Pages

Sunday, January 1, 2017

CERPEN : KISAH SHERAVINA

“Anemia Aplastik,” Ucap seorang dokter berusia paruh baya, matanya menatap lekat ke lembaran-lembaran hasil pemeriksaan. Sementara di hadapannya tengah duduk seorang wanita yang memperhatikan dengan seksama. Dia tidak sendiri ada suami di sampingnya.
“Anemia Aplastik?” Tanya Sheravina, perempuan berusia 27 tahun itu mengingat kejadian beberapa minggu belakangan. Berawal dari sakit kepala yang hebat, dan setiap mengecek darah tensinya selalu rendah, tak pernah mencapai angka 100.
Dokter menyarankan untuk melalukan pemeriksaan menyeluruh terhadap tubuhnya. Dan disinilah dia berada, di sebuah ruangan dokter di salah satu rumah sakit ternama.
“Anemia Aplastik, terjadi saat sumsum tulang belakang mengalami kerusakan, sehingga memperlambat produksi sel darah baru, hal ini berarti sumsum tulang kosong atau mengandung amat sedikit sel darah,”
“Pengobatannya bagaimana dok?” Kini Hadi, suami Shera yang bertanya. Wajahnya menyiratkan kecemasan. Dokter itu menatap wajah pasiennya bergantian dengan pendampingnya.
“Transplantasi sumsum tulang belakang, apabila HLA-nya cocok. Bisa dilakukan test dari keluarga atau kerabat terdekat, biasanya yang cocok adalah dari golongan mereka.”
“Biayanya dok?” Shera memicingkan matanya, mendengar kata transplantasi saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri.
“Hmm, sekitar 300 juta, itupun jika ada yang cocok ya sumsum tulang belakangnya, untuk sementara kita akan melakukan terapi obat dan transfusi darah yang rutin, tetapi...” Dokter bernama Marco itu menatap kembali lembaran kertas di hadapannya, dan dia melanjutkan ucapan yang sempat terputus, “golongan darah B cukup susah dicari, bahkan di PMI golongan darah tersebut sering kosong, tapi jangan patah semangat, kamu kerja kan? Punya banyak kenalan, pasti banyak teman atau keluarga yang mempunyai golongan darah yang sama,” Pa Marco memberikan kartu transfusi darah, agar jika Shera mau melakukan transfusi darah bisa dilakukan dimanapun dia berada.
Tak pernah menyangka sebelumnya, bahwa penyakit anemia yang di derita Shera menjadi serumit ini, pantas saja vitamin penambah darah yang setiap malam diminumnya tidak cukup berpengaruh.
Hadi berkali-kali menarik nafas panjang, tahun ini adalah tahun ke 7 pernikahan mereka, terbayang senyum Dio, putra mereka yang kini berusia 6 tahun dan sedang semangatnya sekolah dasar. Haruskah senyum itu menghilang nanti?
Terapi obat yang dijalani Shera bisa mengakibatkan kerusakan hati, sedangkan transplantasi? Bisa saja mereka meminjam uang ke bank atau apapun, tapi presentasenya sangat kecil untuk menemukan pendonor yang cocok, apalagi di usia dewasa hal itu hampir tidak mungkin di lakukan.
Hadi hanya bekerja di sebuah perusahaan swasta kecil, begitupula Shera. Baru 2 tahun belakangan mereka menikmati masa-masa tenang hidup di rumah sendiri, hasil kerja keras selama menikah. Namun kini masalah yang lebih pelik datang dalam kehidupan mereka.
***
Pertama kalinya selama menikah Shera mempunyai  buku harian lagi, disitu dia menulis tentang diagnosis dokter. Barusan air mata tak dapat terbendung ketika dia menanyakan di grup kantor tentang kemungkinan ada teman yang mempunyai golongan darah B.
Ketikkan Shera berhenti ketika ada yang menanyakan sampai kapan dia akan melakukan transfusi darah. Dengan tangan gemetar Shera membalas, semuanya di hentikan ketika sel darah merahnya sudah benar-benar tak bisa berfungsi kembali, dan darah dari pendonor pun ditolak oleh tubuhnya, dan itu berarti waktunya di dunia ini tak lama lagi.
