Pages

Saturday, December 24, 2016

CERPEN : TETES EMBUN - PART 3 (END)

Zian membopong Mili sampai masuk mobil dan turun di RSIA terdekat dari kantor, dia tak perduli kemeja putihnya berlumuran darah. Berkali-kali dia memanggil Mili berusaha menyadarkannya namun nihil. Wanita itu tak jua mau membuka matanya.

Sampai dirumah sakit, Mili segera dilarikan ke ruang operasi. Seorang perawat meminta Zian menandatangani persetujuan untuk operasi. Tidak ada pilihan saat itu karena pendarahan Mili yang sangat hebat tak bisa dihentikan, detak jantung bayinya pun melemah dibawah 120 frekuensi/ menit. Kondisi gawat darurat.

Setelah Mili dipastikan menjalani operasi, orangtua Mili datang bersama Olive anaknya. Ya rekan kerja Mili menelepon mereka tadi ketika perjalanan ke rumah sakit.

Zian segera menyalami orangtua Mili, dia tentu mengenal mereka karena dahulu sering main kerumahnya.

“Bu, Pa, saya mohon maaf. Saya terpaksa tanda tangan tadi atau nyawa keduanya terancam,” Zian menunduk. Sementara bapak menepuk bahunya sembari mengangguk.

“Awalnya gimana? Koq bisa pendarahan gitu nak? Terus kamu bagaimana bisa ada disana?” Ibu mencecar Zian dengan berbagai pertanyaan karena dia tahu kalau Zian tidak bekerja di perusahaan Mili.

“Saya sedang menangani proyek di kantor Mili bu, tadi Mili telepon ketika di toilet dia bilang keluar darah, ketika saya sampai toilet dia pingsan.” Ibu mendesah, diperhatikannya kemeja Zian yang penuh noda darah.

“Kamu mau pulang ganti baju dulu nak?” Zian menggeleng dia ingin melihat kondisi Mili terlebih dahulu.

***

Bayi mungil berjenis kelamin perempuan lahir dari rahim Mili. Beberapa  jam kemudian Mili sadar, dia sangat berterimakasih dengan Zian yang telah cepat membawanya kerumah sakit. Zian baru bisa bernafas lega setelah itu. Diapun langsung pulang karena hari sudah semakin sore.

Hari demi hari hubungan Mili dan Zian semakin dekat, hingga Mili menyadari satu hal.

Bahwa tak seharusnya dia seperti ini. Zian sudah menikah mereka tak bisa bersama meski hanya sebagai seorang sahabat.

Lagipula persahabatan apa yang terjalin antara mantan kekasih? Ditambah Zian telah mempunyai kehidupan yang lain. Sebagai wanita Mili sadar sepenuhnya dia tak boleh berlaku seperti ini. Sama saja dia dengan perusak rumah tangga orang lain.

Dan di bulan ke empat kelahiran bayi mungil yang diberi nama Tania, Mili memutuskan untuk menjaga jarak dengan Zian. Dia hanya membalas pesan singkat Zian dengan kata-kata yang dingin. Bahkan seringkali mengacuhkan panggilan Zian. Toh Proyek Zian telah selesai dan dia sudah kembali ke perusahaannya kembali.

Meskipun Mili sedikit berat karena selama ini Zian sangat perhatian ke kedua buah hatinya itu.

Sebulan sudah Mili mengacuhkan Zian, dia memang merasa bahwa dihatinya ada rasa yang berbeda terhadap pria itu, tapi kenyataan bahwa Zian telah menikah membuatnya sadar bahwa dia tak seharusnya menyimpan perasaan itu dalam-dalam.

Hingga akhirnya pada suatu sore Zian berdiri tepat dihadapannya, di depan kantornya.

“Mil,” Zian menarik tangan Mili. Mili memang menghindarinya dia berusaha melepaskan pegangan itu dan berjalan kembali.

“Aku salah apa sama kamu?”
“Gak ada yang salah Zi, kita gak seharusnya dekat seperti ini.”
“Kenapa?”
“Sadar gak Zi, apa yang kita lakuin sama aja selingkuh tau gak? Selingkuh dibelakang istri kamu, aku gak mau jadi perusak rumah tangga orang Zi. Aku perempuan aku bisa ngerasaain perasaan istri kamu kalau seandainya dia tahu apa yang terjadi antara kita!!”

“Aku ngerti...”
“Kalau ngerti jauhin aku mulai sekarang!” potong Mili. Diapun bergegas ke parkiran untuk mengambil motornya. Zian hanya mematung memandang punggung Mili yang semakin menjauh. Berat rasanya melepas seseorang yang pernah dicintainya, tapi dia sadar bahwa dia tak bisa memaksa Mili untuk menunggunya.

