah dari mereka. Malah Aryo menyuruhku untuk menyimpan kembali uang itu. Begitupula bumer.
Tapi aku menggeleng, aku ingin melanjutkan cita-cita mempunyai kedai mie ayam sendiri. Setelah diskusi panjang lebar kamipun memutuskan untuk membuka mie ayam. Bumer dan aku membuat mie ayam dan belanja keperluan lainnya, sementara Aryo menemui penjual gerobak di pasar. Yang second tak apa asal bisa digunakan. Aryo pun mengundurkan diri jadi kuli panggul.
Dua hari kemudian, baru kami bisa berjualan. Mengikuti prosedur di pasar. Kami berjualan harus membayar biaya keamanan dan sebagainya agar kami dikasih lapak disitu. Beruntung kepala pemegang lapak itu kenalan ayah, jadi kami ditempatkan di depan.
Kusadari Aryo mempunyai otak yang kreatif dan jenius. Dia membuat selebaran promo, sehingga banyak sekali yang makan di lapak kami. setiap hari kami mendorong gerobak dari rumah kepasar dan kembali kerumah, dan selama itu pula dagangan kami selalu laku terjual.
Prinsip kami itu ‘untung sedikit yang penting lancar’ terkadang bumer datang membawakan kami makan siang bersama Rey. Bumer tentu tak jadi kerja di laundry. Setiap malam dia membantuku membuat mie ayam, kami memang tak ingin beli yang sudah jadi, karena rasanya akan beda. Ayam pun dipilih yang kualitas terbaik dengan bumbu yang bagus, begitupula sayuran.
Aryo sudah pandai meracik mie ayam sendiri, dia benar-benar tak mengizinkanku kerja berat, dia pula yang selalu mencuci piring bekas pelanggan.
Aku fikir dia akan malu dengan profesinya, tapi ternyata tidak, dia malah broadcast message mempromokan mie ayam buatannya, kami kerjasama dengan operator ojek online yang sedang booming pula.
Perekonomian semakin membaik sedari situ, kami sudah mampu menggaji karyawan dan menyewa sebuah kios untuk pelanggan agar nyaman jika makan disitu.
Aku percaya dan yakin kalau Aryo tak akan berubah seperti dulu lagi, nyatanya sampai kini dia masih setia menemaniku meskipun kami sudah mulai sukses. Dia tak pernah lupa akan aku dan anakku, bumer juga sangat menyayangiku. Kini aku merasa hidupku sungguh sempurna. Empat tahun menderita dibalas kebahagiaan yang tak terhingga.
Mungkin itulah hadiah dari kesabaran yang Tuhan kasih ke aku.
---Tamat---

No comments:

Post a Comment