Proses transfusi darah mulai berjalan, teman pertama yang mendonorkan darahnya bernama Zian, cowok berusia 2 tahun di bawah Shera itu yang pertama kali menawarinya darah.
Zian bahkan bersedia jika setiap bulan darahnya yang diambil Shera, namun pihak kedokteran tak memperbolehkan donor darah setiap bulan, karena tidak baik untuk tubuh si pendonor. Maka Shera pun menghubungi teman lain yang sudah bersedia mengantri untuk mendonorkan darahnya.
Di tengah sakitnya Shera merasa bahagia, dia mempunyai teman dan keluarga yang mendukungnya penuh, membuatnya merasa nyaman dan terhibur.
Atasan Shera memberikan hak spesial bagi Shera, jika dia merasa kesakitan atau tak mampu melanjutkan pekerjaan, dia boleh pulang. Jam kerjanya tak mesti 9 jam. Izin tidak masuk pun amat sangat longgar.
Hadi, suaminya selalu mendukungnya. Meski hati Shera tak sepenuhnya untuk Hadi pun begitu bagi Hadi, namun mereka saling menghormati dan menghargai sebagai suami-istri. Sebagai ayah dan bunda bagi Dio. Pernikahan mereka terjadi merupakan sebuah kebetulan yang tidak di sengaja.
Saat itu Hadi sedang frustasi karena calon istrinya pergi dengan lelaki lain, dia yang saat itu menjabat sebagai atasan Shera di kantor, meminta Shera untuk menggantikan posisi calon Istrinya karena pernikahan mereka akan di langsungkan 3 hari lagi.
Shera setuju dan berfikir benih cinta akan tumbuh belakangan, meskipun yang terjadi hanyalah perasaan saling menjaga antara suami dan istri saja. Tak lebih!
“Nyokap lo meninggal ketika lo usia berapa Zi?” Shera sedang menikmati makan siangnya di kantin ditemani oleh Zian pendonor darah pertamanya.
“Pas SMP,” Zian menghela nafas panjang dan kembali makan.
“Saat itu perasaan lo gimana? Kapan lo bisa move on dari semua itu,”
“Sampai sekarang pun gw belum bisa move on, sedih banget yang pasti, tapi mengingat perjuangan dia melawan kanker gw justru lega, seenggaknya dia sudah ga ngerasain sakit lagi saat kemo,” Shera tersenyum, dia mengusap kepala temannya dengan gemas.
“Hei... gw bukan anak kecil lagi!” Zian bersungut dan berusaha menghindar dari tangan Shera, “Do the best Sher, gw yakin lo bisa lewatin ini semua,” lanjut Zian. Shera terkekeh melihat teman kerjanya yang dahulu seperti anak kecil itu sudah bisa bersikap dewasa sekarang.
***
Awalnya semua terasa berat namun Shera bisa menjalaninya, dia selalu mencatat nama-nama pendonor daraha, tempat di donorkannya. Hal – hal yang berkaitan dengan penyakitnya maupun hal-hal yang menyenangkan. Semua terangkum dalam buku harian berwarna ungu kesukaannya.
Di tahun kedua ini, kondisi tubuhnya justru semakin melemah, terkadang Shera mengalami mimisan di sela-sela aktifitasnya. Sehingga dokter tak memperbolehkannya untuk kecapekan.
Sore ini mentari bersinar sangat hangat, Shera duduk di teras bersama Hadi, memandang Dio yang kini berusia 8 tahun bermain bola dengan teman-teman sebayanya di depan rumah.
“Kemarin Dio minta bukain password handphone kamu, mau buka you tube, tapi ada facebook kamu belum ke log out, kamu habis update status yang hanya kamu yang bisa lihat, maaf Sher.. aku bisa wujudin keinginan kamu, kalau kamu mau?”
Pikiran Shera mengawang, dia ingat sekali kemarin update status dengan kata-kata yang sebenarnya tak patut di ucapkan, wanita itu menulis, ‘Andai saja bisa seharian aja bersama D, jalan bareng senang-senang, mungkin ini adalah permintaan terakhirku Tuhan, aku tahu ini sangat egois, tapi aku masih tidak bisa melupakan cinta pertamaku yang tak pernah bersatu denganku...’