Maka yang bisa dia lakukan hanyalah merelakannya.

Malam ini Zian memilih tidur di kamar yang terpisah dari istrinya. Dia perlu waktu untuk menghapus segala kenangan tentang Mili untuk kedua kalinya.

***

“Mil, besok bisa ketemu di rumah makan Freenchise. Ada sesuatu yang harus aku bicarain. Habis itu aku janji gak akan hubungin kamu,” sebuah Bbm dari kontak Zian masuk ke hp Mili. Seperti biasa Mili hanya membacanya saja, enggan sekali membalas bbm itu dibacanya satu persatu bbm dari Zian yang tak pernah dibalasnya. Dari kata-kata ‘kamu sudah makan?’ ‘gimana kabar olive dan tania?’ ‘sibuk ya sampe bbm aku gak pernah dibalas?’ ‘kamu gak apa-apa kan?’ dan beberapa bbm lain yang menyesakkan dada.

Tak berapa lama ada bbm masuk lagi “Aku tunggu pukul 4 sore, aku akan tetap tunggu kamu disana sampai kamu datang!”

Mili hanya membaca bbm itu dan dia memutuskan untuk memejamkan matanya. Besok weekend, enggan rasanya pergi-pergian karena hanya saat weekend lah dia bisa full bersama Olive dan Tania.
Setelah lama memikirkan akhirnya Mili memutuskan untuk menghadiri pertemuan itu, selama ini Zian sudah baik kepadanya, dia tak ingin mereka mengakhirinya dengan perpisahan yang buruk, toh saat putus beberapa tahun lalu pun mereka putus dengan baik-baik. Zian bahkan datang diacara pernikahannya, begitupula dia yang datang di acara pernikahan Zian.

Pukul setengah lima Mili sampai di tempat yang dituju, diantar oleh adiknya yang laki-laki, dan adiknya pun langsung pergi karena sudah janjian dengan teman kuliahnya.

Sambil menarik nafas panjang dia memendarkan pandangan ke sekitar, hanya ada beberapa pengunjung disana. Sepasang kekasih yang masih muda, empat kawanan anak cewek ABG, seorang pria dengan setelan kemeja yang terlihat rapih, tapi itu bukan Zian. Dan beberapa pengunjung lainnya.

Mili berfikir mungkin Zian belum sampai dia pun mencari tempat duduk agak kepojok dengan dinding kaca. Di belakangnya telah duduk seorang pria berkemeja tadi yang sepertinya asik dengan laptopnya. Posisi Mili menghadap pria itu sementara pria itu membelakanginya.

Tak berapa lama Mili memesan White Coffe. Dan pelayan pun memberikan pesanannya. Aroma kopi yang nikmat membuat hatinya sedikit tenang.

Tak lama muncul seorang wanita yang langsung duduk di meja Mili. Mili mengenal wanita itu. Dia Via istri Zian. Tapi untuk apa dia kesini? Dimana Zian?

“Kamu pasti udah tau kalau aku istrinya Zian?” Mili mengangguk dan memaksakan tersenyum, firasatnya sangat tidak enak.

“Kamu nunggu suami aku? Kamu sadar gak sih Mil, klo dia sudah nikah! Kalian gak boleh menjalin hubungan itu lagi! Kamu mau dianggap perusak rumah tangga orang...”

“Tunggu, aku bisa jelasin itu semua,”

“Jelasin apa?! Jelasin klo selama ini sikap dia itu seperti suami bagi kamu? Nganterin lahiran! Merhatikan keadaan kamu dan anak-anak kamu. Aku sadar aku sampai sampai saat ini belum bisa kasih anak ke dia, tapi kami sedang berusaha! Jadi jangan bikin sia-sia usaha kami! plis jauhin dia!!”

Suara Via semakin mengeras, meskipun dia masih menjaga kata-kata yang keluar dari mulutnya agar tidak melemparkan kata yang tak seharusnya.

Namun perhatian beberapa pengunjung sudah teralihkan, mereka berbisik-bisik karena keributan itu, bahkan seorang security hampir menghampirinya.

Tiba-tiba pria berkemeja tadi menghampiri Mili. Dia tersenyum ke Mili dan ke Via.

“Owh jadi ini istrinya temen kamu? Kenalin nama saya Dira.” Pria bernama Dira itu menjabat tangan Via dan duduk disamping Mili, membuat Mili bertanya-tanya dalam hati, tapi Dira hanya mengedipkan sebelah matanya saja sembari tersenyum.

“Kalian punya hubungan apa?” tanya Via yang juga bingung

“kami mau menikah sebentar lagi, sebenernya hari ini dia mau ngenalin aku ke temennya tapi ternyata anda yang datang. Maaf ya sayang aku telat,” ucap Dira, Mili hanya tersenyum mengangguk, dia tahu lelaki ini sedang berusaha menyelamatkannya.

