Pages

Tuesday, December 27, 2016

CERPEN : HADIAH TERINDAH

Mengapa mereka harus sejahat ini ke aku? Apa salahku, terlalu malukah mereka mempunyai menantu dari keluarga tak berada sepertiku? Namaku Melati, Sejak kecil aku hanya hidup berdua dengan ayah yang seorang tukang kuli pacul serabutan.
Hari ini pesta pernikahan adik sepupu suamiku, mereka semua memakai pakaian indah. Seragam yang sama berwarna keemasan. Sementara aku dan putraku yang berusia tiga tahun tahun hanya bisa gigit jari melihat pemandangan itu.
Kami berada di gedung mewah, makanan ada di sepanjang sudut ruangan. Makanan yang tak pernah kucicipi sebelumnya.
Selama menikah dengan dia, Aryo, tak pernah sekalipun pria yang menjadi suamiku itu membawa kami ke pesta pernikahan. Dia putra konglomerat, para model yang merupakan mantan-mantan pacarnya, yang terkadang sering diajak ke pesta semacam itu.
Hari ini pun dia tak berniat mengajakku, hanya saja anak kami Rey merengek meminta ikut karena semua keluarga hadir.
“Heh koq malah bengong, jagain tuh anak kamu jangan bikin malu!” sebuah suara memecah lamunanku, dari ibu mertua yang selama ini rumahnya aku tinggali. Aryo tak pernah ingin berpisah dari ibu dan ayahnya. Dirumah itu aku tak ubah seorang budak. Disuruh ini dan itu, tak pernah diberi uang. Ingin ku pulang ke rumah orangtuaku, ah andai saja ayah masih ada. Ayah meninggal tepat seminggu setelah operasi tumor di tubuhnya. Sementara ibu sudah jauh lebih dahulu meninggal semenjak aku kecil.
Sanggul tinggi bumer mencuat dengan sombongnya. Kuperhatikan Aryo berbincang dengan kerabat yang lain, sementara aku harus memegangi tangan Rey yang ingin berlarian kesana-kemari. Beberapa pasang mata menatap aku dengan tatapan aneh. Wajar kurasa.
Aku seorang wanita berusia 25 tahun, memakai kebaya jadul berwarna ungu, itupun punya ibu mertua yang mungkin sudah puluhan tahun tak dipakainya, sandal yang ku kenakan pun agak kebesaran, sama punya bumer juga, karena aku memang tak mempunyai busana untuk ke pesta seperti ini. Meskipun punya suami orang kaya, tapi tak pernah sekalipun membelikan aku baju atau alat make up.
Pergaulanku hanya dengan bibik, pembantu dirumah mewah milik bumer. Semenjak masuk gedung mereka sudah meninggalkanku dengan kata-kata yang cukup kasar, aku tak boleh menghampiri mereka apapun alasannya, seolah pura-pura tak kenal!
Aku hanya tersenyum, sudah biasa diperlakukan seperti ini.
***
Hari demi hari kulalui layaknya dalam sangkar, ini salah itupun salah. Aku selalu jadi sasaran emosi suami yang suka mabuk-mabukan, atau bumer yang kalah dalam pengocokan arisan. Terkadang bapak mertuaku yang sibuk itupun suka melemparkan cacian dan hinaan jika kopi yang kusediakan tak sesuai dengan keinginannya.
“Harusnya kamu gak nikahin dia Yo?” suatu hari kudengar mereka bertiga bercakap-cakap di meja makan, aku yang ada di dapur menyantap makanan langsung menghentikan pekerjaanku dan ikut menguping.
“Kalau Aryo gak nikah dengan dia, siapa yang bisa transplantasi hati untuk mamah pah, kan hanya anggota keluarga yang boleh melakukan transplantasi, masih mending kita Cuma bayar rumah sakit bapaknya aja 15 juta, dan untungnya dia bodoh gak pernah nuntut apa-apa sama Aryo,” suamiku terkekeh, wajahnya memang tampan tapi tak pernah sekalipun dia memperlakukanku sebagai seorang wanita, untuk melayani nafsunya saja dia sudah seperti binatang buas.
“Kasian anak mamah, menderita begini, maafin mamah ya nak.” Bumer mengusap kepala Aryo dengan lembut. Tak kusadari air mata menetes dari kedua pelupuk mataku.
Terbayang kejadian 4 tahun silam, dimana Ayah harus menjalani operasi karena tumor yang sudah ganas, kami tak punya uang saat itu. Dan tak sengaja bertemu Aryo di rumah sakit yang sama. Yang kulihat dia adalah pria yang baik. Dia sangat perhatian kepadaku hingga akhirnya dia menawarkan membiaya operasi ayah, asalkan aku mau melakukan pencangkokan hati.
Akupun melakukan serangkaian tes, ternyata hasilnya cocok. Hari itu juga Ayah dioperasi keesokan harinya aku dan Aryo menikah di RS. Dan tak lama kulakukan pencangkokan hati itu. Hingga kemudian kudengar kabar kalau Ayah sudah menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit yang sama. Sehari setelah operasi aku sudah bisa berlarian, mencari jenazah Ayah. Aryo membantu mengurus semuanya hingga pemakaman selesai.
Derita dimulai seminggu setelahnya, pihak rumah sakit melakukan survey apakah benar kami menikah tanpa paksaan dan tanpa suap? Sehingga Aryo membawaku ke rumahnya, meninggalkan rumah gubuk yang hampir roboh peninggalan dari ayah.
“Neng, gak baik nangis di depan nasi atuh,” kurasakan Bibi mengusap air mataku, kupeluk erat tubuh yang sudah setengah renta itu.
“Kenapa neng? Cerita sama bibi.” Aku hanya menggeleng, bibi memegang tanganku erat.
“Neng sebenernya cantik, hanya aja neng gak pernah kenal alat make up, gak pake baju bagus. Kalau neng pakai itu semua, bibi yakin neng pasti bisa ngalahin kecantikan temen-temennya aden.” Aku tersenyum, bibi memang paling bisa menghibur dengan caranya.
“Serius bi?” si bibi hanya mengangguk. Kuusap air mata yang mengalir di sela pipi.
“Malam ini tidur dikamar!” sebuah suara berat mengagetkanku dan bibi yang sedang duduk di lantai. Ucapan itu keluar dari mulut Aryo, biasanya kalau dia bilang seperti itu, artinya dia mau melampiaskan nafsu bejatnya. Karena hampir setiap malam aku tidur di kamar Rey anakku. Kutarik nafas panjang. Bibi mengangguk, segera kurapihkan piring kotor, mencucinya dan melakukan tugasku sebagai istri.