Shera menunduk, tak mungkin dia melakukan hal itu, cinta pertamanya sudah menikah, Shera tak pernah tahu dimana lelaki itu berada. Dia jatuh cinta ketika SMA untuk yang pertama kalinya. Mereka tergabung dalam organisasi OSIS. Namun Shera tak berani mendekatinya. Hanya sesekali mereka bicara itupun hanya mengenai acara sekolah.Bahkan Shera tak pernah sekelas dengannya.
“Tapi D itu siapa? Biar aku cari tahu,”
“Gak usah Di, aku gak mau kamu dan istrinya tersakiti, dia sudah menikah.”
“Mereka pasti ngerti koq,”
“D itu Denis, cinta pertama aku di SMA, cinta monyet sih. Dia juga ga bales perasaan aku,” Shera tersenyum, tak tahu lagi ekpresi apa yang harus di berikan ke suaminya itu. Rasanya tabu membicarakan orang lain dalam pernikahan.
Hadi mengerutkan kening, dia sudah bertekad untuk mengabulkan permintaan terakhir bagi Shera. Dokter sudah memvonis usianya tak akan lama lagi. Yang di khawatirkan telah tiba, Shera mengalami kerusakan hati, dan sel darah merahnya tak bisa berfungsi dengan sempurna.
Bahkan tubuhnya sudah mulai menolak transfusi darah. Shera semakin lemah dengan tensi yang semakin rendah.
Hadi benar-benar serius dengan omongannya, dia tahu bukan Dokter yang menentukan umur seseorang, melainkan Tuhan. Tapi sebagai manusia dia akan mengupayan sesuatu yang membahagiakan istrinya. Bunda dari anaknya.
Maka Hadi pun mencari Denis, memohon kepadanya untuk menunaikan keinginan terakhir Shera untuk bisa jalan bersama dia.
Awalnya Denis merasa terkejut dengan pernyataan Hadi, selama ini dia memang tak pernah berhubungan dengan Shera, bahkan mereka benar-benar tak pernah bertemu semenjak lulus SMA 10 tahun lalu.
Tapi Hadi berhasil meyakinkan Denis. Dan Denis pun setuju akan penawaran itu.
***
Disinilah mereka berdua berada, di daerah Cibodas, Bogor. Waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi ketika Denis memarkirkan mobilnya di dekat kawasan wisata Air terjun Cibeurum.
“Kamu yakin kita naik ke atas, kamu tahu keadaan aku kan Den? Orang normal aja bisa menempuh perjalanan sampai dua setengah jam, bagaimana dengan aku?” Shera menatap tulisan ‘selamat datang di taman nasional gunung gede pangrango’ di hadapannya.
Dahulu ketika mereka menjabat sebagai OSIS, mereka sering melakukan perjalanan kesini, baik acara LDK ataupun perkemahan biasa. Tapi kini? Shera dengan kesakitannya, dia memang sudah transfusi darah kemarin, tapi bukan berarti fit untuk naik gunung.
“Kamu bisa Sher, pasti bisa, nanti klo ga kuat, aku janji gendong kamu.”
“Tapi...”
“Percaya sama aku, satu hal yang harus kamu tahu, bahwa sebenarnya aku juga sayang sama kamu, sejak kita SMA tapi aku terlalu takut untuk mengatakan ke kamu,” potong Denis, dia mengusap pucuk kepala Shera dan menghampiri rangers atau penjaga kawasan di sana untuk meminta izin dan meminta bantuan jika dia membutuhkannya.
Sepanjang perjalanan Denis menggandeng tangan Shera dengan erat, tak banyak kata-kata yang terucap dari bibir mereka hanya sesekali mengagumi keindahan alam yang tersaji.
Udara terasa sejuk dan lembab, jalanan mendaki yang terdiri dari batu-batu kali tak menghalangi langkah mereka.
Perlahan tapi pasti mereka melewatinya, hampir beberapa puluh meter sekali, mereka berhenti. Sesaat Shera berhasil melupakan kesakitannya. Terbayang saat-saat indah kala SMA ketika mereka jalan bersama di sini, namun sayang mereka berdua terlalu naif untuk saling mendekatkan diri satu sama lain.
