Pages

Monday, November 28, 2016

TEMPAT GYM DI DAERAH CILEDUG NIH!

Kali ini gue merekam keseharian gue, yang salah satunya adalah GYM / Fitness untuk menjaga kebugaran tubuh. hahah. Gue GYM di Siluet Fitness baru mau 3 bulanan.

Di sini tempatnya enak, alat-alatnya juga cukup memadai untuk tempat GYM sekelas ruko begini. Orang-orangnya juga asik. Lu gak harus pake "Personal Trainer" kalo mau tau cara make alat, soalnya di sini lu bakal di bantu sama orang lain yg ngeGYM di situ, asalkan lu gak malu bertanya. Yang jaga ruko itu salah satu yg bantuin gue ngeGYM, tata cara pake alat yang baiknya gimana dll.

Untuk harganya relatif murah menurut gue. Cukup 150 ribu/bulan lu udah bisa GYM di sini sepuasnya. Tapi untuk bulan pertama kena biaya Admin sebesar 50 ribu, jadi bulan pertama bayar 200 ribu, bulan berikutnya 150 ribu. Murah kan?

Lokasinya ada di ruko belakang CBD Ciledug. Kalo lo anak Tangerang apalagi tinggal di CIledug pastinya tau lah. Alamat lengkapnya ada di Ruko CBD Blok A3/9 Ciledug, Tangerang. Nomor telponnya 021-91304929

Harga 150 ribu/bulan sudah bisa gym sepuasnya, fasilitas cukup memadai, toilet, tempat shalat, dapur juga ada. Air minum juga bisa beli di sini.

Thanks yang sudah nonton, silahkan share video ini jika bermanfaat. Jangan lupa like, comment, & subscribe channel gue ya!