***
Hari ini tak seperti biasanya, pukul 6 pagi kegaduhan sudah mengusik kediaman mertuaku.
Banyak sekali aparat kepolisian dan orang-orang berdasi. Yang aku tahu mereka dari KPK, polisi menyita seluruh harta benda yang ada dirumah, kami hanya boleh pergi membawa 1 koper pakaian dari masing-masing anggota keluarga.
Sementara ayah mertuaku dibawa ke sel tahanan. Ibu mertua terlihat panik, dia menelepon seluruh anggota keluarga tapi tak ada yang bersedia menampungnya. Ya sudah biasa kan jikalau susah, orang yang biasanya dekat pun seolah pura-pura tak kenal.
Tak hanya itu, suamiku ditelepon dari kantor tempatnya bekerja yang memecatnya secara sepihak karena ada indikasi korupsi juga, Aryo disuruh memilih berhenti tanpa pesangon atau mau dilaporkan ke kepolisian. Baru pertama kali kulihat Aryo pucat, dia memilih berhenti kerja.
Gerbang sudah disegel, bibi dipaksa pulang ke rumah anaknya oleh ibu mertuaku karena tak akan mampu menggajinya lagi. Kini kami hanya berempat di depan gerbang rumah yang bertuliskan “DISITA”
“Kalau mau, ibu dan mas Aryo bisa tinggal dirumah aku, ya rumahnya memang seperti gubuk tapi lumayan daripada dijalanan.” Ucapku menawarkan bantuan. Bumer dan Aryo berpandangan sejenak dan setuju dengan usulanku. Kami pun pergi kerumah ayah dengan mengenakan bajay karena tak ada uang lagi.
Mereka mungkin tak tahu bahwa aku telah menyelipkan celengan Rey di dalam koper. Sengaja tak kuberi tahu, kuyakin isinya lumayan karena setiap hari sisa uang jajan rey dan sisa belanja sayuran selalu aku sisihkan di celengan itu, dan sudah selama tiga tahun aku melakukan itu.
Rasanya rindu dengan rumah ini, empat tahun tak pulang kesini, masih rumah yang sama, hanya saja lebih banyak debunya, atap masih menggunakan asbes tak apa asal tidak bocor. Pintu sudah mulai lapuk dan tembok yang berlumut. Di rumah ini hanya ada 2 kamar, ibu kutempatkan di kamar bekas ayah, sementara Aryo mau tak mau sekamar dengan aku dan Rey di kamarku, tempat aku sedari kecil menumpahkan keluh kesah dan kebahagiaan.
Mereka tak membantu sama sekali membereskan rumah, tapi tak apa, aku ikhlas.
Hari kedua berlalu dengan menghabiskan sisa pulsa, bumer terus menghubungi keluarganya, tapi hasilnya nihil, seluruh keluarganya malah mereject telepon itu.
Aryo menelepon teman-temannya, yang hampir tak ada yang mengangkat ataupun beralasan ini itu. Aku hanya mampu menyiapkan telor ceplok dan nasi. Yang sukses membuat bumer hampir muntah, namun karena didorong rasa lapar yang teramat sangat, diapun menyuap nasi itu sampai tandas.
Hari ketiga, semua pulsa sudah habis, kartu kredit dan atm suami diblokir begitupun ibu mertua, tak ada uang tersisa. Aryo mencoba melamar pekerjaan seharian ini, tapi tak ada yang menerimanya, karena dia tak punya skill, ya aku tahu dia bekerja kemarin karena ayahnya, kini ayahnya mendekam di penjara hilanglah sudah kepercayaan dari orang-orang sekitarnya.
Hari keempat badan Aryo panas sekali, kubawa dia ke puskesmas terdekat menaiki becak. Sebelumnya dia sangat anti naik becak apalagi berobat di tempat gratis seperti itu, tapi karena sudah tak kuat dengan sakit kepalanya diapun menuruti permohonanku.
Hari kelima, Bumer pun melemah, sudah jarang kudengar dia teriak-teriak seperti sebelumnya. Lebih sering kudengar dia menangis di sepertiga malam, memohon ampunan akan dosa-dosanya. Syukurlah hidayah telah datang kepadanya. Bahkan bumer ikut membantuku memasak nasi di dapur.
Hari keenam Aryo sudah mulai sembuh, tadinya dia ingin mencari pekerjaan lagi, tapi kularang karena tubuhnya yang masih lemah. Stres membuatnya sakit. Sementara Rey malah bisa menikmati tinggal di perkampungan seperti ini, dia senang bermain dengan teman-teman sebayanya.
Keesokan harinya kulihat Aryo mulai berbaur dengan para pemuda daerahku menanyakan kira-kira ada pekerjaan kah untuknya demi menghasilkan uang. Beberapa pemuda menyarankan Aryo untuk menjadi kuli panggul saja dipasar untuk sementara. Kulihat Aryo menyetujuinya.
Hari demi hari dia lalui menjadi kuli pasar, tubuhnya mulai terlihat hitam legam, kadang ada memar di punggungnya, karena tak hanya mengangkut beras, seringpula dia mengangkut peti-peti dan sebagainya.
Entah kenapa malam ini hatiku hangat sekali, kulihat Aryo tertidur pulas memeluk Rey, hal yang tak pernah kulihat ketika kami tinggal dirumah mewah itu. Tak terasa air mataku menetes sedih. Rey mendapatkan kasih sayang justru setelah kami jatuh miskin. Disana semua kebutuhannya terpenuhi namun tak pernah sekalipun digendong atau disayang oleh ayahnya atau neneknya. Tapi disini semua berbeda, sering kulihat bumer menuntun Rey untuk sekedar jalan sore, bahkan dia mau dengan senang hati menyuapi Rey.
“Kamu nangis kenapa?” tiba-tiba Aryo memegang jemari tanganku, kaget kurasa. Karena dia tak pernah melakukan ini sebelumnya.
“Maaf ya selama ini aku udah nyia-nyiain kamu, padahal kamu orang yang paling setia sama aku dan keluargaku,” aku hanya mengangguk, air mata justru jatuh lebih deras, Aryo pun duduk di sampingku dan memelukku. Pelukannya lembut sekali, tak pernah kurasakan sentuhan selembut ini darinya.
“Setelah sebulan hidup seperti ini, aku jsutru baru menyadari kalau aku sudah jatuh cinta sama kamu Mel,” Aryo melepaskan pelukannya dan mengecup keningku dengan lembut yang kemudian turun ke pipi dan bibirku. Kami menangis berdua, tak ada kata-kata keluar dari mulutku. Tapi hatiku mengucapkan syukur yang teramat sangat.