Shera bersandar di bahu jalan yang terbuat dari kayu, jalanan tak lagi terjal. Kini mereka melewati jembatan dari kayu. Sesekali mereka mengambil gambar. Shera menarik nafas panjang sekali. Dan diapun melanjutkan perjalanannya.
Kini mereka harus melewati jalanan batu lagi yang menanjak. Keringat mulai membasahi dahi Shera. Dia sudah terlalu capek.
Denis dengan cekatan berjongkok di depannya, meminta Shera menaiki bahunya, shera menggeleng. Tapi Pria itu segera menarik tangan Shera. Dan dia benar-benar menggendong Shera melewati tanjakan. Tak terlihat lelah, atau memang Denis menyembunyikan kelelahannya.
“Tubuh kamu ringan banget, aku kayak gendong kapas?” Denis terkekeh sementara Shera tersenyum. Shera tak kuasa menahan haru, bibirnya bergetar, rongga hatinya tercekat. Pria yang selama ini dirindukannya ada di pelukannya, menggendongnya.
Meskipun seandainya Denis berbohong saat ini bahwa dia sesungguhnya tidak mencintai Shera, tapi Shera tak perduli. Yang dia tahu dia ingin bersikap egois sehari saja. Melupakan sejenak beban hidupnya.
Merasa seolah hal ini terjadi sepuluh tahun lalu. Saat dia belum menikah dan mempunyai Dio, juga saat Denis belum menikah dan mempunyai putri yang kini berusia 3 tahun.
Jahat! Kata itu yang mengendap di pikiran Shera, bagaimana bisa dia menghianati perasaan wanita lain dan menikmatinya. Tapi... waktunya tak banyak jika bukan sekarang? Akankah dia bisa bahagia nantinya?
Sumsum tulang belakang yang di carinya tak di ketemukan, hampir seluruh keluarga mengetes tapi tak ada yang cocok dengannya.
Denis merasa ada yang mengikutinya, tapi dia tak perduli. Yang dia ingin adalah sampai ke puncak, menunjukkan air terjun indah ke Shera agar Shera bisa lebih semangat menjalani sisa hidupnya.
Suara gemericik air mulai terdengar, Shera meminta turun dari gendongan Denis, dia meyakinkan Denis bahwa dia kuat berjalan sendiri.
Ya, Shera tak mau terlihat  lemah. Dan apabila dia merasa sudah tak sanggup lagi, dia akan menunjukkan perasaannya itu.
Pemandangan sungguh menakjubkan, Air mengalir deras dihadapannya memercikkan tetesan-tetesan yang menyentuh wajah. Di sebelahnya ada air terjun lagi dengan ukuran lebih kecil, begitu pula di dekatnya.
Di sana ada tiga air terjun cantik yang mengalir dengan derasnya. Shera sangat menikmati pemandangan itu, bahkan dia duduk di dekat air terjun, kakinya di masukan ke dalam aliran air yang menentramkannya.
Cuaca dingin sepertinya justru membuat kekebalan tubuhnya lebih baik. Dia tak merasakan sakit di sendi-sendinya.
Denis menghampiri ranger yang berjaga di sekitar air terjun, benar dugaannya yang tadi mengikuti adalah ranger, karena Denis berterus terang mengenai penyakit Shera, para rangers itu merasa perlu untuk mengawal mereka berdua.
Bahkan mereka salut kepada Denis yang sanggup naik ke atas meskipun sambil menggendong seorang wanita.
***
Denis dan Shera, hanya sebatas pertemuan sehari, menjalin kasih selama sehari. Setelah itu mereka tak lagi saling menghubungi. Meskipun begitu Shera tetap merasa bahagia setidaknya dia punya satu kenangan yang mungkin akan dibawa nanti. Kenangan dengan cinta pertamanya.
Kondisi tubuh Shera semakin drop, dia sering memuntahkan obat yang diminumnya, hingga pada akhirnya dia memutuskan resign dari kantor. Karena sudah merasa tak sanggup bekerja lagi.