Saturday, November 26, 2016

CERPEN : WALK ALONE AND FOUND LOVE

Menjadi seorang ibu rumah tangga, memang sudah menjadi pilihan tersendiri bagi Ersa. Ijasah S1 nya dibiarkan menumpuk di lemari. Dia tak menyesali itu. Toh dia sudah menikah dengan kekasihnya yang merupakan anak orang kaya. Anak dari seorang yang sangat disegani dan di hormati.
Keputusan awalnya sempat di tentang orangtua dari suaminya, Tio. Orangtua Tio menginginkan jodoh yang seimbang bagi anaknya, setidaknya dari golongan terpandang. Bukan dari anak kampung yang orangtuanya hanya kuli tani di pelosok daerah.
Namun Tio berjanji untuk tak meninggalkan rumah, membuat kedua orangtuanya luluh dan menerima Ersa sebagai menantu terakhirnya.
Tio adalah anak ketiga, kedua kakaknya semua berjenis kelamin laki-laki dan sudah menikah. Kakak pertamanya menikah dengan golongan bawah juga. Hanya 3 tahun bertahan dirumah ibunya dan memutuskan pergi ke luar kota bersama istri dan anaknya.
Kakak keduanya menikah dengan wanita yang di jodohi orangtuanya, dari kalangan konglomerat. Sehingga ketika menikah mereka langsung menempati rumah pemberian papanya.
Ersa tak akan se-frustasi ini andai saja kedua mertuanya itu sangat akur, tapi yang terjadi tidak demikian. Hampir setiap hari mereka bertengkar ada saja hal kecil yang mereka ributkan. Mama yang mengurus bisnisnya, dan Papa yang juga sibuk di kantor pribadinya.
Semenjak Ersa tinggal di situ Papa lebih sering menghabiskan waktu dirumah. Tak tahu apa penyebabnya. Seringkali Ersa risih dengan Papa mertuanya itu. Tatapan darinya yang menuju ke hal-hal yang tak di perbolehkan dipandang.
Terlebih setelah Ersa melahirkan anak pertamanya. Sering Ersa lihat Papanya berlama-lama memandangi putranya yang sedang disusui Ersa. Membuat Ersa bergidik ngeri. Bahkan dia melarang Ersa mengunci pintu kamar, dengan alasan agar dia bisa leluasa melihat cucunya kapanpun. Alasan!
Kenapa harus tengah malam Papa masuk kamar dan berlama-lama memandang tempat tidur itu. Tak jengahkah dia melihat anak dan menantunya?
Ersa pun memutuskan untuk memakai pakaian yang jauh lebih tertutup. Celana panjang dan kaos tangan panjang. Meskipun itu dirumah.
Kaka Ipar yang pertama yang menyuruhnya, entah apa yang disembunyikan. Yang jelas kakak ipar itu tak terlihat ramah, matanya menatap tajam dan penuh curiga. Dia pernah berkata “Kunci pintu aja, apapun yang terjadi!” Ersa menggeleng, dia sudah cukup pusing dengan urusan suaminya yang selalu menomorsatukan keinginan orangtuanya.
“kalau gitu, gunakan pakaian tertutup, terutama kalau Tio sedang keluar kota, jaga diri ingat. Kita bukan dari kalangan mereka, tapi kita juga tak bisa di injak-injak seperti ini.”
“Sebenarnya ada apa sih ka?” kakak ipar yang terpaut 10 tahun itu hanya menggeleng dan pergi. Dia menginap satu hari setelah kelahiran keponakannya. Lalu pergi lagi keluar kota. Ersa sungguh berfikir sombong sekali kakak ipar yang ini.
Tapi tak lebih sombong dari kakak ipar yang kedua. Jika datang kerumah selalu saja memamerkan baju barunya, tas mahalnya atau celana dalam yang dia beli di luar negri. Dan herannya mama mendukungnya. Ah sudahlah toh Ersa tak pernah tertarik akan hal itu.
Cukup jaminan dari Tio untuk menyekolahkan adik-adiknya yang masih kecil di kampung, dan memperbolehkan Ersa mengirim uang ke orang tuanya, sudah membuatnya senang. Selebihnya dia tak perduli. Setidaknya sebelum kejadian itu menimpa dirinya.
***
Ersa sedang menyusui bayi laki-lakinya di kamar, ketika Papa tiba-tiba masuk di siang hari dan langsung duduk menatap bayi itu, atau menatap yang dihisap sang bayi.
“Koq udah pulang Pa?”
“Iya...” Ersa sungguh risih. Bayi mungil itu sudah tertidur sehingga Ersa langsung menarik bajunya dan menutupinya. Dia bergegas keluar meninggalkan Papa mertuanya dengan bayi mungil itu.
Tak berapa lama Papa mengikuti Ersa, berdalih ingin meletakkan tas di kamarnya. Kenapa dia tak melakukan itu tadi? Bukankah yang dia ingin lihat cucu mungilnya itu?
“Tio keluar kota? Sampai kapan?”
“Lusa sudah pulang Pa,”
“Kamu suka martabak Sa? Temen papa ada yang usaha martabak klo mau nanti papa belikan,” Ersa mengangguk, dia senang jika memang mertuanya itu sangat perhatian kepadanya seperti itu.
“Mama juga sedang keluar kota, besok baru pulang..” Ucapan Papa terputus, dia mengurungkan niat untuk berucap kata yang lainnya. Papa segera pergi ke kamar. Meninggalkan Ersa dengan tanda tanya besar di hatinya.
Usia Papa sudah 60 tahun, tapi tubuhnya tak terlihat ringkih. Sebagai borjuis tentu dia menghabiskan waktu dan uang untuk fitnes. Yang selalu jadi perdebatan antara papa dan mama pasti tentang PIL atau WIL atau apalah itu. Ersa tak pernah ingin tahu masalah mertuanya yang sepertinya memang sudah mengakar.
Bukan tak mungkin sih Papa menyimpan WIL diluar, secara uangnya banyak, pasti banyak cewek yang tergila-gila dengan hartanya.
***
“Martabak dari mana non?” tanya Bibik yang sudah lama sekali tinggal disitu, membantu keluarga Tio. Ersa sudah menganggap Bibik seperti saudaranya sendiri.
“Dari Papa Bi, mau?” Ersa menyerahkan martabak itu, tapi Bibi menggeleng dan memperhatikan sekitar. Dia mengambil sepiring martabak itu dan meletakannya di kulkas.
“Lho koq ditaro Bi?”
“Gak baik makan martabak banyak-banyak, udah malam tidur sana non, kunci pintu ya..” Ersa mengangguk, malam ini dia sangat mengantuk. Mungkin coklat dari martabak itu yang membuatnya mengantuk.
Agak sempoyongan Ersa berjalan ke kamar. Dia mengunci pintu seperti yang disuruh bibik dan meletakkan kuncinya di atas TV.
Seperti menggunakan mantra, Ersa langsung tertidur. Sayup-sayup terdengar desahan suara laki-laki. Nafas berat meniup perutnya. “Mas Tio, kapan pulang?” desah Ersa, di fikir itu suaminya yang sudah pulang. Ersa menikmati sentuhan itu, hingga dia tersadar bahwa Tio sedang diluar kota, jadi siapa yang menindih tubuhnya. Tangan kekar yang mencoba membuka celananya hingga hampir separo. Ersa mengerjapkan mata. Lelaki itu! “Astaga Papa!” Ersa setengah menjerit, dilihat bayi mungil yang baru berusia 6 bulan itu sudah pindah tidur ke Sofa kamar.
Papa membekap mulut Ersa dengan tangan besarnya dan menamparnya. Ersa menangis.
“Jangan banyak tingkah kamu, wanita miskin! Sudah dibiayai segalanya!! Kamu ga mau kan orangtua kamu harus menggembel lagi seperti dulu!! Lakuin aja yang harus kamu lakuin!” Ersa menggeleng berusaha melepaskan pegangan tangan Papa ke mulutnya. Tapi tak berhasil lelaki itu sangat kuat sekali.
Dengan sekuat tenaga Ersa menendang perut Papa yang menindihnya. Papa terseungkur. Ersa teriak minta tolong, tapi sepertinya tak ada yang mendengar. Dia berlari ke pintu tapi tangan papa menghalaunya. Papa bahkan mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Ersa menjangkau Vas bunga dekat TV dan “Pranggggg!!!” kepala papa berdarah, Ersa berhasil membuka pintu itu. Bibik berlari menghampiri kegaduhan. Dilihatnya papa sudah tergeletak, tak bernyawa.
“Aku udah bunuh papa bi, aku pembunuh bi, pembunuh.” Bibik memeluknya, Ersa yang malang kejadian itu langsung terdengar oleh petugas security di bawah dan menelepon polisi untuk mengamankan Ersa.
Ersa diseret, polisi. Kakak kedua dan istrinya datang, menangis, memaki Ersa. Bibik memeluk bayi mungilnya. Ersa masih menangis.
“Tolong aku gak salah, aku hanya membela diri, tolong pak tolong!!”
“Plakkk” tamparan keras mendarat di pipi Ersa, kakak kedua Tio menamparnya hingga bibir Ersa berdarah. Bibik tak kuasa melihat itu, dia memeluk erat si bayi. Ersa berteriak bajunya masih dipenuhi darah papa, ketika polisi dengan paksa membawanya ke sel.
***
Sudah dua kali Ersa menjalani persidangan, namun hasilnya nihil. Semua seakan menyudutkannya dengan dalil bahwa dia memang berniat membunuh Papa mertuanya demi mendapatkan warisan.