“Jadi kamu gak selingkuh sama Zian?” Mili hanya menggeleng, dilihat dari sudut manapun Dira jauh lebih diatas Zian. Muka Via memerah dia menunduk.

“Maaf ya aku salah paham, aku pulang dulu!” Ucap Via menyambar tasnya dan pergi dengan wajah memerah menahan malu. Mili memperhatikannya sampai dia keluar dari restaurant tersebut.

“Makasih yah,” ucap Mili ke Dira

“Dira,” Dira menjulurkan tangannya yang dibalas oleh Mili. “Mili,”

Ternyata Dira sosok yang ramah, hanya dalam beberapa menit dia berhasil membuat Mili menceritakan semuanya, tentang kehidupannya, tentang Zian juga kematian suaminya. Sementara Dira hanya mengangguk, sesekali bertanya hal yang tak dia mengerti.

Bahkan Dira mengantarkan Mili pulang kerumahnya, dan mampir ke rumah Mili. Sebagai ungkapan terimakasih, tentu Mili mempersilahkannya dan menyambut hangat tamunya itu.

Ibu keluar menggendong Tania yang terlihat semakin gemuk. Mili langsung menciumi putri kecilnya itu.
“Aku boleh gendong gak?” ucap Dira, Mili pun menyerahkan bayi mungil itu ke tangan Dira dan mengajarkan cara menggendongnya. Dira dengan cepat beradaptasi. Dia menimang Tania, bahkan Tania tertidur di gendongannya. Membuatnya takjub.

Tania dibawa ke kamar oleh Mili dan diapun keluar membawakan kopi susu untuk Dira. Mengalirlah cerita Dira, bahwa dia merupakan anak tunggal sementara kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan lima tahun lalu, sehingga rumahnya sangat sepi.

***

Tak terasa sudah setahun Mili menjalin kedekatan dengan Dira, namun tak seperti pria lain pada umumnya, yang biasanya mengejar-ngejar, Dira malah seperti menggunakan metode tarik ulur, ada kalanya dia menemui dan menjemput Mili di kantornya. Namun seringpula dia tak ada kabar seakan menghilang begitu saja.

Namun yang pasti tiap sebulan sekali dia akan mengajak Mili juga Olive dan Tania jalan-jalan entah itu ke Dufan, jungleland  atau menikmati udara pantai Anyer.

Sudah tiga hari Mili tak dihubungi oleh Dira, iseng mengetik nama perusahaan tempat Dira bekerja. Mili terkejut melihat nama pendiri perusahaan tersebut dan direkturnya. Ternyata Dira lah pemilik perusahaannya sendiri namun mengapa dia tak pernah menceritakannya?

Dira terlihat sederhana padahal hartanya menggunung, dia tak pernah menyombongkan dirinya di depan Mili sedikitpun. Mili merasa kecewa tapi dia juga salah, selama ini dia selalu mendominasi omongan hanya sesekali Dira menceritakan kisah hidupnya. Mungkin itu yang membuatnya tak menceritakan tentang pekerjaannya.

Tiba-tiba Mili menangis, memegangi dadanya yang entah terasa sakit sekali, seakan ada tembok besar yang terbangun begitu saja antara mereka berdua. Mili merasa minder dengan keadaannya, di klik lagi profil mengenai Dira, lulusan luar negri, beberapa penghargaan didapat perusahaannya selama dia menjadi dirut.

Mili merasa dirinya hanyalah remahan biskuit di lantai yang luas. Kecil sekali. Ketika dia mengetik pesan untuk Dira bertuliskan “Kenapa kamu gak pernah cerita selama ini kalau kamu konglomerat?” belum sempat pesan itu dikirim, tapi sebuah pesan dari Dira telah masuk lebih dahulu. “Nanti malam aku kerumah kamu ya, mau bicara dengan orangtua kamu tentang kita. Aku serius ingin melamar kamu.” Mili menghapus ketikannya dan membalas pesannya “iya” hanya itu. Dia tak tahu lagi harus menulis apa?

Hatinya berkecamuk berbagai macam perasaan, ya biarlah nanti dia yang menanyakan sendiri mengenai kehidupan Dira.

***

Ternyata harapan untuk bertanya ke Dira sirna, karena dia tak datang sendiri melainkan bersama beberapa tetua perusahaannya yang sudah dianggap keluarga sendiri olehnya. Ya Dira memang pernah cerita bahwa dia hanya hidup sebatang kara, ibu dan bapaknya anak tunggal dan ketika mereka meninggal, tak ada lagi anggota keluarga lainnya.