Di surat perpisahan yang dikirim melalui email ke seluruh karyawan dia menuliskan ucapan terimakasih kepada rekan-rekan yang sudah mendonorkan darah kepadanya. Shera menuliskan nama-nama tersebut.
Juga berisi ucapan terimakasih kepada atasannya yang sudah sangat baik yang selama dua tahun dia sakit selalu mensupportnya.
Perpisahan itu menjadi moment yang mengharukan. Mereka makan-makan di sebuah rumah makan tak jauh dari kantor bernostalgia pada awal-awal Shera masuk kerja yang itu berarti sudah 5 tahun lebih.
Dan Shera pulang dengan hati yang lega, hingga hari itu tiba.
Tubuh Shera ambruk, matanya gelap ketika tersadar dia sudah tak berada di rumah, melainkan di rumah sakit. Selang infus mengalirkan cairan ke tubuhnya. Yang membuat Shera sedih, Dio anaknya tidak bisa masuk ke dalam rawat inap. Di rumah sakit ini usia dibawah 12 tahun tak di perkenankan masuk.
Shera sudah kritis, dengan suara terbata dia memohon kepada dokter jaga untuk membiarkan anaknya menginap malam ini saja, Shera ingin tidur memeluk anaknya.
Hati dokter luluh, Dio di perbolehkan masuk ke dalam kamar meskipun secara sembunyi-sembunyi dan itupun setelah pukul 10 malam.
Dio yang sudah beranjak besar datang dengan mata yang sembab. Dia sangat menyayangi bundanya.
Sesampainya di ranjang sang bunda, Dio segera naik dan tiduran di samping Shera, Shera memeluk dan menciuminya dengan sisa tenaga yang ada.
Dio berusaha keras untuk tak menangis, dia tahu waktu bundanya sudah tak lama lagi. Maka dia berusaha tegar menghadapi ini semua.
“Dio... sayang, kamu tahu bunda sayang sama Dio?” Dio mengangguk,
“Dio jadi anak yang penurut ya, rajin belajar dan sekolah, supaya bisa mengejar cita-cita Dio. Jangan lupa untuk jadi anak yang bahagia ya sayang,”
“Iya Bun, Dio juga sayang sama bunda. Bunda ga usah khawatir, Dio sudah besar,  Dio akan jaga ayah, jadi anak yang baik, cucu yang baik untuk nenek, kakek, eyang.” Shera tersenyum, bibir pucatnya terlihat sedikit berwarna kemerahan.
Sebelum tidur dia mengecup pipi Dio dengan lembut, Dio pun membalas kecupan bundanya. Dia memeluk bunda erat. Menikmati aroma harum tubuhnya yang tersisa.
Pukul 3 pagi, Shera menghembuskan nafas terakhir. Pelukannya terasa berat. Dio menyadari hal itu, berawal dari nafas yang seperti mengorok, Dio segera memanggil ayahnya yang ada di depan.
Dokter langsung mengambil tindakan, berkali-kali mencoba menyadarkan Shera, tapi Tuhan lebih menyayangina, dia telah pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan dunia ini. Meninggalkan Dio dan suaminya.
Dio tak kuasa lagi menahan tangis, dia menjerit histeris, Ayah berusaha menenangkannya namun Dio mengelak, dia menciumi pipi Bundanya sambil berteriak “Bunda,, bunda jangan pergi Dio butuh bunda, bunda.......!!”
Lelaki kecil itu terduduk di lantai. Ayah memeluknya. Tak lama sanak saudara datang untuk mengurus jenazahnya. Shera di kebumikan hari itu juga.
Banyak sekali pelayat yang mendatangi rumahnya. Karangan bunga juga berjajar di halaman. Shera terkenal dengan sifat yang baik dia juga rajin dan suka menolong.
Dari karyawan sampai klien segan terhadapnya. Padahal jika saja dia tak menderita sakit parah, seharusnya dia sudah diangkat menjadi kepala bagian.
Hanya saja Tuhan berkata lain. Shera menghembuskan nafas terakhir di usia 29 tahun.
Dio berusaha tegar, berkali-kali Ayahnya menjelaskan bahwa Bunda sekarang sudah bahagia, tak mengalami kesakitan lagi, tak perlu ketakutan akan jarum besar yang mengalirkan darah terhadapnya.