***
Dulu sebelum menikah dengan Aryo, aku pernah bekerja di restoran yang menyajikan mie ayam. Aku tahu cara pembuatannya. Kuambil sedikit uang dari Aryo yang diberikan ke aku untuk belanja, kucoba membuat mie ayam sederhana dengan bahan seadanya.
Malam itu aku mendapat pujian dari aryo dan bumer, rasanya pas sekali. Dan munculah ide di otakku untuk berjualan mie ayam itu. Hanya saja kami terbentrok modal. Aku masih menyembunyikan celengan rahasiaku.
“Sabar sebulan lagi ya Mel, aku akan lebih giat cari uang, nanti uangnya kita untuk modal, beli gerobak dan perlengkapan lainnya, nanti aku bantuin kamu jualan yah,” Aryo mengusap kepalaku
“Iya Mel, Rey nanti biar ibu yang  jagain.” Bumer pun ikut mendukung. Untuk pertama kalinya aku merasa makan malam begitu syahdu seperti ini.
Ketika Aryo berangkat kuli kepasar, dan Ibu pergi dengan Rey kubuka celengan itu dan menghitungnya, akupun terkejut dengan jumlahnya yang mencapai 5 juta lebih. Tak sabar ingin kukatakan ke Aryo. Tapi entah kenapa nurani menolak, teringat perlakuan kasar mereka, bagaimana jika mereka tahu aku punya uang dan mengambilnya untuk bersenang-senang?
Bagaimana jika nanti setelah kita punya uang banyak mereka akan memperlakukan aku dengan semena-mena kembali? Uang bisa merubah manusia kan?
Meskipun bumer sudah minta maaf atas perlakuan kasarnya, tapi tetap saja terkadang hati ini masih sakit mengingatnya. Kuselipkan uang itu di lemari baju yang paling dalam. Kuhitung uang hasil kerja keras Aryo yang kuselipkan sedikit demi sedikit, jumlahnya lumayan ada beberapa ratus ribu.
Aryo pulang dengan lemah, kulihat tangannya memar, kubasuh dengan air hangat.
“Besok gak usah kerja dulu mas, istirahat dulu, lihat badan kamu memar semua,” Aryo hanya tersenyum memandang wajahku yang serius membersihkan luka ditubuhnya.
“Terus kita makan apa nanti? Aku gak mau keluarga aku kelaparan.”
“Yo, mamah ada tawaran kerja di laundri depan gang, mulai besok mama kerja disitu, ya itung-itung belajar juga, jadi kamu gak usah khawatir lagi yo, kamu istirahat aja ya, tadi juga mama udah coba bantu-bantu nyetrika, nih mama udah dapat uang.” Kulihat bumer merogoh kantungnya dan mengeluarkan uang dua ribuan yang ditotal ada duapuluh ribu rupiah, lembaran yang lecek sekali, yang kuyakin kalau dia dihadapkan pada uang itu dahulu, dia akan langsung melemparnya karena jijik.
“Mah, mamah gak perlu lakuin itu, ini kewajiban Aryo mah sebagai anak laki-laki.”
“Mamah Cuma mau ringanin beban kamu dan melati aja koq Yo, mama gak mau nambah beban kalian berdua,”
“Bu,” ucapku parau
“Jangan panggil ibu terus mel, panggil mamah sekali-sekali.” Potong bumerku, air mataku menetes lagi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku lebih cengeng dari biasanya.
“Mamah gak pernah jadi beban untuk kami mah,” bumer hanya tersenyum, dulu aku tak pernah menyangka dia punya senyum selembut ini. Karena wajah yang ditunjukkan ke aku selalu wajah penuh amarah.
Kuambil uang yang kuselipkan tadi, ku serahkan ke Aryo. Dia terkejut. Setelah kujelaskan baru dia memahaminya. Tak ada ekpresi marah dari mereka. Malah Aryo menyuruhku untuk menyimpan kembali uang itu. Begitupula bumer.
Tapi aku menggeleng, aku ingin melanjutkan cita-cita mempunyai kedai mie ayam sendiri. Setelah diskusi panjang lebar kamipun memutuskan untuk membuka mie ayam. Bumer dan aku membuat mie ayam dan belanja keperluan lainnya, sementara Aryo menemui penjual gerobak di pasar. Yang second tak apa asal bisa digunakan. Aryo pun mengundurkan diri jadi kuli panggul.
Dua hari kemudian, baru kami bisa berjualan. Mengikuti prosedur di pasar. Kami berjualan harus membayar biaya keamanan dan sebagainya agar kami dikasih lapak disitu. Beruntung kepala pemegang lapak itu kenalan ayah, jadi kami ditempatkan di depan.
Kusadari Aryo mempunyai otak yang kreatif dan jenius. Dia membuat selebaran promo, sehingga banyak sekali yang makan di lapak kami. setiap hari kami mendorong gerobak dari rumah kepasar dan kembali kerumah, dan selama itu pula dagangan kami selalu laku terjual.
Prinsip kami itu ‘untung sedikit yang penting lancar’ terkadang bumer datang membawakan kami makan siang bersama Rey. Bumer tentu tak jadi kerja di laundry. Setiap malam dia membantuku membuat mie ayam, kami memang tak ingin beli yang sudah jadi, karena rasanya akan beda. Ayam pun dipilih yang kualitas terbaik dengan bumbu yang bagus, begitupula sayuran.
Aryo sudah pandai meracik mie ayam sendiri, dia benar-benar tak mengizinkanku kerja berat, dia pula yang selalu mencuci piring bekas pelanggan.
Aku fikir dia akan malu dengan profesinya, tapi ternyata tidak, dia malah broadcast message mempromokan mie ayam buatannya, kami kerjasama dengan operator ojek online yang sedang booming pula.
Perekonomian semakin membaik sedari situ, kami sudah mampu menggaji karyawan dan menyewa sebuah kios untuk pelanggan agar nyaman jika makan disitu.
Aku percaya dan yakin kalau Aryo tak akan berubah seperti dulu lagi, nyatanya sampai kini dia masih setia menemaniku meskipun kami sudah mulai sukses. Dia tak pernah lupa akan aku dan anakku, bumer juga sangat menyayangiku. Kini aku merasa hidupku sungguh sempurna. Empat tahun menderita dibalas kebahagiaan yang tak terhingga.
Mungkin itulah hadiah dari kesabaran yang Tuhan kasih ke aku.
---Tamat---