Beberapa kerabat jauhnya menetap diluar negri dan hubungan mereka pun tak terlalu dekat. Acara lamaran berlangsung sederhana, meskipun Dira membawa banyak seserahan yang harganya cukup fantastis. Mili terlihat murung saat acara lamaran tersebut berlangsung entahlah dia seperti tak yakin, apalagi selama ini Dira tak pernah mengucapkan sayang atau apapun terhadapnya. Mili tak tahu apakah Dira mencintainya dan apa tujuan Dira melamarnya?

Semua tamu sudah pulang, terkecuali Dira, Mili menahannya. Hatinya sudah tak kuat menahan ribuan pertanyaan.

“Kenapa? Kamu gak suka sama lamaran yang aku lakuin?” tanya Dira karena melihat ekpresi marah dari Mili
“Tujuan kamu ngelamar aku apa?”

“Aku mau nikah sama kamu, jalin rumah tangga sama kamu, memangnya salah?”

“Kenapa selama ini kamu gak cerita tentang kamu yang ternyata pengusaha, bahkan direktur utama perusahaan terkenal, terbesar!” Mili terlihat frustasi dia menutup wajahnya, menangis.

“Kamu, apakah kamu Cuma mau mempermainkan aku?” Mili bertanya lagi, dia membalikkan tubuhnya tak mau menghadap Dira. Dira menarik nafas panjang,

“Aku serius ingin menjadikan kamu istri aku, dan kita akan menikah bulan depan.” Dira mengusap kepala Mili lembut dan pergi meninggalkan Mili.

Sepertinya tak ada yang bisa membantah ucapan Dira, persiapan pernikahan pun mulai dilakukan dari catering, gedung semua diurus oleh EO yang ditunjuk.

Mili hanya meminta satu hal, yaitu Dira menemaninya untuk meminta izin ke orang tua  almarhum Ervan. Dan Dira menyanggupinya. Sebenarnya mereka tak perlu lakukan ini. Tapi Mili tak mau hubungannya dengan keluarga Ervan menjadi buruk karena tak memberikan kabar.

Dengan sopan Dira memperkenalkan diri ke keluarga Ervan, dia bahkan membawakan beberapa bingkisan untuk keluarga Ervan.

Tentu ibu dan Bapak Ervan menyambutnya dengan tangan terbuka, Mili, menantunya itu masih muda perjalanan hidupnya masih panjang, ditambah Olive dan Tania juga butuh sosok seorang ayah untuk melindunginya, memberikan kasih sayang kepadanya.

Dan orangtua Ervan menyetujui serta akan turut hadir di pesta pernikahan mereka yang akan digelar beberapa minggu lagi.

***

Pesta pernikahan itu berlangsung sangat mewah, banyak tamu yang menghadirinya, di tengah acara Dira berjalan ke panggung dan mengambil Mic, saat itu pula dia mengatakan bahwa dia mencintai Mili sejak pertama kali bertemu. Namun ini pertama kalinya dia mengutarakan perasaannya karena dia ingin mengucapkan kata cinta setelah resmi menjadi suami istri.

Wajah Mili tersipu, dia telah salah menilai Dira. Dia fikir Dira sosok yang egois dan selalu ingin semua kemauannya terpenuhi. Tanpa dia sadari Dira telah banyak melakukan hal demi dirinya. Demi menjalin hubungan resmi dengannya.

Dira mempertahankan Mili agar tetap menikahinya meskipun dia tak mengutarakan perasaannya bahwa dia sangat menyayangi wanita itu.

Zian datang bersama istrinya, perut istrinya sudah membuncit kabarnya tengah hamil 5 bulan. Mili segera memeluk Via, padahal tampang Via masih merasa tak enak dengannya. Sepertinya Zian tak tahu kalau Via pernah menemui Mili sebelumnya.

Hanya Mili dan Dira yang tahu alasan dia memeluknya, pelukan terimakasih yang sebesar-besarnya. Seandainya hari itu Via tak mengajaknya keluar dengan membajak hp Zian, mungkin sampai kini pun dia tak akan bertemu dengan Dira.

Sebulan setelah pernikahan Mili memutuskan untuk resign dan fokus kepada kedua putrinya, dan dua tahun kemudian mereka dikaruniai putra kembar. Lengkaplah sudah kebahagiaan Mili dengan dikaruniai dua putri dan dua putra.

Dia pernah merasakan kehilangan yang menyakitkan dan kini dia telah menemukan sosok pendamping yang lain. Yang mungkin jauh dari kata romantis, namun pria itu sangat gentle. Sangat menghargai wanita, tak ingin merusaknya. Pria yang tak pernah membeda-bedakan anak-anaknya.
Mili telah menemukan kebahagaiaan dengan keluarganya begitu juga Dira. Mungkin Ervan pun tersenyum disurga sana.

--Tamat--

No comments:

Post a Comment