Setiap ulang tahun Shera di tanggal 31 Mei, selalu ada buket bunga di makamnya. Dio tak pernah tahu siapa yang memberikan bunga itu apakah ayahnya? Atau orang lain. Tapi menatap bunga – bunga itu membuat Dio bahagia setidaknya masih ada yang mencintai bundanya di dunia ini selain dirinya.
***
20 tahun kemudian...
Pagi ini Dio mengunjungi makam bunda tercintanya, sengaja dia datang pagi-pagi sekali karena harus pergi keluar kota.
Dio tumbuh menjadi lelaki yang tampan, tubuhnya tinggi menjulang dengan kulit yang putih. Usianya kini sudah 28 tahun, di usianya yang terbilang muda, Dio sudah menjabat menjadi kepala bagian di perusahaannya. Tahun ini dia ingin melamar kekasihnya. Seorang wanita bernama Alya yang usianya terpaut 5 tahun di bawahnya.
Buket bunga mawar putih ada di tangan Dio, sangat kontras dengan jasnya yang berwarna hitam, awan mendung menggelayut di langit-langit pemakaman itu. Dio berjalan sembari menghirup aroma wangi dari bunganya.
Langkah kakinya terhenti, ada seorang pria paruh baya duduk di dekat makam bunda. Pria itu mengenakan kemeja berwarna hitam senada dengan celananya. Wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam, Dio merasa tak asing dengan wajah itu, yang jelas dia bukan Ayah.
Dan dia adalah orang yang sama yang setiap ulang tahun bunda membawakan bunga di makamnya, kali ini pria itu membawa bunga Lili. Semakin dekat, hati Dio semakin bergetar, dia baru menyaksikan ada cinta sejati seperti ini. Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar bagi seorang pria yang tidak tahu mempunyai hubungan apa dengan bundanya untuk terus mengiriminya bunga.
Lelaki itu menyadari seseorang menghampirinya, dia berdiri dan menatap lekat ke Dio.
“Saya Denis,” ucap Lelaki itu mengulurkan tangannya ke Dio,
“Saya Dio, sepertinya saya terlalu pagi, sehingga bertemu anda disini,” Dio menjabat tangan Denis dan tersenyum. Dia teringat akan diari bundanya yang diberikan ayah tiga tahun lalu. Bunda menuliskan tentang Denis cinta pertamanya.
“Apakah Bapak orang yang sama yang ngajak bunda ke Air terjun ketika Bunda sakit?” Denis mengangguk. Sementara Dio menunduk. Di buku itu tertulis bahwa mereka hanya bertemu sekali saat itu, lalu mengapa pria ini amat sangat setia?
Ayahnya saja hanya mampu setia selama 2 tahun dan langsung menikahi seorang wanita, teman kerjanya yang kini menjadi ibu tiri Dio. Tapi Denis? Bahkan mereka hanya satu hari menghabiskan waktu bersama tapi Denis selalu mengunjungi makam wanita yang dicintainya.
“Hubungan kami tidak sesederhana itu, saya menyayanginya sepenuh hati saya sampai saat ini, perasaan itu tetap sama.” Denis seolah bisa membaca pikiran Dio. Dia menepuk pundak Dio dan meninggalkannya.
“Terimakasih, saat itu adalah saat paling bahagia buat bunda,”
“Ya sama-sama, saat itu juga adalah kenangan paling membahagiakan untuk saya,” ucap Denis tak menoleh sedikitpun.
***
“Aku serius mau ngelamar kamu Al, kenapa sampai sekarang kamu merahasiakan hubungan kita dari papah kamu?” Dio terlihat frustasi, mereka sudah berpacaran selama dua tahun, namun Alya tak pernah membolehkannya bertemu dengan Papahnya. Selalu saja ada alasan bagi Alya untuk tak mempertemukan mereka berdua.
“Aku ga mau papah sedih Mas, mamah ninggalin papah ketika usiaku 3 tahun, menikah dengan lelaki lain. Sejak saat itu papah hanya hidup berdua dengan aku. Berkali-kali aku minta papah nikah lagi, tapi dia tidak mau, papah sangat mencintai mantan kekasihnya tapi tak bisa bersatu dengannya, kalau kita nikah papah sama siapa?”