Saturday, December 24, 2016

CERPEN : TETES EMBUN - PART 3 (END)

Zian membopong Mili sampai masuk mobil dan turun di RSIA terdekat dari kantor, dia tak perduli kemeja putihnya berlumuran darah. Berkali-kali dia memanggil Mili berusaha menyadarkannya namun nihil. Wanita itu tak jua mau membuka matanya.

Sampai dirumah sakit, Mili segera dilarikan ke ruang operasi. Seorang perawat meminta Zian menandatangani persetujuan untuk operasi. Tidak ada pilihan saat itu karena pendarahan Mili yang sangat hebat tak bisa dihentikan, detak jantung bayinya pun melemah dibawah 120 frekuensi/ menit. Kondisi gawat darurat.

Setelah Mili dipastikan menjalani operasi, orangtua Mili datang bersama Olive anaknya. Ya rekan kerja Mili menelepon mereka tadi ketika perjalanan ke rumah sakit.

Zian segera menyalami orangtua Mili, dia tentu mengenal mereka karena dahulu sering main kerumahnya.

“Bu, Pa, saya mohon maaf. Saya terpaksa tanda tangan tadi atau nyawa keduanya terancam,” Zian menunduk. Sementara bapak menepuk bahunya sembari mengangguk.

“Awalnya gimana? Koq bisa pendarahan gitu nak? Terus kamu bagaimana bisa ada disana?” Ibu mencecar Zian dengan berbagai pertanyaan karena dia tahu kalau Zian tidak bekerja di perusahaan Mili.

“Saya sedang menangani proyek di kantor Mili bu, tadi Mili telepon ketika di toilet dia bilang keluar darah, ketika saya sampai toilet dia pingsan.” Ibu mendesah, diperhatikannya kemeja Zian yang penuh noda darah.

“Kamu mau pulang ganti baju dulu nak?” Zian menggeleng dia ingin melihat kondisi Mili terlebih dahulu.

***

Bayi mungil berjenis kelamin perempuan lahir dari rahim Mili. Beberapa  jam kemudian Mili sadar, dia sangat berterimakasih dengan Zian yang telah cepat membawanya kerumah sakit. Zian baru bisa bernafas lega setelah itu. Diapun langsung pulang karena hari sudah semakin sore.

Hari demi hari hubungan Mili dan Zian semakin dekat, hingga Mili menyadari satu hal.

Bahwa tak seharusnya dia seperti ini. Zian sudah menikah mereka tak bisa bersama meski hanya sebagai seorang sahabat.

Lagipula persahabatan apa yang terjalin antara mantan kekasih? Ditambah Zian telah mempunyai kehidupan yang lain. Sebagai wanita Mili sadar sepenuhnya dia tak boleh berlaku seperti ini. Sama saja dia dengan perusak rumah tangga orang lain.

Dan di bulan ke empat kelahiran bayi mungil yang diberi nama Tania, Mili memutuskan untuk menjaga jarak dengan Zian. Dia hanya membalas pesan singkat Zian dengan kata-kata yang dingin. Bahkan seringkali mengacuhkan panggilan Zian. Toh Proyek Zian telah selesai dan dia sudah kembali ke perusahaannya kembali.

Meskipun Mili sedikit berat karena selama ini Zian sangat perhatian ke kedua buah hatinya itu.