Mama mertua, Kakak kedua dan istrinya, juga Tio menjadi saksi untuk Papa. Tio, Pria itu sepertinya memang tak benar-benar mencintai Ersa. Dia hanya menginginkan Ersa menjadi pelengkap saja. Toh dia sama sekali tak membela Ersa. Bahkan dia memaki-maki Ersa di setiap kesempatan.
Kakak pertama Tio datang tapi tak dengan istrinya. Mengapa tak ada saksi yang ingin meringankan bebannya?
Sidang kedua pun tidak menghasilkan apa-apa, Ersa dituntut hukuman mati. Ya hukum sering berpihak pada yang ber-uang.
Tentu keluarga Tio akan melakukan apapun asalkan nama Papa tak tercemar. Hanya satu orang yang membela Ersa. Dia Reza, pengacara yang mengaku bahwa ditunjuk dari menteri kehakiman. Pengacara yang memang membantu bagi tersangka yang tidak mempunyai kuasa hukum.
Reza pria yang baik, usianya masih muda, mungkin hanya berjeda 5 tahun lebih tua dari Ersa. Reza datang sehari setelah Ersa ditangkap polisi. Dia yang paling sering mengunjungi Ersa di sel. Dia yang menghubungi Ersa dengan keluarga yang menguatkannya.
Keluarga Ersa sudah kembali seperti dulu lagi. Ayah yang terpaksa bertani, ibu yang terpaksa berjual hasil tanian kepada tengkulak dengan harga yang sangat miris. Adik-adik Ersa yang masih sekolah dan terpaksa berjualan sepulang sekolah demi membayar biaya sekolahnya.
Tapi mereka tetap tegar, mereka yakin Ersa tak melakukan kesalahan, mereka percaya bahwa Ersa adalah anak yang baik.
Persidangan ketiga di gelar, kali ini Tio bersaksi.
“Dia memang istri saya, tapi dia tak lebih dari pelacur, saya yakin dia yang menggoda papa untuk melakukan hal kotor itu dan mencari cara untuk membunuh papa,” Tio berdiri di sebrang Ersa. Ersa menangis.
“Tidak pak Hakim, saya pertama kali menyerahkan keperawananpun dengan suami saya, saya belum pernah melakukan hal itu pak, percaya sama saya, saya hanya membela diri.” Suasana menjadi riuh. Hingga pak Hakim mengetuk palu persidangan meminta semua hadirin tenang.
Pak Hakim mempersilahkan seorang saksi lagi dari keluarga Papa, dan ternyata itu adalah kakak ipar pertama Ersa. Seorang wanita yang bertampang sangat jutek. Dia masuk dengan mengenakan kaca mata hitam, sesaat pandangannya melihat Ersa. Tapi dia langsung membuang muka dan membuka kacamata itu.
“Seharusnya saya berdiri disini untuk Papa, tapi tidak! Saya akan bersaksi untuk Ersa.” Suasana mendadak hening, apa yang akan dilakukan kakak iparnya itu? Tak tahukah dia semua keluarga ada disini dan bukan tidak mungkin kalau dia bisa terkena imbasnya.
“Saya pernah bekerja di sebuah kantor pengacara, dahulu sebelum menikah, sedikit banyak saya tahu mengenai hukum. Seseorang tak bisa di sebut bersalah jika ingin melindungi dirinya kan pak Hakim. Saya percaya Ersa tak berniat melakukan itu, hanya saja hal itu yang bisa dia lakukan untuk melindungi kesuciannya.” Suasana kembali hingar bingar, samar-samar terdengar suaminya berteriak menyuruh nya pergi dari tempat itu dan menyudahi kesaksian.
“Lanjutkan! Mengapa kamu berani bersaksi seperti itu?” ucap hakim itu tegas.
“Karena saya pernah mengalaminya.” Kakak menghela nafas panjang, “sepuluh tahun lalu, sebelum kami memutuskan pergi dari rumah terkutuk itu, bahkan dua kali Papa mertua melecehkan saya! Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa saya terlalu takut untuk bercerita ke suami saya, karena dia pasti tak percaya, ayah yang sangat di hormatinya melakukan hal itu, hingga akhirnya saya memutuskan pergi membawa kedua anak saya, dan suami saya menyusul saya sambil berjanji akan pergi dari rumah itu. Saya tetap tak menceritakan aib yang menimpa saya, saya pendam dalam hati, saya fikir dia tak akan melakukan hal itu lagi, tapi ternyata dia masih melakukannya.”
Kakak memendarkan pandangan ke penjuru. Terlihat muka-muka shock mendengar penuturannya. Ersa menutup wajahnya, dia terus saja menangis, tak menyangka ada yang membelanya. Ketika membuka tangannya dilihat kakak sedang tersenyum menatapnya. Diapun melanjutkan ucapannya.
“Banyak yang ingin bersaksi untuk Ersa, tapi tak di perbolehkan keluarga itu!” Tunjuk Kakak ke kumpulan keluarga Tio. “Ada bibik dan pa Supir juga, jika Pak hakim berkenan, persilahkan mereka untuk maju ke dalam memberi kesaksian juga,” hakim mempersilahkan saksi selanjutnya yaitu Bibik dan Pa Supir, setelah melakukan sumpah dibawah Al Qur’an. Kedua orang yang dikenal baik oleh Ersa itu bersaksi.
Bibik bilang dia melihat Papa meletakkan serbuk di martabak untuk Ersa, dia bahkan menyingkirkan martabak itu dari Ersa dan memberikannya ke kucing. Ternyata kucing itu langsung tertidur. Bibik yakin bahwa ada obat tidur di martabak itu yang sudah dimakan Ersa. Dia juga bilang hampir tiap malam papa mengintip kamar Ersa. Entah apa yang di fikirkannya.
Pa Supir menambahkan bahwa dia mengantarkan papa ke apotik, disana dia bahkan mendengar nama obat yang dibeli papa. Ya papa memang membeli obat tidur dengan dosis tinggi yang cukup mahal agar tidak terlalu terasa di lidah. Mereka berdua ingin bersaksi tapi keluarga Tio mengancam akan memecat mereka dan menghentikan seluruh santunan untuk keluarganya.
Hakim dan jaksa beserta jajaran stafnya ingin merembukkan hal tersebut. Ersa, kakak Ipar dan Bibik beserta pak supir dibawa keruangan terpisah, menghindari amukan dari keluarga Tio.
Ersa memeluk Bibi dan kakak Ipar. Dia menangis tersedu-sedu mengucapkan terimakasih atas kebaikan mereka semua.
“Ka, kalau suami kakak marah sama kakak bagaimana?”
“Engga apa-apa, kaka sudah mempersiapkan semuanya. Setelah meninggalkan rumah itu, kakak membuka usaha atas nama kakak sendiri. Kaka punya banyak kenalan pengacara, dan kakak memang mau berpisah dengannya Sa, hmm Reza sebenarnya bukan ditunjuk dari pemerintah. Tapi kakak yang minta dia, kakak kenal Papahnya yang pemilik perusahaan pengacara tempat kakak dulu bekerja, kamu percaya sama dia, dia pasti melakukan yang terbaik untuk kita.”
Ersa mengangguk dia menatap bibik. “Bagaimana dengan bibik, kalau di pecat bagaimana?”
“Bibi udah ngundurin diri Sa, dan udah pindah kerja ke tempat lain, pa Dalu juga,” bibik menatap pa supir yang memang suaminya itu. Ersa tersenyum, untuk pertama kalinya dia bisa tersenyum setelah sebulan di penjara.
Anaknya diasuh oleh baby sitter yang baik, Tio tak mungkin mengacuhkan anaknya itu. Ersa berjanji jika dia bebas nanti dia akan memperjuangkan hak asuh anaknya itu. Toh Reza juga akan membantunya.
Reza dengan jas berwarna hitamnya masih mematung memandangi pemandangan di hadapannya. Betapa persaudaraan terlihat begitu indah. Dia tak mengerti rasanya punya kakak, karena dia anak tunggal. Dia tak dekat dengan pembantu atau supir pribadinya karena terlalu fokus pada masalah yang dihadapi kliennya.
***
Hakim telah memutuskan berdasarkan sebuah pasal yang mengatur mengenai perbuatan “pembelaan darurat” (Noodweer) untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat. Menurut pasal ini orang yang melakukan pembelaan darurat tidak dapat dihukum. Pasal ini mengatur alasan pembenar karena perbuatan pembelaan darurat bukan perbuatan melawan hukum.
Ersa pun resmi dinyatakan tak bersalah. Dia bebas! Dengan syarat Ersa harus melapor selama setahun penuh. Ersa sujud syukur di hadapan hakim, keluarga Tio sangat kesal sekali pengacaranya kalah dalam hal ini.
Polisi sudah menunjukan pisau lipat yang di temukan dekat Papa. Dan dia pun mengumpulkan saksi dari Bibik, Pa Supir, serta Security yang serempak mendengar ucapan minta tolong, sebelum kejadian itu.
***
Setahun menata hidup dari nol, Ersa bersama buah hatinya. Kakak Iparnya, ups maksudnya kakak yang bernama Elita itu yang menyokongnya, membantunya berdiri di kakinya sendiri.
Elita juga sudah berpisah dengan suaminya dan memutuskan pergi bersama kedua anaknya ke tempat lain. Dia bersama Ersa mengelola sebuah Toko kue yang semakin lama semakin besar dan berkembang ke daerah-daerah luar kota.