“Al, kamu udah dewasa, papah kamu pasti ngerti, please Al, kalau kamu sayang sama aku biarin aku minang kamu,” Alya menghela nafas panjang. Dia menimang segalanya dan memutuskan untuk mengajak Dio keruma, bertemu papah.
Dia memang menyayangi Dio, tapi bagaimana dengan papahnya. Selama ini papah membesarkan dia sendiri. Menyiapkan segala keperluan sekolah, Alya terbiasa selalu terbuka dengan papah. Kecuali masalah cinta. Alya tak mau papah sedih ketika anaknya menikah dan meninggalkannya nanti.
Malam ini, sepulang kerja Alya mengajak Dio kerumah. Sebuah rumah minimalis di sebuah perkomplekan. Suasananya tenang dan terlihat damai. Tak sedamai detak jantung Dio yang sedari tadi menimbulkan bunyi gemuruh layaknya gendang di tabuh.
Dia sungguh deg-degan menemui calon mertuanya itu. Pintu dibuka Alya, di ruang tamu Papah sudah menunggu. Dio melihat punggung calon mertuanya itu dengan gemetar. Ah dia tak pernah setakut ini sebelumnya. Apa yang perlu ditakutinya? Toh dia tak melakukan kesalahan apapun. kecuali mengambil anaknya untuk menjadi istrinya kelak.
“Pa, ini Dio,” Alya memperkenalkan calon suaminya, papa berdiri dan menghadap Dio, pandangan mereka bertemu. Dio tercekat begitupula Papa. Papa adalah orang yang sama dengan Pria yang ditemuinya di makam bunda beberapa waktu lalu. Sama seperti Dio, papa juga sepertinya terkejut. Dio tersenyum miring, dia mengusap air di matanya. Tak menyangka calon mertuanya adalah orang yang sangat mencintai bunda.
Tangan papa bergetar dia memegang kedua bahu Dio dan memeluknya. Mereka berpelukan dalam haru menyisakan tanda tanya besar di hati Alya.
“Dio ini, anak mantan kekasih Papa yang sudah meninggal 20 tahun lalu Al,” Alya mengerti, dia menggenggam tangan Dio yang terlihat gemetar haru.
“Papa, setuju kalau aku sama Dio?” Alya menunduk tak ingin ada yang tersakiti dengan hubungan ini.
“Tentu sayang, kamu tahu hari itu ketika perjalanan pulang, Shera papa gendong menuruni air terjun karena tubuhnya yang lemah, dia bilang dia ingin menjodohkan kalian berdua, tapi papa ingin kalian menentukan pasangan hidup kalian sendiri, meskipun papa akan dengan senang hati jika kalian menikah, ternyata ... tangan Shera sudah lebih dulu bekerja,” suara papa bergetar, Alya memeluk Papa, memeluk lelaki yang sangat di kaguminya. Sementara tangan sebelahnya masih menggandeng Dio.
***
Hari pernikahan tiba, Alya cantik sekali mengenakan kebaya putih, di sampingnya ada Dio yang mengenakan baju berwarna putih juga. Mereka sedang siap-siap untuk melangsungkan ijab kabul.
Denis memejamkan matanya, membayangkan Shera hadir disitu menyaksikan kebahagiaan anaknya. Ketika matanya terbuka. Sesosok wanita duduk di sampingnya mengenakan kebaya putih dengan rambut disanggul, masih Shera yang sama seperti dua puluh tahun lalu.
Sosok itu tersenyum sembari menggenggam tangan Denis, lama mereka bertatapan.
“Tunggu aku Sheravina, aku akan segera datang,” ucap Denis parau, hatinya mengharu biru. Amanat terakhirnya untuk menikahkan Alya dengan Dio sudah terlaksana. Kini dia lebih tenang menjalani hidup dan menghitung waktu demi waktu yang tersisa hingga akhirnya dapat menemui kekasih yang amat dicintainya. Sheravina.
** Tamat**

No comments:

Post a Comment