Sebulan sudah Mili mengacuhkan Zian, dia memang merasa bahwa dihatinya ada rasa yang berbeda terhadap pria itu, tapi kenyataan bahwa Zian telah menikah membuatnya sadar bahwa dia tak seharusnya menyimpan perasaan itu dalam-dalam.

Hingga akhirnya pada suatu sore Zian berdiri tepat dihadapannya, di depan kantornya.

“Mil,” Zian menarik tangan Mili. Mili memang menghindarinya dia berusaha melepaskan pegangan itu dan berjalan kembali.

“Aku salah apa sama kamu?”
“Gak ada yang salah Zi, kita gak seharusnya dekat seperti ini.”
“Kenapa?”
“Sadar gak Zi, apa yang kita lakuin sama aja selingkuh tau gak? Selingkuh dibelakang istri kamu, aku gak mau jadi perusak rumah tangga orang Zi. Aku perempuan aku bisa ngerasaain perasaan istri kamu kalau seandainya dia tahu apa yang terjadi antara kita!!”

“Aku ngerti...”
“Kalau ngerti jauhin aku mulai sekarang!” potong Mili. Diapun bergegas ke parkiran untuk mengambil motornya. Zian hanya mematung memandang punggung Mili yang semakin menjauh. Berat rasanya melepas seseorang yang pernah dicintainya, tapi dia sadar bahwa dia tak bisa memaksa Mili untuk menunggunya.

Maka yang bisa dia lakukan hanyalah merelakannya.

Malam ini Zian memilih tidur di kamar yang terpisah dari istrinya. Dia perlu waktu untuk menghapus segala kenangan tentang Mili untuk kedua kalinya.

***

“Mil, besok bisa ketemu di rumah makan Freenchise. Ada sesuatu yang harus aku bicarain. Habis itu aku janji gak akan hubungin kamu,” sebuah Bbm dari kontak Zian masuk ke hp Mili. Seperti biasa Mili hanya membacanya saja, enggan sekali membalas bbm itu dibacanya satu persatu bbm dari Zian yang tak pernah dibalasnya. Dari kata-kata ‘kamu sudah makan?’ ‘gimana kabar olive dan tania?’ ‘sibuk ya sampe bbm aku gak pernah dibalas?’ ‘kamu gak apa-apa kan?’ dan beberapa bbm lain yang menyesakkan dada.

Tak berapa lama ada bbm masuk lagi “Aku tunggu pukul 4 sore, aku akan tetap tunggu kamu disana sampai kamu datang!”

Mili hanya membaca bbm itu dan dia memutuskan untuk memejamkan matanya. Besok weekend, enggan rasanya pergi-pergian karena hanya saat weekend lah dia bisa full bersama Olive dan Tania.
Setelah lama memikirkan akhirnya Mili memutuskan untuk menghadiri pertemuan itu, selama ini Zian sudah baik kepadanya, dia tak ingin mereka mengakhirinya dengan perpisahan yang buruk, toh saat putus beberapa tahun lalu pun mereka putus dengan baik-baik. Zian bahkan datang diacara pernikahannya, begitupula dia yang datang di acara pernikahan Zian.

Pukul setengah lima Mili sampai di tempat yang dituju, diantar oleh adiknya yang laki-laki, dan adiknya pun langsung pergi karena sudah janjian dengan teman kuliahnya.

Sambil menarik nafas panjang dia memendarkan pandangan ke sekitar, hanya ada beberapa pengunjung disana. Sepasang kekasih yang masih muda, empat kawanan anak cewek ABG, seorang pria dengan setelan kemeja yang terlihat rapih, tapi itu bukan Zian. Dan beberapa pengunjung lainnya.

Mili berfikir mungkin Zian belum sampai dia pun mencari tempat duduk agak kepojok dengan dinding kaca. Di belakangnya telah duduk seorang pria berkemeja tadi yang sepertinya asik dengan laptopnya. Posisi Mili menghadap pria itu sementara pria itu membelakanginya.

Tak berapa lama Mili memesan White Coffe. Dan pelayan pun memberikan pesanannya. Aroma kopi yang nikmat membuat hatinya sedikit tenang.

Tak lama muncul seorang wanita yang langsung duduk di meja Mili. Mili mengenal wanita itu. Dia Via istri Zian. Tapi untuk apa dia kesini? Dimana Zian?

“Kamu pasti udah tau kalau aku istrinya Zian?” Mili mengangguk dan memaksakan tersenyum, firasatnya sangat tidak enak.

“Kamu nunggu suami aku? Kamu sadar gak sih Mil, klo dia sudah nikah! Kalian gak boleh menjalin hubungan itu lagi! Kamu mau dianggap perusak rumah tangga orang...”

“Tunggu, aku bisa jelasin itu semua,”

“Jelasin apa?! Jelasin klo selama ini sikap dia itu seperti suami bagi kamu? Nganterin lahiran! Merhatikan keadaan kamu dan anak-anak kamu. Aku sadar aku sampai sampai saat ini belum bisa kasih anak ke dia, tapi kami sedang berusaha! Jadi jangan bikin sia-sia usaha kami! plis jauhin dia!!”

Suara Via semakin mengeras, meskipun dia masih menjaga kata-kata yang keluar dari mulutnya agar tidak melemparkan kata yang tak seharusnya.

Namun perhatian beberapa pengunjung sudah teralihkan, mereka berbisik-bisik karena keributan itu, bahkan seorang security hampir menghampirinya.

Tiba-tiba pria berkemeja tadi menghampiri Mili. Dia tersenyum ke Mili dan ke Via.

“Owh jadi ini istrinya temen kamu? Kenalin nama saya Dira.” Pria bernama Dira itu menjabat tangan Via dan duduk disamping Mili, membuat Mili bertanya-tanya dalam hati, tapi Dira hanya mengedipkan sebelah matanya saja sembari tersenyum.