Ersa sangat senang ilmu manajemen pemasaran yang di dapatnya sangat berguna disini. Elita memang pandai membuat dan menghias kue. Ketika tinggal bersama suaminya dulu dia sudah membuka toko kecil tanpa sepengetahuan suaminya. Dan toko itu lah kini yang di miliki sekarang. Yang sudah pindah pusatnya ke tengah kota.
Kedua anak Elita sangat akur dengan anak Ersa, sebagai sepupu mereka tumbuh menjadi keluarga yang saling menyayangi.
Semenjak keluar dari tahanan, Ersa dekat dengan Reza. Lelaki berwibawa itu sangat memperhatikan Ersa dan anaknya, dia pula yang menjadi pengacara untuk mengambil hak asuh anaknya.
Dan kini dia sedang memandangi kue yang dibuat Ersa untuk calon istrinya. Kue berbentuk hati berwarna pink dan dihias dengan bunga-bungan cantik bertuliskan ‘Happy B’day Would you marry me,’
“Kapan kamu mau kasih kue ini, aku ga nyangka kamu romantis juga,” Reza terkekeh dia masih memandangi kue itu.
“Hmm malam ini, tepat ulang tahun dia,” Ersa mengernyitkan keningnya, dan mengangkat kedua bahunya.
“Pasti beruntung banget wanita yang jadi istri kamu,”
“Yah aku belum tahu, kan dia belum nerima lamaran aku,” Reza membawa kue itu ke mobilnya, diapun berpamitan dengan Ersa untuk menyiapkan segalanya.
Ersa tersenyum meski hatinya sakit, setahun dekat dengannya, Ersa sempat berfikir kalau Reza menyukainya, tapi ternyata tidak. Reza sudah mempunyai calon pendamping sendiri. Yah siapalah dirinya yang hanya mantan narapidana dan pernah membunuh orang.
Ditambah keluarga Reza juga keluarga yang terpandang, Ersa tak mau mendapat perlakuan yang sama seperti yang pernah dia dapatkan dulu. Kenangan hitam itu harus segera pergi dari hidupnya.
“Hei koq bengong!” Elita menepuk pundak Ersa, Ersa hanya tersenyum.
“Temenin beli baju yuk, ntar malam acara lamaran Reza, kamu diundang kan?” Ersa menggeleng, tapi Elita terus menggiringnya ke mobil dia menyetir mobil ke pusat perbelanjaan.
Dan disinilah mereka berdua shopping, melupakan segala permasalahan yang ada. Bahkan mereka sudah sibuk merawat tubunya di salon & spa.  Meskipun tak diundang tapi tak sepatutnya Ersa tak datang ke acara lamaran nanti malam. Hatinya memang teriris, karena Ersa mulai menyukai Reza. Tapi Elita pun terus mendesak untuk menemaninya.
***
Ersa memandangi sebuah restoran yang sudah disulap menjadi tempat yang sangat indah, banyak balon berwarna pink dan berbentuk hati. Kursi-kursi disusun rapi lengkap dengan pita berwarna putih, senada dengan taplak mejanya. Juga bunga-bunga berwarna pink dan putih menghiasi meja-meja. Sebagian tamu sudah datang. Kebanyakan saudara Reza dan teman dekatnya. Ersa duduk dengan Elita di bangku depan.
Kasus Ersa menarik minat orangtua Reza yang keduanya memang seorang pengacara. Dari situ mereka cukup dekat dan sering berbincang-bincang sehingga Ersa tak segan lagi berhadapan dengan mereka.
Ibunya Reza, berwajah sangat lembut meskipun tatapannya tegas. Dia menyanggul tinggi rambutnya dan mengenakan kebaya berwarna cokelat tua. Menyalami Ersa dan Elita.
“Calon istri Reza yang mana tante?” Ersa mengalihkan pandangannya ke wanita-wanita muda di sekitar situ. Mereka tampak cantik-cantik sekali.
“Nanti juga kamu tahu,” Ersa tersenyum meski tak dapat menutupi rona sedih dari matanya. Ah dia memang terlalu ge-er, hingga akhirnya hatinya harus menanggung sakit sebanyak ini.
Berkali-kali Ersa mengerjapkan matanya, berharap butiran halus itu tak mendadak turun ketika nanti Reza melamar wanita pujaan hatinya di depannya.
“Ka, aku mau pulang aja ya,” Ersa berdiri ketika acara mau dimulai. Tapi Elita menarik tangan Ersa.
“Jangan bikin malu deh, udah duduk aja situ!” nah kan Ersa tak bisa berkutik jika Elita sudah bertampang jutek seperti itu. Elita sebenarnya tahu kalau Ersa sedang sakit hati. Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah direncanakan.
Reza mengenakan jas silver lengkap dengan bunga kecil yang menyembul dibalik sakunya. Ersa menyesal kenapa dia tadi memilih gaun berwarna silver di toko. Jika saja dia memilih warna hitam atau merah. mungkin hatinya tak akan se-nelangsa ini. Dia akan terlihat seperti orang bodoh, mengenakan warna yang senada dengan baju Reza.
Di pendarkan pandangan ke sekitar, terlihat ada wanita anggun yang memakai baju berwarna silver juga, ah itu pasti calon istri Reza. Dan naas, wanita itu juga memperhatikan Ersa. Ohh Ersa malu sekali ketahuan menatap orang lain dengan tatapan melas seperti itu. Ersa buru-buru menenggak air putih di hadapannya hingga habis tak tersisa.
“Malam ini, saya akan menyampaikan perasaan saya yang terdalam kepada wanita, calon istri saya. Mudah-mudahan sih diterima,” sontak semua hadirin tertawa, Reza memang tak pandai berbasa-basi dia selalu mengatakan hal ke intinya.
“Hari ini ulang tahun dia, dan sudah lama saya jatuh cinta dengan dia. Dia wanita pertama yang mengajarkan saya arti keluarga. Arti pengorbanan dan arti dari perjuangan. Dia yang mengajarkan saya keberanian dan kemandirian. Dia mungkin tak menyadari bahwa kehadirannya sudah membuat hidup saya sempurna.” Ersa menelan ludah yang terasa tercekat. Dia mengalihkan pandangan lagi ke perempuan itu. Jelas sekali wajah perempuan itu merona. Dia pasti bahagia sekarang.
Ersa menggigit Tissue, sambil memandang wanita itu yang masih tersipu malu. Elita menarik tissu dari mulutnya, tapi Ersa tak mau melepasnya. Dia membiarkan orang yang sudah dianggap kakaknya itu menarik-narik tissu dari mulutya yang tetap tak mau dilepaskan. Ersa menggeleng meskipun mendapat tatapan sinis dari Elita yang sudah komat-kamit memintanya melepaskan tissu itu. Duh dia layaknya seorang anak kecil yang tak dibelikan balon. Elita menyerah, dia mendekap tangannya. Karena Ersa sudah mengeluarkan air mata. Dia tak mampu menahan lebih lama.
“ERSA...” Suara Reza menggema dari depan, Ersa mengalihkan pandangan ke Reza, masih dengan mulut yang ada tissunya.
Akhirnya Elita berhasil menarik tissu itu. Dia melemparkan ke meja dengan nafas lega.
“Would you marry me?” Reza mendatanginya sambil membawa kue ultah ke meja Ersa. Ersa tak menyangka wanita yang dimaksud adalah dirinya, dia kembali melihat wanita bergaun silver tadi. Wanita itu hanya tersenyum geli dan bertepuk tangan. Diikuti dengan tepuk tangan yang lain. Ersa memandang Elita, yang dipandang hanya menggeleng pura-pura tak tahu. Dia melihat ke dua orangtua Reza. Mereka hanya tersenyum dan mengangguk. Senyum tulus yang Ersa tahu, yang tak pernah diberikan mantan mertuanya dahulu.
“Aku ga tau klo hari ini ulang tahunku?” Ersa menatap kue ulang tahun buatannya sendiri. Beruntung tadi dia tak meletakan racun di kue itu karena saking kesalnya.
“KTP kamu ga palsu kan?” Ersa mencubit pipi Reza dengan gemas. Dia pun meniup kue ulang tahunnya. Dan mengangguk. Menyatakan bahwa dia ingin menikah dengan Reza.
Reza membawanya ke depan. Dan menyematkan cincin di jari manisnya. Ersa senang sekali. Malam ini adalah malam yang paling membahagiakan dalam hidupnya.
Dia sudah menemukan hidup yang baru, bersama Reza orang yang dicintainya, yang kelak menjadi suaminya, Imam dalam rumah tangganya. Ayah dari anak-anaknya.
Tak ada lagi yang Ersa dambakan melainkan kebahagiaan, yang telah lama ditunggunya.
Tak menunggu waktu lama, Reza segera menikahi Ersa. Acara pernikahan yang berlangsung cukup meriah. Meskipun dengan konsep yang sederhana.
Sementara keluarga Tio sudah menerima kehancurannya. Ternyata Papanya terlibat kasus korupsi yang melibatkan salah satu pejabat daerah. Keluarganya harus menanggung malu dua kali. Tio menjadi pribadi yang suka marah dan mabuk-mabukan. Sementara Mama sudah sakit-sakitan. Kantor yang diurus anak pertamanya lama kelamaan pailit. Itulah yang harus diterima keluarga yang sudah menzholimi orang lain.
Bibik dan suaminya sudah lama bekerja dirumah Reza, kelak menjadi rumah Ersa. Karena Reza sudah tinggal terpisah dengan orangtuanya sejak berusia 25 tahun.
Dan kini Ersa, anaknya serta Reza merenda kasih di rumah itu. Menjadi keluarga yang bahagia.

