Pages

Friday, December 16, 2016

CERPEN : TETES EMBUN - PART 2

Ketika Mili sadar, Ayah sudah tidak ada disampingnya. Dia bergegas ke bandara bersama keluarga Ervan untuk menyambut jenazah menantunya itu. Rasa tak percaya hinggap di benak Mili, beberapa jam  lalu mereka masih bersenda gurau, tapi kini dia tak akan bisa lagi mendengar suara orang yang amat sangat dicintainya itu.

‘dugg’ tendangan kecil di perut Mili membuyarkan lamunannya, membuatnya semakin menangis, bayi mungil ini bahkan tak akan pernah melihat sosok ayah dalam hidupnya. Mili semakin menangis histeris, bagaimana bisa dia melewati ini semua?

Selama ini Ervan sangat memanjakannya, membantunya melakukan pekerjaan rumah tangga, dia sosok yang sempurna sebagai seorang suami, ayah maupun menantu juga anak bagi orangtuanya.
Tak berapa lama salah satu adik Ervan kerumah Mili untuk menjemputnya, karena jenazah Ervan rencananya akan disemayamkan di rumah ibunya. Tak jauh dari kediaman Mili.

“Mah, Papah udah meninggal yah? Olive sayang papah Mah,” Olive putri kecil berusia empat tahun itu menangis di dada Mili. Mili hanya mendekapnya erat, disamping Olive ada neneknya yang hanya mampu menggenggam tangannya dan membuang pandangan keluar, tak kuasa melihat pemandangan itu.

***

Dirumah mertua Mili, sudah ramai orang yang ingin melayat, padahal Jenazah Ervan pun baru sampai di bandara. Beberapa langsung memeluk Mili, semua yang hadir meneteskan air mata. Merasakan kepedihan Mili dan anaknya. Ditambah Mili yang sedang hamil besar beberapa bulan lagi dia harus menghadapi saat melahirkan tanpa seorang suami.

Belum lagi Olive, anak kecil itu yang biasanya selalu bersenda gurau dan dia masih sangat butuh perlindungan dari sosok ayah, tapi kini sosok itu tak ada lagi.

Mili menghampiri ibu mertuanya yang tergolek lemah di depan dipan yang sudah disiapkan untuk Ervan. Wanita berusia setengah abad itu terlihat pucat matanya sudah memerah mungkin selain Mili, dia juga wanita yang paling merasakan kehilangan sosok Ervan, putra pertamanya yang selama ini selalu menghormati dan menyayanginya.

“Bu,” Mili menghambur memeluk mertuanya, wanita baik itu tak pernah membedakan menantu maupun anaknya, bagi dia menantu juga adalah anaknya. Wanita yang selalu berusaha menjadi mertua yang baik dan menyayangi seluruh menantunya juga cucunya. Wanita itu kini menangis histeris memeluk Mili tangannya mengusap perut Mili yang membesar.

“Nak, kamu yang kuat ya, demi Olive dan bayi dalam perut kamu....”

“Ibu juga,” sementara Olive digendong oleh ibunya Mili.

Tak sampai 1 jam, mobil ambulance yang membawa jenazah Ervan tiba dirumah duka. Sudah berbalut kafan dan sudah dimandikan.

Waktu sudah menunjukan pukul 2 siang, jadi jenazah itu langsung dikebumikan hari itu juga.
Tangisan mengiringi kepergian Ervan, bahkan Mili sempat pingsan sekali lagi ketika jenazah itu tiba. Sementara ibunya Ervan tak kuat berdiri, hingga harus dipapah ketika mengantarkan jenazah anaknya ke pemakaman.

***

Mili mendapatkan cuti selama 2 minggu, dan kini dia harus kembali kerja di kantornya, meskipun mengenakan baju hitam-hitam.

Beberapa rekan kerja menyalaminya sebagai ungkapan turut berduka cita. Mili harus bisa menata hidupnya kembali demi anak-anaknya kelak.

“Mil,” Suara maskulin membuyarkan lamunannya. Zian, dia menghampiri mili di ruangan kerja, Mili ingat Zian hadir di acara pemakaman suaminya itu. Dia bahkan datang beberapa kali saat tahlilan.

“Owh, ada yang bisa aku bantu Zi?” Mili mendongakkan kepalanya, matanya masih bengkak karena terlalu sering menangis.
“Enggak, aku Cuma mau kasih ini,” Zian menyerahkan bungkusan burger dan juga minuman ringan ke meja Mili “Meskipun sedih, kamu harus tetap makan, demi bayi kamu. Sudah ya aku mau nyelesain proyek dulu.” Zian menepuk pundak Mili ketika dia bergegas pergi “Trims” ucap Mili pelan hampir Zian tak mendengarnya. Namun dia tetap berjalan ke ruangan lain.

Ya Zian akan menetap disitu selama beberapa bulan sampai proyek yang digarapnya selesai setelah itu dia akan kembali ke perusahaannya sendiri.

Bos Mili yang jarang ada ditempat, membuatnya lebih sering berkomunikasi dengan Zian. Karena sebagai sekteraris, Mili pun dipercaya untuk memegang beberapa arsip perusahaan sehingga data-data penting yang membutuhkan tanda tangan bosnya itu, Mili yang menyimpannya.

Hubungannya dan Zian menjadi dekat kembali karena hal itu, tapi tak lebih dari teman. Meskipun terkadang Zian memberikan perhatian lebih ke Mili dengan membelikan makan siang, atau menitipkan hadiah untuk Olive.

Terkadang Zian mengantarkan Mili pulang, jika sudah terlalu larut malam. Karena kandungan Mili yang semakin membesar, membuatnya tak tega membiarkan dia seorang diri naik motor.

***

Seminggu lagi Mili akan ambil cuti 3 bulan untuk melahirkan anaknya. Namun hari ini perutnya terasa lain, rasanya keras sekali. Membuat Mili tidak nyaman. Dari pagi hari dia sudah menyandarkan kepalanya di meja.

“Mil, ini ada titipan untuk pak Bos...” Ucap Zian sembari membalik halaman demi halaman kertas yang dibawanya. Mili mengangkat kepalanya. Dan Zian terkejut melihat bibir Mili yang memutih pucat.

“Kamu sakit? Aku anterin pulang yah!” Mili menggeleng, dia mengambil kertas dari Zian dan meletakannya di map.

“Enggak apa-apa mungkin aku kecapekan aja, tiduran sebentar juga enakan.”
“Yaudah kalau emang gak apa-apa, tapi kalau rasanya ada yang gak beres, kamu harus telpon aku ya.” Mili mengangguk, Zian pun kembali keruangannya. Perut Mili rasanya seperti diaduk-aduk tak karuan, diapun memutuskan ke toilet.

Sambil memikirkan sepertinya dia tak salah makan, lalu kenapa perutnya mulas seperti diare?
Mili masuk ke bilik perempuan, sesuatu seperti mengalir melalui vaginanya, Mili mengira itu air pipis tapi ternyata bukan, melainkan darah. Mili pendarahan!

Tangannya gemetar, dirogoh handphone di sakunya, siapa yang bisa dia hubungi disaat seperti ini? Matanya terasa berkunang-kunang. Dia segera menekan satu nomor setelah menjelaskan keadaannya, Mili memakai kembali celananya.

Seorang Pria mendorong pintu kamar mandi dengan keras,

“Mili! Mil kamu dimana?!!!”

“Disini!” dan tubuh Mili pun ambruk ketika dia membuka pintu biliknya. Pingsan.

***

No comments:

Post a Comment