“Kalian punya hubungan apa?” tanya Via yang juga bingung

“kami mau menikah sebentar lagi, sebenernya hari ini dia mau ngenalin aku ke temennya tapi ternyata anda yang datang. Maaf ya sayang aku telat,” ucap Dira, Mili hanya tersenyum mengangguk, dia tahu lelaki ini sedang berusaha menyelamatkannya.

“Jadi kamu gak selingkuh sama Zian?” Mili hanya menggeleng, dilihat dari sudut manapun Dira jauh lebih diatas Zian. Muka Via memerah dia menunduk.

“Maaf ya aku salah paham, aku pulang dulu!” Ucap Via menyambar tasnya dan pergi dengan wajah memerah menahan malu. Mili memperhatikannya sampai dia keluar dari restaurant tersebut.

“Makasih yah,” ucap Mili ke Dira

“Dira,” Dira menjulurkan tangannya yang dibalas oleh Mili. “Mili,”

Ternyata Dira sosok yang ramah, hanya dalam beberapa menit dia berhasil membuat Mili menceritakan semuanya, tentang kehidupannya, tentang Zian juga kematian suaminya. Sementara Dira hanya mengangguk, sesekali bertanya hal yang tak dia mengerti.

Bahkan Dira mengantarkan Mili pulang kerumahnya, dan mampir ke rumah Mili. Sebagai ungkapan terimakasih, tentu Mili mempersilahkannya dan menyambut hangat tamunya itu.

Ibu keluar menggendong Tania yang terlihat semakin gemuk. Mili langsung menciumi putri kecilnya itu.
“Aku boleh gendong gak?” ucap Dira, Mili pun menyerahkan bayi mungil itu ke tangan Dira dan mengajarkan cara menggendongnya. Dira dengan cepat beradaptasi. Dia menimang Tania, bahkan Tania tertidur di gendongannya. Membuatnya takjub.

Tania dibawa ke kamar oleh Mili dan diapun keluar membawakan kopi susu untuk Dira. Mengalirlah cerita Dira, bahwa dia merupakan anak tunggal sementara kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan lima tahun lalu, sehingga rumahnya sangat sepi.

***

Tak terasa sudah setahun Mili menjalin kedekatan dengan Dira, namun tak seperti pria lain pada umumnya, yang biasanya mengejar-ngejar, Dira malah seperti menggunakan metode tarik ulur, ada kalanya dia menemui dan menjemput Mili di kantornya. Namun seringpula dia tak ada kabar seakan menghilang begitu saja.

Namun yang pasti tiap sebulan sekali dia akan mengajak Mili juga Olive dan Tania jalan-jalan entah itu ke Dufan, jungleland  atau menikmati udara pantai Anyer.

Sudah tiga hari Mili tak dihubungi oleh Dira, iseng mengetik nama perusahaan tempat Dira bekerja. Mili terkejut melihat nama pendiri perusahaan tersebut dan direkturnya. Ternyata Dira lah pemilik perusahaannya sendiri namun mengapa dia tak pernah menceritakannya?

Dira terlihat sederhana padahal hartanya menggunung, dia tak pernah menyombongkan dirinya di depan Mili sedikitpun. Mili merasa kecewa tapi dia juga salah, selama ini dia selalu mendominasi omongan hanya sesekali Dira menceritakan kisah hidupnya. Mungkin itu yang membuatnya tak menceritakan tentang pekerjaannya.

Tiba-tiba Mili menangis, memegangi dadanya yang entah terasa sakit sekali, seakan ada tembok besar yang terbangun begitu saja antara mereka berdua. Mili merasa minder dengan keadaannya, di klik lagi profil mengenai Dira, lulusan luar negri, beberapa penghargaan didapat perusahaannya selama dia menjadi dirut.

Mili merasa dirinya hanyalah remahan biskuit di lantai yang luas. Kecil sekali. Ketika dia mengetik pesan untuk Dira bertuliskan “Kenapa kamu gak pernah cerita selama ini kalau kamu konglomerat?” belum sempat pesan itu dikirim, tapi sebuah pesan dari Dira telah masuk lebih dahulu. “Nanti malam aku kerumah kamu ya, mau bicara dengan orangtua kamu tentang kita. Aku serius ingin melamar kamu.” Mili menghapus ketikannya dan membalas pesannya “iya” hanya itu. Dia tak tahu lagi harus menulis apa?

Hatinya berkecamuk berbagai macam perasaan, ya biarlah nanti dia yang menanyakan sendiri mengenai kehidupan Dira.

***

Ternyata harapan untuk bertanya ke Dira sirna, karena dia tak datang sendiri melainkan bersama beberapa tetua perusahaannya yang sudah dianggap keluarga sendiri olehnya. Ya Dira memang pernah cerita bahwa dia hanya hidup sebatang kara, ibu dan bapaknya anak tunggal dan ketika mereka meninggal, tak ada lagi anggota keluarga lainnya.

Beberapa kerabat jauhnya menetap diluar negri dan hubungan mereka pun tak terlalu dekat. Acara lamaran berlangsung sederhana, meskipun Dira membawa banyak seserahan yang harganya cukup fantastis. Mili terlihat murung saat acara lamaran tersebut berlangsung entahlah dia seperti tak yakin, apalagi selama ini Dira tak pernah mengucapkan sayang atau apapun terhadapnya. Mili tak tahu apakah Dira mencintainya dan apa tujuan Dira melamarnya?

Semua tamu sudah pulang, terkecuali Dira, Mili menahannya. Hatinya sudah tak kuat menahan ribuan pertanyaan.

“Kenapa? Kamu gak suka sama lamaran yang aku lakuin?” tanya Dira karena melihat ekpresi marah dari Mili
“Tujuan kamu ngelamar aku apa?”