---Tamat----

MAKAN DI WHAT'S UP CAFE DEKET BINUS

Kali ini gue pergi ke sebuah cafe di daerah Jakarta Barat, namanya What's Up Cafe. Cafe ini ada di daerah binus, sederet sama kampus anggreknya Binus.

Tempatnya lumayan bagus, luas, dan juga seru menurut gue untuk kumpul bareng temen atau rekan kantor. Buat foto-foto juga bagus banget soalnya di setiap temboknya itu di gambar yang unik-unik. Untuk tempat makan ada 2 lantai. Ada juga yang di pisah di ruang kaca untuk yang mau pakai AC.

Untuk menu makanannya sih menurut gue mirip sama OTW Street Food, ada menu mie, nasi, burger dll. Kalo soal rasa ya menurut gue pribadi ya biasa, gak enak-enak banget. hahaha

Di What's Up Cafe kita bisa ambil alat permainan, buat menambah keseruan kita kalo lagi kumpul bareng teman. Jadi kita tinggal ambil aja alat permainan di lemari, seperti UNO dll.

Buat yang tinggal di daerah Jakarta Barat dan mau ke sini, coba aja ke daerah Binus, pasti nemu deh. Dan jika kalian punya info makanan unik atau bagus di daerah Jakarta dan sekitarnya, coba share ke gue ya.

Silahkan Subscribe channel gue, dan jangan lupa share, like & comment ya!!


Sunday, November 20, 2016

UNBOXING TRIPOD WEIFENG 3110

Ini video pertama gue mengenai unboxing. Semoga cukup membantu untuk kalian yang sedang ingin melihat atau membeli barang yang serupa dengan video gue ini. Entah kenapa gue sebut mereknya Tefeng, padahal nama mereknya weifeng. Hahaha

mampir yaa ke channel youtube gue, klik aja disini
Enjoy guys!!
Jangan lupa share, like, comment & subscribe ya!!