“Aku mau nikah sama kamu, jalin rumah tangga sama kamu, memangnya salah?”

“Kenapa selama ini kamu gak cerita tentang kamu yang ternyata pengusaha, bahkan direktur utama perusahaan terkenal, terbesar!” Mili terlihat frustasi dia menutup wajahnya, menangis.

“Kamu, apakah kamu Cuma mau mempermainkan aku?” Mili bertanya lagi, dia membalikkan tubuhnya tak mau menghadap Dira. Dira menarik nafas panjang,

“Aku serius ingin menjadikan kamu istri aku, dan kita akan menikah bulan depan.” Dira mengusap kepala Mili lembut dan pergi meninggalkan Mili.

Sepertinya tak ada yang bisa membantah ucapan Dira, persiapan pernikahan pun mulai dilakukan dari catering, gedung semua diurus oleh EO yang ditunjuk.

Mili hanya meminta satu hal, yaitu Dira menemaninya untuk meminta izin ke orang tua  almarhum Ervan. Dan Dira menyanggupinya. Sebenarnya mereka tak perlu lakukan ini. Tapi Mili tak mau hubungannya dengan keluarga Ervan menjadi buruk karena tak memberikan kabar.

Dengan sopan Dira memperkenalkan diri ke keluarga Ervan, dia bahkan membawakan beberapa bingkisan untuk keluarga Ervan.

Tentu ibu dan Bapak Ervan menyambutnya dengan tangan terbuka, Mili, menantunya itu masih muda perjalanan hidupnya masih panjang, ditambah Olive dan Tania juga butuh sosok seorang ayah untuk melindunginya, memberikan kasih sayang kepadanya.

Dan orangtua Ervan menyetujui serta akan turut hadir di pesta pernikahan mereka yang akan digelar beberapa minggu lagi.

***

Pesta pernikahan itu berlangsung sangat mewah, banyak tamu yang menghadirinya, di tengah acara Dira berjalan ke panggung dan mengambil Mic, saat itu pula dia mengatakan bahwa dia mencintai Mili sejak pertama kali bertemu. Namun ini pertama kalinya dia mengutarakan perasaannya karena dia ingin mengucapkan kata cinta setelah resmi menjadi suami istri.

Wajah Mili tersipu, dia telah salah menilai Dira. Dia fikir Dira sosok yang egois dan selalu ingin semua kemauannya terpenuhi. Tanpa dia sadari Dira telah banyak melakukan hal demi dirinya. Demi menjalin hubungan resmi dengannya.

Dira mempertahankan Mili agar tetap menikahinya meskipun dia tak mengutarakan perasaannya bahwa dia sangat menyayangi wanita itu.

Zian datang bersama istrinya, perut istrinya sudah membuncit kabarnya tengah hamil 5 bulan. Mili segera memeluk Via, padahal tampang Via masih merasa tak enak dengannya. Sepertinya Zian tak tahu kalau Via pernah menemui Mili sebelumnya.

Hanya Mili dan Dira yang tahu alasan dia memeluknya, pelukan terimakasih yang sebesar-besarnya. Seandainya hari itu Via tak mengajaknya keluar dengan membajak hp Zian, mungkin sampai kini pun dia tak akan bertemu dengan Dira.

Sebulan setelah pernikahan Mili memutuskan untuk resign dan fokus kepada kedua putrinya, dan dua tahun kemudian mereka dikaruniai putra kembar. Lengkaplah sudah kebahagiaan Mili dengan dikaruniai dua putri dan dua putra.

Dia pernah merasakan kehilangan yang menyakitkan dan kini dia telah menemukan sosok pendamping yang lain. Yang mungkin jauh dari kata romantis, namun pria itu sangat gentle. Sangat menghargai wanita, tak ingin merusaknya. Pria yang tak pernah membeda-bedakan anak-anaknya.
Mili telah menemukan kebahagaiaan dengan keluarganya begitu juga Dira. Mungkin Ervan pun tersenyum disurga sana.

--Tamat--

Friday, December 16, 2016

CERPEN : TETES EMBUN - PART 2

Ketika Mili sadar, Ayah sudah tidak ada disampingnya. Dia bergegas ke bandara bersama keluarga Ervan untuk menyambut jenazah menantunya itu. Rasa tak percaya hinggap di benak Mili, beberapa jam  lalu mereka masih bersenda gurau, tapi kini dia tak akan bisa lagi mendengar suara orang yang amat sangat dicintainya itu.

‘dugg’ tendangan kecil di perut Mili membuyarkan lamunannya, membuatnya semakin menangis, bayi mungil ini bahkan tak akan pernah melihat sosok ayah dalam hidupnya. Mili semakin menangis histeris, bagaimana bisa dia melewati ini semua?

Selama ini Ervan sangat memanjakannya, membantunya melakukan pekerjaan rumah tangga, dia sosok yang sempurna sebagai seorang suami, ayah maupun menantu juga anak bagi orangtuanya.
Tak berapa lama salah satu adik Ervan kerumah Mili untuk menjemputnya, karena jenazah Ervan rencananya akan disemayamkan di rumah ibunya. Tak jauh dari kediaman Mili.

“Mah, Papah udah meninggal yah? Olive sayang papah Mah,” Olive putri kecil berusia empat tahun itu menangis di dada Mili. Mili hanya mendekapnya erat, disamping Olive ada neneknya yang hanya mampu menggenggam tangannya dan membuang pandangan keluar, tak kuasa melihat pemandangan itu.

***

Dirumah mertua Mili, sudah ramai orang yang ingin melayat, padahal Jenazah Ervan pun baru sampai di bandara. Beberapa langsung memeluk Mili, semua yang hadir meneteskan air mata. Merasakan kepedihan Mili dan anaknya. Ditambah Mili yang sedang hamil besar beberapa bulan lagi dia harus menghadapi saat melahirkan tanpa seorang suami.

Belum lagi Olive, anak kecil itu yang biasanya selalu bersenda gurau dan dia masih sangat butuh perlindungan dari sosok ayah, tapi kini sosok itu tak ada lagi.

Mili menghampiri ibu mertuanya yang tergolek lemah di depan dipan yang sudah disiapkan untuk Ervan. Wanita berusia setengah abad itu terlihat pucat matanya sudah memerah mungkin selain Mili, dia juga wanita yang paling merasakan kehilangan sosok Ervan, putra pertamanya yang selama ini selalu menghormati dan menyayanginya.

“Bu,” Mili menghambur memeluk mertuanya, wanita baik itu tak pernah membedakan menantu maupun anaknya, bagi dia menantu juga adalah anaknya. Wanita yang selalu berusaha menjadi mertua yang baik dan menyayangi seluruh menantunya juga cucunya. Wanita itu kini menangis histeris memeluk Mili tangannya mengusap perut Mili yang membesar.

“Nak, kamu yang kuat ya, demi Olive dan bayi dalam perut kamu....”

“Ibu juga,” sementara Olive digendong oleh ibunya Mili.

Tak sampai 1 jam, mobil ambulance yang membawa jenazah Ervan tiba dirumah duka. Sudah berbalut kafan dan sudah dimandikan.

Waktu sudah menunjukan pukul 2 siang, jadi jenazah itu langsung dikebumikan hari itu juga.
Tangisan mengiringi kepergian Ervan, bahkan Mili sempat pingsan sekali lagi ketika jenazah itu tiba. Sementara ibunya Ervan tak kuat berdiri, hingga harus dipapah ketika mengantarkan jenazah anaknya ke pemakaman.

***

Mili mendapatkan cuti selama 2 minggu, dan kini dia harus kembali kerja di kantornya, meskipun mengenakan baju hitam-hitam.

Beberapa rekan kerja menyalaminya sebagai ungkapan turut berduka cita. Mili harus bisa menata hidupnya kembali demi anak-anaknya kelak.

“Mil,” Suara maskulin membuyarkan lamunannya. Zian, dia menghampiri mili di ruangan kerja, Mili ingat Zian hadir di acara pemakaman suaminya itu. Dia bahkan datang beberapa kali saat tahlilan.

“Owh, ada yang bisa aku bantu Zi?” Mili mendongakkan kepalanya, matanya masih bengkak karena terlalu sering menangis.
“Enggak, aku Cuma mau kasih ini,” Zian menyerahkan bungkusan burger dan juga minuman ringan ke meja Mili “Meskipun sedih, kamu harus tetap makan, demi bayi kamu. Sudah ya aku mau nyelesain proyek dulu.” Zian menepuk pundak Mili ketika dia bergegas pergi “Trims” ucap Mili pelan hampir Zian tak mendengarnya. Namun dia tetap berjalan ke ruangan lain.

Ya Zian akan menetap disitu selama beberapa bulan sampai proyek yang digarapnya selesai setelah itu dia akan kembali ke perusahaannya sendiri.

Bos Mili yang jarang ada ditempat, membuatnya lebih sering berkomunikasi dengan Zian. Karena sebagai sekteraris, Mili pun dipercaya untuk memegang beberapa arsip perusahaan sehingga data-data penting yang membutuhkan tanda tangan bosnya itu, Mili yang menyimpannya.

Hubungannya dan Zian menjadi dekat kembali karena hal itu, tapi tak lebih dari teman. Meskipun terkadang Zian memberikan perhatian lebih ke Mili dengan membelikan makan siang, atau menitipkan hadiah untuk Olive.

Terkadang Zian mengantarkan Mili pulang, jika sudah terlalu larut malam. Karena kandungan Mili yang semakin membesar, membuatnya tak tega membiarkan dia seorang diri naik motor.

***

Seminggu lagi Mili akan ambil cuti 3 bulan untuk melahirkan anaknya. Namun hari ini perutnya terasa lain, rasanya keras sekali. Membuat Mili tidak nyaman. Dari pagi hari dia sudah menyandarkan kepalanya di meja.

“Mil, ini ada titipan untuk pak Bos...” Ucap Zian sembari membalik halaman demi halaman kertas yang dibawanya. Mili mengangkat kepalanya. Dan Zian terkejut melihat bibir Mili yang memutih pucat.

“Kamu sakit? Aku anterin pulang yah!” Mili menggeleng, dia mengambil kertas dari Zian dan meletakannya di map.

“Enggak apa-apa mungkin aku kecapekan aja, tiduran sebentar juga enakan.”
“Yaudah kalau emang gak apa-apa, tapi kalau rasanya ada yang gak beres, kamu harus telpon aku ya.” Mili mengangguk, Zian pun kembali keruangannya. Perut Mili rasanya seperti diaduk-aduk tak karuan, diapun memutuskan ke toilet.

Sambil memikirkan sepertinya dia tak salah makan, lalu kenapa perutnya mulas seperti diare?
Mili masuk ke bilik perempuan, sesuatu seperti mengalir melalui vaginanya, Mili mengira itu air pipis tapi ternyata bukan, melainkan darah. Mili pendarahan!

Tangannya gemetar, dirogoh handphone di sakunya, siapa yang bisa dia hubungi disaat seperti ini? Matanya terasa berkunang-kunang. Dia segera menekan satu nomor setelah menjelaskan keadaannya, Mili memakai kembali celananya.

Seorang Pria mendorong pintu kamar mandi dengan keras,

“Mili! Mil kamu dimana?!!!”

“Disini!” dan tubuh Mili pun ambruk ketika dia membuka pintu biliknya. Pingsan.

***