Wednesday, November 16, 2016

CERPEN : MEMORY

Setiap manusia punya cara tersendiri untuk membentengi diri dari kenangan yang menyakitkan. Ada yang memilih untuk menutup rapat peristiwa itu dan tak pernah membukanya kembali, sehingga kenangan tersebut hilang dimakan waktu.
Ada pula yang justru selalu mengingat setiap detailnya agar tak mengulang kesalahan yang sama.
Dua manusia dengan satu peristiwa dan dua cara pertahanan diri dari ingatan. Mereka bertemu kembali setelah hampir 20 tahun berpisah semenjak kejadian itu.
Kejadian yang membuat semua orang yang mendengarnya menjadi bergidik ngeri. Seolah mimpi buruk itu terputar ulang.
Maira sudah resmi bercerai dari suaminya tiga bulan lalu, dia lebih memilih bercerai dibandingkan dimadu. Yap lelaki yang selama hampir sepuluh tahun ini menemaninya, jatuh cinta dengan wanita lain.
Mereka saling memadu kasih, meski tahu itu cinta terlarang. Hingga kuatnya godaan membuat mereka tak bisa menghindari perasaan berbalut cinta semu. Dan memutuskan untuk menikah. Maira sendiri bukan anti poligami, hanya saja baginya sekali penghianatan tetap penghianat. Tak ada yang perlu dimaafkan!
Putra berusia 6 tahun itu resmi diasuh Maira setelah ketuk palu tiga kali di pengadilan agama. Maira kembali tinggal dengan orangtuanya. Di rumah sederhana namun penuh kehangatan.
Baginya rumah adalah orangtua dan orangtua adalah rumah. Tempat kembali dari lelah, tempat berlindung dan berkeluh kesah. Bagi Maira Analogi rumah, tak sesederhana yang dipikirkan oleh orang biasa.
“Ra, besok malem kita ada acara keluarga. Kamu pulang cepat ya.” Ucap bapak ketika Maira mengenakan sepatu sebelum berangkat kerja.
“Acara apaan Pa?”
“makan-makan aja sama kenalan bapa.”
“owh oke,” setelah menyalami tangan Bapak, Maira segera menuntun putranya yang kini sudah sekolah dasar untuk berangkat bersama.
Sudah beberapa tahun belakangan bapak tidak kerja, badannya sudah ringkih dan sakit-sakitan. Sementara ibu hanya menjalani usaha katering yang tidak tentu pendapatannya.
Secara tak langsung Maira menjadi tulang punggung keluarga. Adik perempuannya yang beda 5 tahun dibawahnya sudah menikah dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga sehingga dia pun terkadang jika ada rezeki lebih ya memberi ke orangtua. Tapi sebagai orangtua yang bijak, mereka tak pernah menengadahkan tangan ke anak-anaknya.
~~~
Sebuah mobil avanza hitam terparkir di depan rumah, ketika Maira pulang kerja. Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Seorang pria asing terlihat duduk berbincang dengan bapak di teras. Mungkin usianya hanya terpaut beberapa tahun dibawah bapak.
Maira segera masuk kedalam untuk berganti pakaian, karena bapak bilang tamu itu yang akan mengantar mereka ke pertemuan keluarga nanti.
Meski penuh pertanyaan di benak Maira namun dia mampu menahannya. Elisa, adik Maira pun sudah sampai dengan suaminya. Perutnya sudah membuncit, usia kandungannya sudah memasuki bulan ke delapan.
Velo, anak Maira sibuk mengoceh pertanyaan ke tantenya mengenai bayi yang dikandungnya. Terlihat sekali betapa Velo sangat Excited menanti kelahiran sepupunya itu.
Dengan riasan seadanya Maira keluar kamar, dia mengenakan longdress putih dengan heels berwarna senada. Ibu bilang mereka akan makan di restaurant, setidaknya mereka harus mengenakan pakaian formal. Meskipun Maira tahu ini pertama kalinya kedua orangtuanya makan di restaurant.
Bapak saja sampai mengenakan baju batik. Terkadang Maira terkekeh sendiri melihat orangtuanya yang gugup, mereka bilang takut salah pegang sendok lah, takut daging yang dipotong terpental lah. Mungkin mereka terlalu sering nonton film warkop DKI jadi fikirannya sudah melayang kemana-mana.
Maira baru bisa menghentikan senyumnya ketika melihat restaurant yang dituju. Sebuah restoran yang memang sangat mewah, bahkan memimpikan untuk bisa makan di situ saja tidak pernah terlintas di benaknya.
Seorang waitress membawa mereka ke sebuah meja cukup besar yang sudah dipesan. Ada sepasang orangtua yang Maira tak kenal. Dari wajahnya terlihat sekali mereka adalah orang kaya dan berpendidikan tinggi. Lagi-lagi Maira bertanya dari mana bapaknya bisa punya kenalan orang ‘berada’?
“Ini Maira,” ucap bapak memperkenalkan Maira, Maira menyalami mereka berdua. Yang biasa dipanggil Om Tanu dan Tante Lila. Terkadang mereka berdua saling bertatapan penuh rasa bersalah ke Maira. Atau tatapan yang Maira sendiripun tak mengerti artinya.
“Sudah dua puluh tahun ya kita tak bertemu?” ucap om Tanu. Maira hanya tersenyum, dia bahkan tak pernah mengingat kedua orang itu. Dua puluh tahun? Itu berarti ketika usia Maira 9 tahun. Apa yang terjadi saat itu? Mengapa Maira sama sekali tak ingat dengan mereka berdua?
“Oiya dimana Reno?” Bapak mengajukan pertanyaan. Dibarengi dengan datangnya berbagai menu yang telah dipesan sebelumnya.
“Dia masih ada rapat, mungkin butuh waktu untuk mempersiapkan diri menghadiri pertemuan ini.” Jawab Om Tanu sembari terkekeh, meskipun wajahnya sedikit menegang. Entah apa yang menjadi fikirannya.
Di sebelah kanan Maira kursi kosong, sementara Velo ada di sebelah kirinya. Meja itu berbentuk lingkaran sehingga satu sama lain bisa saling bertatap muka ketika berbincang.
“Reno siapa?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Maira. Om dan Tante hanya saling tatap.
“Anak kami,” ucap Tante. Dan mereka semua hanyut dalam pembicaraan non formal mengenai kesibukan Ibu dan Bapak, juga aktifitas Om dan tante sembari menyantap makan malam.
Selang beberapa menit seorang pria dengan kemeja fit body menghampiri meja Maira, tubuhnya tinggi berkulit putih. Rambutnya rapih terlihat sekali bahwa dia merupakan seseorang yang memperhatikan penampilan. Pria itu mengambil tempat duduk disamping Maira.
“Nah Maira, ini Reno, anak tante.” Ucap tante Lila memperkenalkan anaknya. Reno mengulurkan tangan ke Maira yang langsung dibalas oleh Maira. Tangannya dingin sekali entah karena dia habis dari tempat dingin atau apa? Diapun menyalami seluruh anggota keluarga Maira.
Sekilas Maira melihat tangan kanan Reno bergetar, yang langsung ditutupi dengan tangan sebelahnya. Dia hanya meminum jus mangga. Keringat sebesar biji jagung muncul dari pelipisnya. Membuat Maira semakin heran, kenapa orang bersuhu tubuh dingin justru keluar keringat di tempat sesejuk ini?
Bahkan pria itu terlihat gugup dan terbata-bata menjawab beberapa pertanyaan ringan dari Bapak, sehingga suasana menjadi canggung sekali.
“Kamu apa kabar?”Tanya Reno ke Maira, Maira menatapnya lekat tapi laki-laki itu buru-buru mengalihkan pandangan dan meminum jus Mangga nya yang sudah hampir habis.
“Baik, kamu sakit ya? Wajah kamu pucat?” Maira menyebut ‘kamu’ karena mengikuti Reno yang memulai menggunakan kata ‘kamu’.
“Ah enggak koq, bi..biasa aja.”
“Owh, apa kita pernah kenal sebelumnya ya?” wajah Reno semakin pucat dia menarik bibirnya berusaha tersenyum, dan menatap kedua orangtuanya penuh tanya. Sementara kedua orangtuanya hanya menggeleng lemah.
Maira menjadi tak sabar ingin pulang dan bertanya dengan orangtuanya, ada hubungan apa dia dengan keluarga mereka? Mengapa Maira merasa sangat asing berada diantara mereka. Tapi mereka justru terlihat sangat mengenal Maira.
~~~
Pak supir yang tadi menjemput keluarga Maira, kembali untuk mengantarkan keluarga Maira pulang. Ternyata dia sudah lama menjadi supir pribadi keluarga Reno.
Rasa kantuk menggelayuti Velo, sehingga dia tertidur di pangkuan Maira. Sesampainya dirumah Maira segera menidurkan Velo di kamar. Sementara Elisa dan suaminya langsung pulang ke rumah mereka.
Ibu dan Bapak duduk di ruang TV setelah berganti baju. Maira ikut duduk diantara mereka. Ratusan pertanyaan sudah berputar di kepalanya.
“Ada yang mau jelasin sesuatu?”
“Yakin kamu siap dengar cerita kita?” tanya Ibu, dia mengambil teh manis dan cemilan untuk teman ngobrol. Sementara bapak lebih memilih kopi. Maira mengangguk. Dia siap lahir batin mendengar cerita itu.
“Waktu itu usia kamu 9 tahun, kamu pulang kerumah dalam keadaan menangis. Rok sekolah kamu ada noda darah.” Bapak memandang ibu untuk meminta persetujuan, ibu mengangguk.
“Hari itu kamu diperkosa oleh seorang pria SMA,” Maira masih mendengarkan dengan seksama berusaha mengingat tapi dia tak ingat apa-apa. Seharusnya kejadian seperti itu tak bisa terlupakan, tapi mengapa Maira bisa melupakannya?
“ketika kamu sampai rumah dan menceritakan semuanya, bapak marah dan mencari orang yang melakukan hal bejat itu. Tapi nihil. Tak ada siapa-siapa. Kami menyembunyikan kamu dan berita ini, tak ingin menjadi aib.” Mata bapak terlihat terluka menceritakan pengalaman pahit itu. Dia bilang kalau keesokan harinya ada dua orang pria dengan pakaian rapi, berjas datang kerumah mereka. Itu adalah Om Tanu dan pengacaranya.
Mereka datang untuk meminta maaf atas kelakuan putra mereka. Saat itu Reno habis dicekoki narkoba oleh teman-temannya sehingga dia setengah sadar melampiaskan nafsu bejatnya.
Pengacara menawarkan uang yang sangat besar sebagai uang tutup mulut, tapi bapak marah. Baginya keperawanan putrinya yang nomor satu, bagaimana nanti dia bisa menikah karena telah ternoda.
Akhirnya mereka sepakat membawa Maira ke psikolog untuk menghilangkan trauma, karena Maira sakit dan terus menangis kesakitan. Di sana Maira di Hypnotheraphy untuk sedikit melupakan masalah itu. Meskipun terkadang Maira mengingatnya. Namun luka difikirannya membuat pertahanan sendiri, hingga akhirnya Maira benar-benar tak mengingatnya.
Bahkan dia menciptakan memori sendiri mengenai peristiwa itu. Dia bilang kalau dia jatuh dari sepeda sehingga mengakibatkan keperawanannya pecah dan berdarah.
Dengan lantang Maira bercerita hal itu kepada sanak keluarga yang menjenguk. Sekilas Maira ingat saat-saat dia bercerita karena dia memang merasa bahwa dia jatuh dari sepeda kala itu.
Dia ingat om dan tante maupun nenek kakek yang menjenguk menitikkan air mata setiap Maira cerita. Dua puluh tahun lalu, keperawanan merupakan hal yang tabu dan dijaga ketat. Hal yang seharusnya dijaga dengan amat sangat baik bagi perempuan. Entah mengapa sekarang nilai itu seolah bergeser, sehingga tak bisa terkendali lagi.
“Reno juga menderita.” Bapak meneguk kopi hitam buatan ibu. Reno benar-benar menerima akibatnya. Dia tak mendapatkan terapi apapun. Orangtuanya sangat marah karena dia telah menghancurkan masa depan seorang gadis.
Reno dikirim ke Australia, tinggal bersama budehnya disana. Tapi tetap dia menerima hukuman dari Tuhan. Setiap malam dia menangis menyesali nasibnya. Reno bahkan tak bisa menjalin hubungan dengan wanita manapun.
Dia selalu takut melihat perempuan, terbayang betapa dia tak bisa mengendalikan tubuhnya untuk menyakiti Maira. Dia terbayang air mata Maira yang memohon ampun.
Bahkan diusia dua puluh tahun, setelah lima tahun kejadian. Reno pernah menelan pil untuk bunuh diri. Tapi sebelum nyawanya terenggut, budeh menemukannya dan membawa ke rumah sakit.
Orangtuanya semakin sedih melihat kelakuan anaknya yang depresi. Reno tak mau dibawa ke psikiater. Dia bilang dia berhak menerima hukuman menyakitkan ini, bahkan jika ditusuk oleh seribu orangpun dia rela asal bisa menggantikan luka Maira. Gadis kecil yang disakitinya.
Sepuluh tahun lalu Reno kembali ke Indonesia, tapi dia harus menerima kenyataan bahwa Maira akan menikah dengan pria lain.
“Kenapa bapak gak larang Maira nikah saat itu?” Maira mendengarkan dengan seksama penjelasan bapak.
“Saat itu bapak fikir kamu berhak bahagia dengan orang pilihan kamu, bapak gak mau kebersamaan kamu dengan Reno justru akan mengingatkan kamu kembali.”
“Apa sampai saat ini Reno masih seperti itu, menangis dan menyesali perbuatannya.”
“Iya, sebelum pertemuan tadi Papanya Reno cerita ke bapak, bahkan setelah dia tahu kamu menikahpun dia tetap menangis setiap malam, hanya siang saja dia bisa sedikit melupakan kenangan itu, tapi jika malam tiba. Semua seakan menjadi mimpi buruk baginya.”
“Kasian Reno,” Maira menunduk. Ibu mengusap rambutnya.
“Yang jadi korban itu kamu, koq malah kasian ke orang?” Ibu menghentikan gerakan tangannya.
“Aku gak inget apa-apa bu, aku bisa jalanin kehidupan normal, mau dicoba ingat seperti apapun ya aku gak inget, yang aku inget ya aku jatuh dari sepeda di tempat itu. Dan aku mempercayai hal itu. Tadinya aku fikir ibu sama bapak mau bilang kalau aku anak mereka yang tertukar haha.” Ibu menjentikan jari ke kening putri tersayangnya. Sementara bapak terkekeh, dia tak menyangka putrinya memang benar-benar sudah dewasa menyikapi permasalahan ini.
Bapak Maira tidak melaporkan Reno ke polisi, karena dia tahu disini hukum bisa dibeli, biar saja Reno menangggung apa yang sudah dilakukannya. Biar saja Tuhan yang telah membalasnya, selama dua puluh tahun Reno hidup dalam penderitaan yang berkepanjangan. Dihantui rasa bersalah terus menerus.
Dahulu mereka sepakat untuk menikahi Reno dan Maira guna menebus dosa yang telah dia lakukan, perbuatan bejat yang tak seharusnya. Perlakuan yang sepatutnya hanya dilakukan jika sudah menikah dan hanya kepada pasangan suami atau istri saja.
~~~
Hari ini Reno mengajak Maira jalan, mereka nonton bioskop dan makan. Tak banyak percakapan yang dilakukan hanya sesekali berbasa-basi. Reno sepertinya masih trauma melihat wajah Maira.
Pakaian Reno lebih sporty hari ini. Sementara Maira hanya mengenakan jeans belel dengan kaus polos berwarna putih.
Hari sudah beranjak malam, Reno mengajak Maira ke pinggir kota menikmati pemandangan dari dalam mobil. tiba-tiba Reno mengeluarkan pisau lipat dan menyerahkan ke Maira.
“Kalau kamu mau bunuh aku silahkan Ra, aku sudah melakukan berbagai cara untuk bunuh diri tapi enggak bisa, mungkin jika kamu yang bunuh aku, aku akan tenang.”
“Enggak ah, aku gak mau masuk penjara.” Maira menatap wajah Reno, yang ditatap justru menunduk memegangi jari-jarinya yang bergetar hebat.
“Nanti aku bikin wasiat untuk gak penjarain kamu,”
“Ngaco kamu ah.” Maira menyalakan radio di mobil Reno. Lagu-lagu mellow diputar di statiun radio itu. Maira menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan mata.
Tangannya bergerak mengamit jemari Reno. Reno bingung dan menatap wanita di sampingnya. Maira membuka mata, lama mereka bertatapan.
“Aku gak inget apapun yang terjadi diantara kita dua puluh tahun yang lalu, aku harap kamu juga bisa lupain itu.”
“Enggak bisa, aku udah ngancurin hidup kamu!” Reno menarik tangannya kembali namun Maira menahannya.
“Apa kamu lihat hidup aku hancur, enggak kan! Aku baik-baik aja.” Air mata mengalir dari mata Reno tanpa bisa di bendungnya. Dengan tangan kanan Maira menghapus air bening itu dan tersenyum. Dia memeluk Reno. Ini pertama kalinya Maira melihat pria menangis.
“Aku selalu takut Ra, kamu harus percaya kalau aku lakuin itu diluar kesadaran aku.” Maira mengangguk. Reno pun membalas pelukan itu. Suara Mariah Carey terdengar, menambah syahdu suasana malam itu.
Semenjak hari itu hubungan Maira dan Reno semakin dekat. Reno pun terlihat menyayangi Velo, putra dari Maira.
Tapi selama kedekatan mereka, hampir tak pernah Reno menyentuh Maira terlebih dahulu. Selalu saja Maira yang memegang tangannya atau bersandar di bahunya.
Maira mulai jatuh cinta ke Reno, sementara Reno sudah jauh lebih dulu mencintai wanita itu. Rasa penyesalannya menimbulkan perasaan lain di hatinya. Dia justru takut kehilangan Maira, takut menyakitinya lagi.
~~~
Bulan demi bulan berlalu, sudah setahun semenjak pertemuan mereka. Maira dan Reno sudah memutuskan untuk menikah.
Maka niat baik ini segera dilaksanakan. Tak ada halangan berarti selama resepsi pernikahan mereka. Acara di gelar di sebuah gedung mewah, tamu undangan membanjiri lokasi. Seluruh keluarga terlihat bahagia, wajah Maira berseri-seri dia tampak jauh lebih cantik mengenakan kebaya buatan desainer terkenal.
Wajahnya pun berbalut make up mahal riasan dari penata rias nomor satu di Indonesia. Kini mereka berdua tampak serasi.
Selesai resepsi, Reno mengajak Maira ke sebuah hotel megah dan arsitektur yang sangat mewah. Bahkan satu kamar hotel saja luasnya bisa serumah Maira.
Tak henti Maira mengagumi hotel tersebut. Maira mengenakan baju super tipis. Malam ini dia sudah resmi menjadi istri Reno, apa yang akan mereka lakukan tentu menjadi halal.
Reno menatap pemandangan dari jendela, tampak hamparan lampu berjajar di kejauhan. Maira memeluk Reno dari belakang. Dengan berjingkat dia mengecup tengkuk suaminya. Reno terdiam.
Maira mengerutkan keningnya, dia membalikkan tubuh Reno menghadapnya. Lagi-lagi Maira berjingkat untuk mensejajari tinggi Reno, dia melingkarkan tangannya di leher Reno berniat menciumnya, namun Reno melepaskan pegangan tangan Maira dan tersenyum.
“Aku belum siap Ra, tolong ngerti ya.” Reno berjalan keluar kamar, entah kemana? Meninggalkan Maira dengan sejuta pertanyaan.
Malam ini Maira justru tidur sendiri, karena pukul enam pagi Reno baru kembali. Dia berusaha mengerti perasaan trauma suaminya. Tak mudah menghilangkan memori yang pernah terjadi.
Tapi Maira sudah kehabisan akal ketika sudah tiga bulan menikah, namun Reno tak pernah menyentuhnya sekalipun. Akhirnya dengan sedih dia menceritakan ke mertuanya perihal kelakuan Reno yang selalu saja bilang tak siap.
Bahkan Reno tak pernah tidur seranjang dengannya. Dia lebih memilih tidur di kamar tamu, atau di Sova kamar.
Dia selalu membuang wajah melihat tubuh Maira, padahal sudah berbagai usaha dilakukannya untuk menarik hasrat suaminya itu.
~~~
Ini adalah cara terakhir yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan rumah tangganya. Jika tak berhasil juga mungkin Maira akan menyerah terhadap Reno. Bahkan ajakannya untuk ke psikiater pun selalu ditolak olehnya.
Siang hari, tepat pukul satu. Maira membawa Reno ke lokasi traumatis itu. Ke sebuah lapangan tak jauh dari rumah Maira.
“Ra, kamu mau ngapain ngajak aku kesini.” Maira terus berjalan menggenggam tangan Reno.
“Ini cara terakhir untuk menyelamatkan rumah tangga kita Ren, kamu harus lawan. Apapun ingatan kamu mengenai tempat ini, jangan dilupakan, biarkan mengalir. Bahkan kamu harus mempertegas setiap detailnya.” Reno mengangguk melihat kesungguhan di mata Maira.
Pikirannya menerawang ke duapuluh tahun lalu. Dia bersama tiga temannya sedang duduk-duduk di lapangan, ketika tiba-tiba tiga temannya meminum sebuah minuman keras dari botol. Dan salah seorang memaksa Reno melakukan hal yang sama. Tapi Reno menolak.
Mereka bertiga tertawa sembari memegangi tangan Reno, entah berapa banyak minuman itu masuk ke tubuh Reno, yang dia tahu dia sangat pusing. Bahkan salah seorang temannya menyundut lintingan rokok yang sangat asing baginya dan sengaja meniupkan asap rokok itu ke wajah Reno.
Lama-kelamaan Reno menikmati aroma itu dan ikut merokok, padahal dia sebelumnya tak pernah merokok atau minum minuman keras. Seorang teman memberinya permen karet yang Renopun asing melihat permen itu. Tapi karena mulutnya seperti hampir mati rasa dia memutuskan mengunyah permen itu. Dan belakangan Reno baru tahu bahwa permen itu mengandung obat perangsang.
Lalu datang seorang lagi menyuntikan sesuatu di tangan Reno, sehingga Reno merasa terbang mengawang-awang. Dan tiduran di rumput itu. Ketika kesadarannya hampir hilang, ke-empat temannya pergi meninggalkan dia sendiri. Reno berusaha memanggil tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Hingga beberapa menit berlalu, Reno merasa sangat ingin buang air kecil tapi rasanya beda dari biasanya. Dan dari kejauhan dia melihat perempuan berseragam SD berjalan ke arahnya.
“Aarggghhttt.” Reno menekan kepalanya dan menggeleng.
“Ren, lawan please, jangan coba lupain ingatan itu.” Maira kembali menggenggam tangan Reno, keringat mulai membasahi tubuhnya. Reno mengangguk dan kembali berjalan. Dia pun flashback ke masa lalu.
Anak SD itu mengenakan kemeja dan rok putih, dengan topi dan dasi merah. berjalan dengan riang dibawah terik matahari. Reno masih berdiri mematung di tengah jalan. Ketika anak SD itu lewat di depannya, Reno langsung menariknya ke semak-semak. Dan terjadilah hal itu.
Suasana sangat sepi dan Reno yang sudah berusia 17 tahun jauh lebih kuat dibanding anak SD yang tak lain adalah Maira itu.
Maira meronta namun Reno membekap mulutnya. Reno melepaskan hasrat bejatnya ke gadis kecil itu. Gadis kecil itu menahan sakit dan terisak. Reno pun mulai kembali merenggut kesadarannya dan berlari ketakutan. Tak percaya dengan apa yang telah dia lakukan.
Reno masuk ke kamar mandi dan mengunci diri seharian dibawah guyuran air Shower. Hingga dia pingsan karena kedinginan. Dan orangtuanya membuka paksa pintu kamar mandi. Reno segera dilarikan ke UGD dia juga mengalami traumatis yang hebat.
Selama seminggu Reno seperti orang gila. Dokter bahkan sampai mengikat tangannya di ranjang karena Reno selalu berusaha menyakiti dirinya sendiri. Tubuhnya lebam karena dihantam oleh benda-benda keras.
Tapi rasa sakitnya tak seberapa dibanding rasa sakit Maira.
Mereka berhenti tepat di dekat semak tempat Reno menyakiti Maira. Mereka bertatapan. Kenangan itu seakan baru terjadi, Reno selalu mengingat dengan detail setiap kenangan itu.
Maira melingkarkan tangannya di leher Reno.
“Ini aku Maira, wanita yang kamu perkosa dua puluh tahun lalu. Aku sudah melupakan itu semua. Aku bahagia saat ini dan aku juga ingin kamu bahagia, aku ingin kita bahagia bersama. Gantikan kenangan lama itu dengan yang baru, Tuhan mungkin sudah menghukum kamu, tapi kamu tak berhak menghukum diri kamu lebih lama lagi. Aku yang sekarang butuh kamu, aku yang sekarang mencintai kamu, aku siap apapun yang akan kamu lakukan karena aku sayang sama kamu.”
“Maafin aku Maira,”
“Aku sudah memaafkan kamu, jauh sebelum kamu meminta maaf.” Reno membalas pelukan Maira, pelukan yang berbeda yang hanya bisa dirasakan oleh sepasang suami istri.
Bibir mereka bersatu, meluapkan segala rasa. Tempat ini menjadi saksi bisu apa yang telah mereka berdua alami. Bagaimana memori tersebut mempunyai cara tersendiri untuk merasuk dalam setiap otak manusia.
Reno berjalan pulang dengan rasa yang berbeda, rasa plong di dadanya. Shock terapi dari Maira istrinya sungguh sangat berhasil. Dia mampu melewatinya. Melewati pengalaman pahit yang selama duapuluh tahun ini menyiksanya.
Reno menjadi pribadi yang hangat, dia selalu melimpahkan kasih sayang ke Maira istrinya dan Velo, anaknya.
Dia tak pernah takut lagi akan malam hari, justru sekarang dia sering menantikan malam . Karena di malam hari dia bisa bersama istrinya. Tidur sembari berpelukan dengan orang yang dicintainya.
Dan kelak akan lahir anak mereka berdua, adik dari Vello.
Perlakuan Reno dimasa lalu memang tidak bisa ditolerir. Hukum dunia tak bisa menjeratnya namun masih ada hukum dari Tuhan dan dia sudah melaluinya. Dia sudah benar-benar bertaubat dan menyesali segala perbuatannya.
Reno selalu berharap tak akan ada lagi Reno-Reno yang lainnya, Reno yang bejat dan keji. Reno yang tega menyakiti orang lain. Reno yang tercela dan terhina.
Dan dia selalu berdoa agar tak ada Maira yang lain. Yang menjadi korban nafsu duniawi.
Dia selalu meminta kepada Tuhan untuk tak menghadirkan orang-orang sejahat teman-temannya yang bukan membawa pada kebaikan justru menjerumuskan kepada keburukan. Dia selalu memohon agar para remaja atau semua orang untuk lebih matang dalam bertindak, untuk memusatkan diri pada kebaikan.
Untuk menjaga diri dari perbuatan tercela dan keji. Terutama perbuatan yang bisa menghancurkan hidup orang lain.
Tak hanya itu yang Reno lakukan, dia aktif mendanai penyuluhan-penyuluhan mengenai narkoba dan kejahatan seksualitas.
Reno mendonasikan uangnya, untuk panti-panti rehabilitasi. Bahkan dia aktif di dalamnya. Mengurangi beban yang dirasakan korban.
Terkadang Reno masih suka menangis tiap malam, ketika berdoa agar keluarganya dan seluruh manusia terhindar dari apa yang dia dan Maira alami berpuluh-puluh tahun silam.
*Tamat*

Note : Ditulis oleh seseorang yang pernah jatuh dari sepeda :D :P